Demokrasi Setengah Mati

INDONESIA pasca reformasi memasuki babakan baru dalam kehidupan bernegara. Orde baru yang konon memasung kebebasan berekspresi, berbeda pendapat, menyatakan aspirasinya dan menyampaikan kritik tumbang.


Patron besarnya, The Smiling General Soeharto tidak mampu lagi mengatasi turbulensi perlawanan atau gerakan people power yang menggusurnya. Tragis dan nyaris tidak diduga orang orang dekat yang dibesarkan dalam formulai click system pun ‘berontak’ tak lagi sejalan, bahkan terang terangan menyampaikan sikap yang berseberangan.

Ya itu realitas yang terjadi ketika Orde Reformasi lahir. Apakah peristiwa itu murni terjadi dari sebuah proses alamiah karena situasi represif yang berlebihan, sehingga ketakutan berubah menjadi keberanian komunal, atau muncul lantaran stimulasi fenomena global seperti yang baru saja mengoyak kawasan Timur Tengah terpaan musim semi Arab.

Bisa ya, bisa tidak secara lebih obyektif hal itu bisa ditelaah dari berbagai sudut pandang. Namun yang jelas kita melihat dan mencatat tumbanganya orde baru terjadi dipicu turbulunsi ekonomi yang tidak terkendali.

Tegasnya Orde Baru Tumbang.Reformasi hadir. Demokrasi sekarang adalah buah dari reformasi. Satu dekade terlewati, apakah kondisi sekarang lebih baik atau lebih buruk secara sosial, ekonomi, politik, dan juga keamanan yang dirasakan warga bangsa ini. Mari kita mencoba membedah, mengidentifikasi dan menilai dengan instrumen yang obyektif disandarkan ada metologi yang jelas.

Secara ekonomi misalnya, bagaimana kesejahteraan warga bangsa ini mengalami berproses. Secara kualitatif dan kuantitatif statistik dapat mencatata, apakah secara indeks mengalami peningkatan atau sebaliknya.

Begitu pun untuk bidang bidang yang lain, pendidikan, kebudayaan, politik dan keamanan. Ketika pada masing masing bidang itu dilakukan pendalaman, hasil yang didapat saya meyakini tidak dapat disimpulkan pada satu jawaban.

Demokrasi kita sekarang pun tidak akan luput dari kontroversi kontroversi seperti di atas. Kesempatan kepada sebuah warga bangsa untuk berkiprah dan terjun di dunia politik harus diakui makin terbuka.

Dominsi negara tidak lagi menjadi panglima tunggal. Otoriterianisme yang berkembang di era Orde Baru telah berubah menjadi egalitarianisme penuh keterbukaan. Daulat sipil kini yang menjadi panglima.

Jabatan jabatan publik dan politis benar benar terbuka untuk siapa pun. Lembaga politik menjadi pintu strategis dalam konteks ini. Hak menyampaikan aspirasi, pendapat, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan Pers nyaris tanpa batas.

Bahkan negara negara yang lebih dulu membuka keran kebebasan Pers terkaget kaget dengan kebebasan di Indonesia. Pers Indonesia tak hanya menikmati kebebasan, tetapi bahkan menjurus pada kebablasan itu sendiri.

Tak pelak lagi mengarungi era yang demikian muncullah tirani tirani baru yang bernama  hegemoni kapital. Demokrasi sakral, karena suara rakyat adalah suara tuhan vox popullin vox dei.

Namun matangnya demokrasi bagaimana pun perlu waktu. Kawah kawah candradimuka, seperti lembaga politis, ormas dan komunitas sipil lainnya bukanlah ranah yang steril seperti lembaga agama. Naluri manusia untuk berkuasa mendorong langkah langkah lancung untuk mempertahankan.

Cara yang paling primitif adalah menggunakan kekuasan itu sendiri. Kemudian melalui click system dibangunlah cara cara secara sistemik untuk mengamankan. Politik uang adalah pendekatan dan menjadi formula paling ampuh.

Payahnya demokrasi kita juga mengarah pada pola pola di atas.

Politik dinasti menjadi indikator paling nyata. Politik dinasti pada kenyataannya adalah manifestasi pengamanan agar distribusi kekuasan tidak jatuh pada pihak yang membahayakan status quo.

Pileg kita sekarang ini atau dengan sistem yang dipakai sekarang susah memunculkan tokoh tokoh baru, atau tokoh altenatif. Sebab mekanisme pileg tidak lebih telah mereduksi menjadi hajatan kapitalistik. Ini demokrasi setengah hati. Maju tak gentara membela yang bayar.

Melihat fenomena di lapangan, susah caleg berkualitas, dan berintegritas untuk terpilih menjadi legislator. Bagaimana tidak karena peta kompetisi di lapangan tidak bisa tidak mengandalkan kapital sebagai mesin politik.

Pertarungan sesungguhnya seorang caleg adalah bertarung untuk menjadi jawara diantara caleg caleg yang notabene satu partai. Ini bukan perkara mudah. Jualan integritas dan program bukan komoditas yang mudah dijual. Cara paling gampang adalah politik transaksional.

Fenomena ini yang membuat ongkos politik jadi mahal. Maraknya anggota legilatif dan kepala daerah terperosok menjadi korban OTT KPK tidak lain karena politik kita adalah politik transaksional.

Bayangkan saja, ini kalkulasi sederhana, kalau untuk menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota budget yang diperlukan paling tidak Rp 1,5 M, kemudian DPRD Provinsi kisaran Rp 3-5 M, entah berapa untuk DPR RI, tapi setidaknya lebih dari Rp 3 M, maka ibaratnya modal, wajar setelah duduk harus mengembalikan modal.

Inilah awal simalakama wakil rakyat. Hitam putih politik kita. Demokrasi setengah mati. 

Drs Jayanto Arus Adi, MM

Pimpinan Umum RMOL Jateng, Anggota Pokja Hukum Dewan Pers