Anggap Cuci Darah Layaknya ke Salon, Kehadiran BPJS Kesehatan Bagaikan Malaikat Penolong

Mulyani saat menjalani HD ditemani perawat Naylul Izza di Klinik Ginjal dan Hipertensi Lestari Semarang, Kamis (25/8). Semangat, disiplin dan selalu berpikir positif membuatnya mampu menjalani kehidupan, sekaligus memulihkan kesehatannya selama 6 tahun terakhir ini.  Foto-foto: RMOL Jateng/Stefy Thenu
Mulyani saat menjalani HD ditemani perawat Naylul Izza di Klinik Ginjal dan Hipertensi Lestari Semarang, Kamis (25/8). Semangat, disiplin dan selalu berpikir positif membuatnya mampu menjalani kehidupan, sekaligus memulihkan kesehatannya selama 6 tahun terakhir ini.  Foto-foto: RMOL Jateng/Stefy Thenu

Derita yang dialami Mulyani (42), bermula dari peristiwa 2016 silam. Setiap kali berdiri, perempuan yang biasa disapa Yani itu langsung nggliyer (pusing, kepala seolah berputar). Bukan itu saja, kakinya kebas dan perut sebah/begah (sesak, kembung, tidak nyaman).


Perempuan lajang ini pun memeriksakan diri ke lab di sebuah rumah sakit swasta. Hasilnya, Hb (hemoglobin)-nya 5,4 dan Kreatin 12.

 ‘’Waktu itu saya kira tinta printernya habis, karena kurang terlihat jelas. Saya divonis harus cuci darah,’’ tutur Yani, panggilan akrabnya, saat ditemui RMOL Jateng di Klinik Ginjal dan Hipertensi Lestari Semarang, Kamis (25/8/2022).

Yani mencoba pengobatan alternatif. Minum rebusan daun kelor, tapi saat cek lab hasilnya lebih buruk. Kreatin-nya malah naik hingga 13,5. Kapok, dia kembali ke pengobatan moderen. Dia mengaku, stres dan putus asa. Beruntung, dukungan mengalir dari orang tua dan atasannya di kantor. 

‘’Saya diminta fokus menjalani terapi cuci darah ini,’’ tutur staf admin pabrik plastik di Mranggen, Demak ini.

Dukungan moril itu sangat membantu Yani menjalani hemodialisis (HD). Akhir Agustus ini, tepat 6 tahun, dia terapi cuci darah tersebut. Seminggu dua kali, setiap Senin dan Kamis, Yani harus datang ke klinik yang beralamat di Jalan Raya Sompok Semarang itu. 

‘’Habis HD, badan terasa enteng. Kuncinya, berpikir positif dan selalu semangat. Saya mendisiplinkan diri, datang rutin dan tepat waktu ke klinik. Anggap saja ke salon atau spa, seperti perawatan rambut dan kulit, jadinya enjoy menjalani terapi ini,’’ paparnya.

Malaikat Penolong

Kehadiran BPJS Kesehatan, bagi Yani, bagaikan malaikat penolong. 

 ‘’Kalau tak ada BPJS, saya bisa tekor. Dulu banyak pasien yang habis harta benda, sampai jual rumah dan mobil untuk biaya HD. Tapi, sejak ada BPJS Kesehatan, biaya mahal tak dirasakan lagi oleh pasien seperti saya,’’ ungkap Yani, peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) BPJS Kesehatan ini.

Naylul Izza (30), perawat yang setia melayaninya, mengaku salut dengan semangat dan kedisiplinan Yani dalam menjalani HD.

"Selama 6 tahun ini kondisi kesehatannya baik, apalagi dia pasien yang rajin dan disiplin, tak pernah absen,’’  ujar Naylul Izza,   perawat Ners, bergelar Magister Administrasi Rumah Sakit ini. 

Seperti hari ini, jam 08.00 WIB, Yani sudah tiba di klinik. Berkendara setengah jam dari rumahnya, dia mengisi absen dengan finger print, setelah mengambil nomor antrean. Lalu, mencetak SEP (Surat Eligibilitas Peserta), masuk ruang HD, menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, anamnesa oleh dokter, dan menjalani terapi. 

‘’Ini alur yang wajib diikuti oleh pasien BPJS Kesehatan,’’ tutur Izza. 

