Kasus Mafia Tanah Mangkang Kulon Akan Dibawa Ke KPK

Harapan para petani mendapatkan kepastian pembayaran jual beli tanah di Mangkang Kulon oleh PT Mitra Makmur Propertindo (MPP) kembali pupus.


Pasalnya, dalam mediasi kedua yang dilakukan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi antara perusahaan dengan petani kembali menemukan jalan buntu. Kedua belah pihak tidak sepakat dengan solusi yang ditawarkan.

Perwakilan petani, Munjilin usai mediasi mengatakan, pihak perusahaan bersedia membayar pelunasan untuk 11 orang dan tanah yang diluar siteplan yang ditransaksikan oleh Gopal selaku menager perusahaan.

"Dalam pertemuan tadi perusahaan akan membayar 11 orang dan tanah yang diluar siteplan. Kemudian yang masalah abrasi, perusahaan memberikan gambaran harganya Rp 40-Rp 50 ribu, padahal di dalam PPJB yang telah disepakati saat transaksi harganya Rp120 ribu," ujar Munjilin.

Selain itu lanjut Munjilin, perusahaan beralasan akan melakukan survey lagi untuk melihat abrasi atau tidak, padahal sebelumnya telah dilakukan survey hingga 5 kali.

"Jadi kelihatan sekali perusahaan belum ada niat untuk menyelesaikannya. Padahal perusahaan sudah berjanji akan membayar, fisiknya sudah ditunjukkan, legalitasnya jelas, verifikasi sertifikat jelas, tidak ada sengketa, peta bidang sudah keluar. Tapi setelah kita penuhi semua, sampai sekarang tidak ada pembayaran," tambahnya.

Lebih lanjut Munjilin mengatakan, meski perusahaan berjanji akan membayar 11 orang dan tanah yang diluar siteplan, namun para petani telah sepakat tidak menerimanya, petani meminta kalau diselesaikan satu diselesaikan semua, tidak mau dipecah pecah, karena sesuai PPJB yang tertuang.

"Kami bukan menolak, petani ini kan sudah senasib seperjuangan, kebersamaan, petani takut, 11 petani ini benar-benar dibayar apa cuma diming-iming, jadi maunya secara total diselesaikan semuanya, kalau memang tidak ya apakah dibatalkan atau bagaimana kita ikut saja. Kalau memang dibatalkan yang mekanismenya bagaimana, sebab ini kan yang ingkar janji kan perusahaan," pungkas Munjilin.

Membawa Ke KPK

Sementara itu Kuasa Hukum petani, Sugiarto mengatakan saat ini pihaknya telah mengajukan gugatan ke pengadilan supaya perusahaan membayar tanah klienya dengan harga NJOP.

"Kemarin kita sudah berbaik hati dengan harga dibawah NJOP. Tapi setelah kita diajak negosiasi, mediasi sama Pak Wali tapi perusahaan tidak ada itikad baik dengan tanggung jawab PPJB yang dibuat, ya kita melangkah ke persidangan. Kita menuntut perusahaan melunasi dengan harga NJOP yakni Rp160 ribu/meter. Karena PPJB yang ada sudah dibatalkan karena perusahaan sendiri yang tidak mau memberikan ke petani berarti kan memang tidak ada itikad baik dari perusahaan untuk menyelesaikan. Kita juga menuntut ganti rugi karena petani dan petambak tidak bisa menggarap lahannya," ujarnya.

Sugiarto juga mengatakan, dalam jual beli tanah ini diduga kuat ada permainan yang tersistem dan mulai nampak benang merahnya ada keterlibatan PNS.

"Dugaan inilah yang akan kita angkat untuk diselidiki ada permainan apa, permainan dibentuk secara tersistem untuk merugikan petani. Buktinya perjanjian tidak diberikan, tidak dibayar dan tidak ada kejelasan," tandasnya.

Selain ke pengadilan lanjut Sugiarto, pihaknya juga telah melaporkan perusahaan ke Polrestabes Semarang dugaan penggelapan karena PPJB yang telah ditandatangani tidak diberikan ke petani.

"Ibu Sumitra (pihak perusahaan.red) sudah kita laporkan dan sudah mulai diselidiki Polrestabes Semarang, kita sebagai pengadu sudah diperiksa semua," ujarnya lagi.

Sementara dugaan keterlibatan pegawai negeri yang memperoleh keuntungan dari jual beli ini, Sugiarto berencana akan mengadukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tapi masih kita pertimbangkan dan cari timing, golek dino sing becik," tandas Sugiarto.

Ketua DPRD Kota Semarang Kadarlusman yang mengikuti mediasi kedua mengatakan, petani hanya menginginkan kejelasan dan kepastian.

"Petani hanya ingin segera diselesaikan karena merasa sudah capek. Pertemuan ada diskusi panjang dan intinya pemerintah harus bisa meyakinkan ke perusahaan bahwa tidak ada abrasi," ujar Pilus panggilan akrab Kadarlusman.

Mengenai penolakan petani karena tidak dibayar semua, Pilus juga sepakat karena mereka sudah berbulan-bulan bahkan setahun berjuang bersama, mereka sudah ada komitmen bersama.

"Satu-satunya jalan perusahaan harus menyelesaikanya sesuai kesepakatan awal meski perusahaan menilai ada abrasi. Kita akan melakukan upaya bersama Wali Kota Semarang untuk bisa mendatangkan ahli untuk melakukan kajian dan dari pihak BPN yang mengatakan ukuran itu benar," ujarnya.

Disinggung mengenai akan ada upaya petani ke KPK, politisi PDI Perjuangan ini mengatakan kalau mediasi ini tidak selesai bisa saja membawa kasusnya ke KPK, tapi ia berharap kasus ini selesai dengan berbagai upaya yang sedang diperjuangkan Wali Kota Semarang.

"Kalau memang bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan komitmen awal akan lebih baik daripada membawanya ke KPK, karena kasihan juga petani. Jadi harapan saya sudah ada upaya seperti ini selesaikan seperti ini saja dan itu juga yang diharapkan para petani," pungkas Pilus.