Hadirkan Saksi Ahli, Kuasa Hukum Ungkap Kejanggalan Kasus Pidana yang Jerat Leni Sekeluarga

Sidang sekeluarga jadi terdakwa di PN Pekalongan. Tampak Leni Setyawati dan tiga anaknya menuju kursi sidang. RMOL Jateng.
Sidang sekeluarga jadi terdakwa di PN Pekalongan. Tampak Leni Setyawati dan tiga anaknya menuju kursi sidang. RMOL Jateng.

Jeratan pidana yang menimpa Leni Setyawati dan tiga anaknya yang jadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Pekalongan dianggap tidak tepat oleh Prof. Dr. Hamidah Abdurrachman.


Pakar Hukum Pidana itu menilai laporan kasus pidana yang membelit satu keluarga terdakwa itu seharusnya tidak diproses terlebih dahulu.

"Ini kan masih ada (gugatan) perdata, seharusnya menunggu putusan incraht atau putusan dengan kekuatan hukum tetap dari sidang perdata itu dulu," kata Mantan anggota Kompolnas itu saat menjadi saksi ahli di PN Pekalongan, Selasa (21/5).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal itu menyebut maksud dari berkekuatan hukum tetap adalah sampai tidak ada lagi upaya hukum lagi yang bisa dilakukan. Saat ini proses gugatan perdata pada Leni sekeluarga masih dalam tahap Peninjauan Kembali (PK).

Sebelumnya, satu keluarga di Kota Pekalongan yang jadi terdakwa adalah Keempatnya dilaporkan Felly Anggraini Tandapranata dengan dugaan penyerobotan tanah di tanah serta bangunan di Jalan Kartini.

Objek sengketa adalah lahan seluas 1.433 m2 di Jl Kartini, Kota Pekalongan. Lahan itu ada dua sertifikat dengan luas 1.013 m2, dan 420 m2. Di lokasi itulah keluarga para terdakwa tinggal serta usaha keluarga berdiri.

"Kita harus menunggu sebuah keputusan hukum tetap. Untuk sebuah kepastian hukumnya, supaya tidak ada keraguan," ucapnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Agus Maksum Mulyo Hadi itu.

Hamidah juga menyebut penerapan pasal 167 ayat 1 KUHP juga tidak tepat. 

Isinya adalah barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.

Ia beralasan keluarga Leni tidak termasuk dalam unsur memaksa karena selama ini tinggal di lokasi itu. Unsur memaksa yang dimaksud adalah ketika ada orang dari luar masuk tanpa izin, dengan merusak atau dengan kunci palsu.

Kuasa hukum terdakwa, Nasokha menyebut bahwa keluarga Leni sudah berdiam lama. Menurutnya unsur pasal itu tidak terpenuhi karena kliennya memang tinggal di situ.

Ia juga menyinggung masalah status quo untuk perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) antara keluarga Leni dan Pelapor. Nasokha menyebut yang berhak atas statuq quo adalah pemilik pertama.

"Atau yang berdiam di situ, atau yang berdomisili di situ. Tidak berbicara sudah berpindah tangan atau dibalik nama. Keterangan ahli ini sangat menguntungkan kami," jelasnya.

Nasokha mengakui bahwa keterangan ahli tidak menjadi penentu jalannya sidang. Namun, harapannya bisa menambah referensi untuk hakim saat mengambil putusan.

Ia juga menyebut perkara kliennya tumpang tindih karena ada perkara perdata. Lalu bagaimana jika pengadilan sudah meminta untuk mengosongkan rumah?

Seharusnya yang ditangani adalah permohonan eksekusi terlebih dahulu dibanding pidana. 

"Tapi ini malah kebalik. Pidana dulu baru permohonan eksekusi. Kasian karena kita bicara nasib orang. Ini hukum menurut saya tidak adil. Kenapa harus pidana dulu, tidak eksekusi dulu?" ujarnya.

Ia mengatakan seharusnya tidak pidana terlebih dahulu. Bahkan ada peraturan dari Mahkamah Agung (MA) no 10 tahun 1956 tentang anmaniing. 

"Jadi apabila perdata ada kaitan dengan perkara pidana, perkara pidana harus ditangguhkan dulu, setelah ada putusan perdata terlebih dahulu. Ini lucunya pidana dulu, baru eksekusi," pungkasnya.

berita terkait 

Sekeluarga Jadi Terdakwa di Pekalongan, Tetangga Beri Kesaksian Meringankan Di Pengadilan

Sidang Sekeluarga Jadi Terdakwa di Pekalongan: Kuasa Hukum Diuntungkan Keterangan Ahli Pihak Lawan