FKSPN Gelar Mimbar Bebas "Buruh Jateng Panggil Penguasa"

Ketua FKSPN Jateng, Nanang Setyono (tengah).
Ketua FKSPN Jateng, Nanang Setyono (tengah).

Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) Jateng menggelar mimbar bebas dalam rangka memperingati May Day atau Hari Buruh Sedunia, yang dirayakan pada 1 Mei.


 Mimbar bebas akan digelar Sabtu (30/4) di halaman Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, bertajuk "Buruh Jateng Panggil Penguasa".

Ketua FKSPN Jateng Nanang Setyono mengatakan, mimbar bebas digelar untuk menyikapi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.

"Ini menjadi upaya organisasi FKSPN yang konsern terhadap permasalahan kerakyatan yang bersinggungan dengan ketenagakerjaan dan konsisten untuk menyuarakan kritik serta tuntutan pada peringatan May Day setiap tahunnya kepada pemerintah maupun pihak-pihak yang bertanggungjawab agar mampu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja/buruh," tegas Nanang, Kamis (28/4).

Nanang menegaskan, carut marut problem ketenagakerjaan pada pemerintahan era Presiden Jokowi, bukannya semakin teratasi, tetapi negara justeru cenderung meliberalkan produk-produk hukum ketenagakerjaan yang semakin menindas kaum buruh/pekerja di Indonesia. 

Sebut saja, lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta turunannya muncul ditengah kondisi pandemi Covid-19 dan terus dipaksakan sehingga menghantam kehidupan dan kesejahteraan pekerja/buruh pada saat ini.

Keberadaan UU Cipta Kerja ini, kata dia, telah diprotes oleh masyarakat pekerja/buruh dan kelompok masyarakat lainnya, hingga dilakukan Judicial review melalui Uji Formil di Mahkamah Konstitusi. Salah satu amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan."

UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan UU yang mengatur banyak hal yang berasal dari hasil penggabungan, peleburan dan penghapusan sejumlah UU yang dijadikan dalam satu Undang-Undang atau dalam bentuk Omnibus Law. 

"Proses pembentukan UU yang demikian belum pernah ada di Indonesia dan sedang dipaksakan pada proyek UU Cipta Kerja," tegasnya.

Nanang berpendapat,  Pemerintah dan DPR seharusnya peka terhadap persoalan masyarakat yang tidak menghendaki adanya UU Cipta Kerja tersebut dan bahkan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945, seharusnya Pemerintah dan DPR tidak melanjutkan upaya perbaikan dan dapat membatalkan UU Cipta Kerja agar tidak menimbulkan kegaduhan lagi dikemudian hari. 

Namun yang terjadi,  Pemerintah bersama-sama DPR bersikukuh  melakukan perbaikan pembentukan UU dengan melakukan Revisi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang salah satu draft revisinya telah mengakomodir peraturan perundang-undangan dalam bentuk Omnibus Law.

"Inilah yang ditolak keras oleh FKSPN Jawa Tengah, karena RUU PPP disinyalir sebagai pintu masuk UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam bentuk Omnibus Law menjadi sah untuk diundangkan. Belum lagi terkait dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negara ini, telah merasuk ke seluruh lapisan kehidupan rakyat," tandasnya.

Ironisnya, di tengah kondisi pandemi yang belum selesai dan kondisi perekonomian belum baik ini, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan menaikan harga BBM, dan tidak mampu mengontrol harga-harga kebutuhan pokok yang semakin naik, sehingga tidak berimbang dengan upah yang diterima oleh pekerja/buruh di Jawa Tengah yang masih rendah.

Betapa sulitnya masyarakat pekerja/buruh mendapatkan sembako dengan harga yang terjangkau termasuk minyak goreng yang harganya semakin melambung. 

Untuk itu,  FKSPN Jawa Tengah menuntut Pemerintah RI menurunkan harga BBM dan harga-harga kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia.

Terkait isu perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi 3 Periode, meskipun itu masih sebatas wacana, namun tidak dinafikan, bahwa sebuah wacana akan bisa menjadi kenyataan. Tentunya, hal ini akan menciderai demokrasi dan cita-cita reformasi Negara Indonesia. Mestinya penegakkan hukum dan aturan di negara demokrasi ini lebih penting dilaksanakan, daripada melontarkan wacana untuk mengebiri rakyatnya hanya untuk kepentingan dan keuntungan kelompok tertentu saja.

"Wakil rakyat yang duduk nyaman di DPR / MPR pun sekarang mengekor apa yang diinginkan oleh pemerintah saat ini, sehingga sangat wajar jika kami khawatir tentang wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi kenyataan, dan untuk itu pula kami FKSPN Jawa Tengah menolaknya," pungkasnya.