Direktur Klinik Ginjal dan Hipertensi Lestari, DR Dr Lestariningsih, SpPD KGH mengatakan, saat ini terdapat 157 pasien gagal ginjal yang terapi HD di klinik miliknya.

‘’Ada pasien yang langsung datang ke sini, tapi banyak pula rujukan dari FKTP dan rumah sakit. Mereka terapi sejak masih stadium 2-3, hingga berlanjut ke stadium 5 yang wajib HD,’’ ungkap Lestari.

Pasiennya sebagian besar karena diabetes dan hipertensi. Perempuan yang menjabat Ketua Perhimpunan Nefrologi lndonesia (Pernefri) Korwil Jateng, ini selalu menekankan pentingnya tata kelola diabetik yang benar  dan mencegah hipertensi, agar tidak berlanjut gagal ginjal.

‘’Diabetes dan hipertensi itu sejatinya dapat dicegah dengan gaya dan pola hidup sehat serta tata kelola diabetik yang benar, agar tak berlanjut ke penyakit ginjal berakibat biaya besar yang ditanggung keluarga pasien,’’ ujarnya.

Menurut Lestari, kehadiran BPJS Kesehatan sebagai badan penyangga pembiayaan kesehatan sangat membantu para pasien gagal ginjal kronis (GGK). GGK menempati rangking biaya pengobatan yang paling tinggi.  Dulu banyak keluarga pasien GGK yang menderita akibat tingginya biaya, tapi sejak adanya BPJS Kesehatan dapat meringankan beban keluarga,’’ imbuhnya.

Kesadaran Tinggi

Dia mengakui,  saat ini, kesadaran masyarakat menjadi peserta BPJS Kesehatan terbilang tinggi. 

‘’Rata-rata pasien yang kami layani sudah lama ikut BPJS Kesehatan, bukan baru jadi peserta saat kondisinya parah dan harus HD,’’ ujarnya. 

Direktur Klinik Ginjal dan Hipertensi Lestari, DR Dr Lestariningsih, SpPD KGH 

Pelayanan BPJS Kesehatan diakuinya terbilang sangat baik. 

‘’Pasien CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis), dialisisis, autoimun, semuanya dicover BPJS Kesehatan. Biaya transplantasi ginjal pun dicover. Yang pasti, klaim kami selama ini terbilang lancar,’’ tegasnya.  

Lestari selalu menekankan 17 perawatnya agar bekerja ikhlas dan melayani dengan hati. 

‘’Bukan mereka yang butuh kita, tapi kita yang butuh mereka, agar kita disayang Allah,’’ tuturnya. 

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Semarang Andi Ashar mengatakan, selama dua tahun terakhir,  yakni pada 2020 dan 2021, pihaknya memberikan layanan untuk 30.697 orang pasien gagal ginjal dengan total biaya Rp63.471.917.200. Sedangkan biaya untuk layanan cuci darah, pada tahun 2021 tercatat sebesar Rp60.824.353.300  untuk 71.978 pasien di wilayah Kota Semarang, dan untuk Kabupaten Demak Rp11.062.701.500 (13.031 pasien). Untuk CAPD, biaya 1 kali tindakan tiap bulan rata-rata 1 pasien Rp6 juta. 

‘’Jumlah peserta gagal ginjal yang membutuhkan terapi HD per Juli 2022, mencapai 883 peserta di Semarang dan Demak 165 peserta,’’ papar Andi Ashar.

Dijelaskan, operasi transplantasi ginjal dan skrinning untuk donor ginjal juga masuk program JKN. Pada 2019, terdapat 11 kasus dengan biaya Rp4.309.562.700 dan 5 kasus pada 2020 dengan biaya Rp1.871.257.600.

Lestari menambahkan, diabetes dan hipertensi bisa dicegah. 

‘’Jika tak dikelola baik,  tempo 1-2 tahun, pasien bisa cuci darah. Maka, perbaiki kualitas hidup dan pola makan, jangan makan protein terlalu tinggi, perbanyak makan sayuran dan buah, kurangi stres dan olahraga,’’ sarannya.

Bagi masyarakat, kehadiran BPJS Kesehatan bagaikan malaikat penolong. Meski mendapat perlindungan dari BPJS Kesehatan, tapi sejatinya, menjaga kesehatan jauh lebih utama agar masyarakat terhindar dari penyakit kronik yang mematikan.