Ini Alasan Kenapa Peringatan Malam Suro Keraton Surakarta Dan Pura Mangkunegaran Beda Hari

Dua hari terakhir ini kota Solo menjadi pusat perhatian warga yang mempercayai perayaan pergantian tahun baru Hijriyah. Selain penyebutan Muharam sebagai bulan pertama dalam penanggalan Islam, untuk kepercayaan Jawa yang banyak dipengaruhi Hindu, Suro sebagai bulan pertama.


Lalu kenapa ada perbedaan waktu antara 1 Muharam dan 1 Suro? Diketahui pula sama-sama berada di wilayah Surakarta dengan adat Jawa, Pura Mangkunegaran mengacu pada 1 Muharam yakni tepat tanggal 11 September 2018 dalam penanggalan Masehi. Sedangkan untuk Keraton Surakarta tanggal 12 September 2018 dalam penanggalan tahun baru Saka.

Pangageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPH Dipokusumo menjelaskan, selama ini Keraton Surakarta mengacu pada kalender Jawa karya Sultan Agung yang juga mengadopsi penanggalan Islam yang berbasis pada perputaran Bulan.

"Untuk penyelenggaraan kirab 1 Suro pada tahun ini, keraton mendasarkan pada perhitungan Kalender Sultan Agung, yang jatuh pada Selasa (11/9). Maka dengan perhitungan tersebut kadang bisa bareng dengan Masehi namun bisa juga selisih sehari," kata Gusti Dipo, menjelang kirab pusaka malam 1 Suro di Keraton Surakarta.

Terpisah, pendapat dari Sejarahwan UNS Solo, Tundjung W. Sutirto mengatakan, perbedaan waktu 1 suro atau 1 Muharam terjadi karena Keraton Surakarta menggunakan pendekatan penanggalan Aboge, sedangkan Pura Mangkunegaran menggunakan penanggalan Asapon.

Perbedaan itu terkait adanya pendekatan penanggalan Asapon yang digunakan Mangkunegaran dan penanggalan Aboge yang digunakan Keraton Surakarta, kedua penanggalan itu ada selisih perhitungan, biasanya selisih satu hari," kata Tundjung.

Tapi, meski dalam penentuan tanggal pelaksanaannya tidak sama dengan Keraton Mangkunegaran, namun ritual tahunan yang digelar sejak jaman Paku Buwono (PB) II ini, di mata masyarakat tetap memilki daya tarik tersendiri.

Dalam sejarahnya, seperti ditulis RM Said dalam bukunya Babad Tanah Jawa, kebo bule yang selalu berjalan di depan barisan peserta kirab tiap malam 1 Suro ini merupakan keturunan Kyai Slamet, yang merupakan kebo bule pertama hadiah dari Bupati Ponorogo. Hewan ternak berkulit albino ini merupakan kesayangan PB II.

Digunakannya kebo bule sebagai cucuk lampah dalam kirab pusaka malam 1 Suro juga sebagai pengingat sejarah saat pertama kali PB II mencari lokasi untuk perpindahan Keraton Surakarta. Saat itu PB II menggunakan kebo bule untuk mencari lokasi keraton hingga kebo tersebut berhenti di desa Sala yang kini menjadi Keraton Surakarta.

Selain sebagai ritual untuk menyambut datangnya tahun baru Islam, kirab malam 1 Suro juga merupakan bentuk penghormatan atas karya Sultan Agung Hanyokrokusumo berupa kalender penanggalan Jawa sebagai pengganti kalender saka dalam penanggalan Hindu yang berbasis pada perputaran matahari.

Sultan Agung adalah Sultan ketiga yang memerintah Kerajaan Mataram Islam (1613-1645) sebagai cikal bakal Keraton Kasunanan Surakarta di Solo dan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat di Yogyakarta. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Mataram berkembang menjadi kerajaan Islam terbesar di Nusantara pada masa itu.

Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam 1 Suro selalu diadakan oleh Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta sebagai penerus Kesultanan Mataram. Ritual malam satu suro dengan tradisi topo bisu sejatinya merupakan wujud rekfleksi diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya dengan disertai harapan akan berkah dari Sang Pencipta.