Erdogan: Boikot Produk Elektronik Made In AS

Krisis keuangan yang terjadi di Turki tidak membuat Presiden Recep Tayyip Erdogan nyerah melawan Amerika Serikat (AS). Erdogan menyerukan, boikot barang elektronik dari AS!


Ini sebagai aksi balas dendam dari keputusan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif impor dua kali lipat untuk baja dan aluminium dari Turki. "Kita akan boikot barang elek­tronik dari AS. Jika (AS) punya iPhone, kita (juga) punya Venus dan Vestel," kata Erdogan.

Hubungan antara dua negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tersebut tengah berada dalam titik nadir dalam satu dekade terakhir. Situasi makin genting setelah Pemerintah Turki menahan pastor asal AS, Andrew Brunson karena diduga terkait kelompok teror.

Di dalam negeri, Erdogan mendapatkan dukungan dari pe­rusahaan domestik. Salah satunya maskapai Turkish Airlines yang menyerukan hashtag #ABDyeR­eklamVerme (jangan beriklan di AS) lewat media sosial.

"Kami, Turkish Airlines, berdiri di belakang negara dan rakyat kami. Kami telah men­geluarkan instruksi yang diper­lukan kepada agen-agen kami," kata juru bicara Turkish Airlines, Yahya Ustun.

Erdogan mengatakan, Turki tengah menghadapi "serangan ekonomi" dan "operasi besar dan dalam". Pernyataan tersebut dinilai sebagai pertanda bahwa Erdogan tidak akan berdamai dengan AS.

"Mereka tidak ragu menggu­nakan ekonomi sebagai senjata. Apa yang ingin kalian lakukan? Apa yang ingin kalian capai?" ucapnya merujuk ke AS.

Erdogan mengakui ekonomi Turki memiliki masalah, ter­masuk melebarnya defisit tran­saksi berjalan dan inflasi yang hampir menyentuh 16 persen. "insyaallah, ekonomi kita tetap berjalan seperti jarum jam," yakinnya.

Di tengah krisis menurunnya nilai tukar mata uang Turki, lira, ternyata ada nilai positifnya. Para pelancong asing menikmati merosotnya lira dengan berbe­lanja berbagai barang bermerek di pusat perbelanjaan di pusat kota Turki.

Para turis asing bahkan rela mengantre untuk bisa masuk ke toko sejumlah brand mewah. Merela tidak mau menyia-nyiakan momen di mana nilai lira jatuh ke titik terendah.

Para turis yang kebanyakan dari negara-negara Arab tampak memanjang ikut antrean di luar toko Chanel dan Louis Vuitton di kawasan mewah Istanbul Nisantasi.

Ini terjadi karena mata uang asing yang mereka miliki men­jadi lebih berharga setelah nilai tukar Lira turun 18 persen pada Jumat pekan lalu.

"Kami membeli pakaian, make up dan berbagai barang dari merek-merek ternama," ujar Fatima Ali dari Kuwait yang mengunjungi Istanbul bersama dua anak perempuannya.

"Harga menjadi murah seka­li," komennya senang.

Sama seperti para pembelanja lain, Ali membawa koper besar untuk memuat belanjaannya.

Dia berada di luar sebuah toko kosmetik membawa tiga koper.

Seorang karyawan di sebuah toko pakaian mewah yang tidak mau menyebut namanya menga­takan jumlah turis yang datang berbelanja sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari musim libur. Semuanya ini akibat menurun­nya nilai tukar lira.

Seorang turis dari Mesir memperkirakan bahwa dia bisa menghemat sekitar 1.000 dolar AS (sekitar Rp 15 juta) jika mem­bandingkan berbelanja di saat nilai lira normal.

"Kami berharap bahwa mata uang Turki, untuk kesejahteraan warga Turki, akan membaik." kata seorang turis lainnya, Kha­lid al-Fahad, turis dari Kuwait.

"Namun dalam waktu bersa­maan, kami berharap sebagai turis, nilai lira akan tetap seperti sekarang ini," sambungnya.

Nilai tukar lira sudah turun sebesar 40 persen terhadap dolar Amerika Serikat tahun ini di tengah kekhawatiran mengenai ke­bijakan ekonomi yang dijalankan Presiden Tayyip Erdogan, dan seruannya agar suku bunga ditu­runkan dan memburuknya hubun­gan dengan Amerika Serikat.

Erdogan juga mendesak warga Turki untuk menyambut ke­datangan para turis dengan baik, karena mereka membawa dolar yang diperlukan negara tersebut.

"Jika kalian merasa sudah ramah, perlakukan tamu jauh lebih ramah lagi," kata Erdogan kepada para pendukungnya.

"Karena ketika mereka mengeluarkan dolar, mereka akan memberikannya kepada anda," sambungnya.

Erdogan juga terus menerus mengajak warganya untuk men­jual dolar mereka untuk mem­bantu menaikkan nilai tukar lira.