Bamsoet Pilih Perbaiki Rekrutmen Cakada Ketimbang Pilkada Melalui DPRD

Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo angkat bicara mengenai desas-desus wacana mengembalikan sistem Pilkada ke DPRD.


Politisi yang akrab disapa Bamsoet ini lebih memilih perbaikan cara rekrutmen calon kepala daerah ketimbang harus mengubah sistem dari Pilkada langsung ke Pilkada melalui DPRD.

Menurut Dewan Pakar Majelis Nasional KAHMI ini, Pilkada langsung sudah ideal dengan sistem demokrasi, karena menjadi wujud nyata kedaulatan rakyat.

Hanya saja, selama ini, kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya belum dilengkapi pola atau mekanisme penyaringan yang ideal. Akibatnya, Pilkada di banyak daerah gagal menghadirkan sosok pemimpin yang punya kompetensi, kredibilitas, dan berintegritas.

"Negara, tentu saja, tidak boleh tinggal diam. Apalagi, belum ada yang tahu kapan ekses Pilkada langsung seperti yang dirasakan sekarang ini bisa dihentikan. Sementara, pada saat bersamaan, sudah bermunculan aspirasi agar dilakukan koreksi terhadap mekanisme Pilkada," tuturnya, Minggu (8/4) seperti dikutip Kantor Berita Politik RMOL

Alih-alih menyejahterakan rakyat, tambah Bamsoet, tampilnya kepala daerah baru yang membawa timsesnya masuk dalam manajemen Pemda justru sering menghadirkan masalah.

Mulai dari masalah kompetensi hingga perilaku koruptif. Banyak kepala daerah tidak fokus membangun dan memenuhi kebutuhan daerahnya. Mereka lebih disibukkan mengolah pos anggaran dalam APBD.

Dengan merujuk data di Kementerian Dalam Negeri, Bamsoet menyebut bahwa ekses negatif Pilkada langsung sudah sangat terang.

Sejak diberlakukan rezim Pilkada langsung, sudah 77 Kepala Daerah terjaring OTT oleh KPK. Kemudian, sepanjang 2004-2017, ada 392 Kepala Daerah tersandung kasus hukum, sebanyak 313 adalah kasus korupsi.

"Ini fakta dari ekses Pilkada langsung," ujarnya.

Kata politisi Partai Golkar ini, rangkaian fakta tadi sudah cukup untuk dijadikan faktor pendorong melakukan koreksi terhadap Pilkada. Jangan sampai gara-gara fakta tadi, Pilkada langsung yang sejatinya demokratis itu dipersepsikan buruk.

"Jangan sampai masyarakat memersepsikan Pilkada langsung sebagai batu loncatan bagi para oknum kepala daerah untuk mengorupsi APBD," imbuhnya.

Untuk memperbaiki ini, kata Bamsoet, kuncinya adalah pola rekrutmen calon. Calon yang diajukan harus benar-benar kompeten, punya integritas, dan mengerti mengelola daerah. Bukan cuma calon yang asal menang.

Bamsoet menekankan bahwa seorang Kepala Daerah tidak hanya berperan sebagai administrator dan manajer yang paham mengelola dan mengendalikan organisasi birokrasi pemerintahan. Seorang Kepala Daerah juga harus mampu menjadi penggerak atau inisiator untuk menggerakan partisipasi warga dalam membangun daerah .

Kualifikasi pemimpin yang administrator dan inisiator inu tentu tidak bisa dicapai dengan cara instan. Kualifikasi pemimpin seperti ini harus dipersiapkan secara berjenjang melalui proses pematangan yang tidak sebentar.

"Faktor-faktor ini yang belum ada dalam sistem dan pola rekrutmen calon Kepala Daerah. Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah belum memasukan syarat kompentensi dan integritas," beber Bamsoet.

Di masa lalu, terang Bamsoet, calon pemimpin atau pejabat publik biasanya dipersiapkan melalui Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Tahun-tahun terakhir ini, sejumlah jabatan publik yang strategis harus melalui tahapan fit and proper test di DPR.

"Jabatan kepala daerah tentu saja sangat strategis. Mengapa para calon kepala daerah tidak melalui tahapan-tahapan seperti itu?" cetusnya.

Bamsoet merasa, masyarakat berharap semua parpol meningkatkan kepedulian terhadap masalah ini. Calon kepala daerah lazimnya dimunculkan dan ditawarkan oleh parpol sesuai UU Nomor 2/2011 tentang Parpol.

"Semua Parpol akan mendapatkan simpati publik jika peduli dan lebih bersungguh-sungguh dalam menyiapkan calon kepala daerah," tandasnya.