Kelompok Intoleran Semakin Terang-terangan

Kelompok intoleran mengarah pada kekerasan semakin berani terang-terangan. Atas dasar perbedaan keyakinan keagamaan, mereka semakin terbuka dalam melakukan penolakan kegiatan keagamaan, pengusiran tokoh yang berbeda agama, bahkan penyerangan.


"Berdasarkan data-data yang kami himpun, memang sekarang kelompok intoleran cenderung semakin berani dan terang-terangan. Bahkan melakukan penyerangan secara langsung, membabi buta," jelas Ketua Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Tedi Kholiludin, di kantornya, Minggu (11/2/18).

Tedi menambahkan, insiden penyerangan di Gereja St Lidwina Bedhog Trihanggo, Sleman, Yogyakarta menambah daftar kasus intoleran mengarah pada kekerasan.

Meskipun aparat belum mengungkap motif yang sebenarnya, kata Tedi, namun patut diduga alasan penyerangan karena perbedaan keyakinan keagamaan.

Sebagai informasi, seorang pria berumur 30-an tiba-tiba mengamuk sambil mengacung-acungkan samurai saat ratusan umat Gereja St Lidwina Bedhog Trihanggo, tengah khusyuk menggelar ibadat.

Pelaku yang mengenakan kaus hitam langsung membabi buta menyabetkan samurai sepanjang satu meteran ke arah jemaat. Sedikitnya lima jemaat, termasuk pemimpin ibadah, Romo Edmund Prier SJ, mengalami luka sabetan samurai.

Korban langsung dilarikan ke beberapa rumah sakit, seperti RS Panti Rapih, Ludira Husada, dan RS Akademik UGM.

Penyerangan ini sangat mengerikan. Ada orang yang membabi buta mengayun-ayunkan pedang kepada orang yang sedang beribadah. Insiden ini di siang bolong dan pelaku sendirian, ini menandakan bahwa mereka semakin berani dan terbuka," tambah  Tedi.

Insiden Serupa

Dalam catatan Elsa, lanjut Tedi, insiden penyerangan di Sleman mirip dengan yang terjadi di Sukoharjo, Jateng, Sabtu (19/8/2017). Sekelompok orang bercadar, bercelana cingkrang, dan membawa senjata tajam menyerang warga dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang sedang bertugas menjaga acara warga.

Kejadian itu di Desa Siwal, RT 4/2 Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI). Kelompok yang membawa senjata tajam itu berteriak-teriak ‘takbir’ dan merusak membabi buta yang ada di depan mereka termasuk anak-anak.

Kejadian lain, kata Tedi, ada ibu-ibu yang masih menjabat di tingkat RW, menghentikan acara dangdutan dengan dalih haram. Acara dangdutan itu masih dalam rangka HUT RI. Acara syukuran HUT RI pun batal digelar.

"Ini menandakan apa? Ya tak lain karena kelompok intoleran ini merasa semakin percaya diri. Sehingga mereka semakin berani terang-terangan dalam melakukan aksinya. Entah ini ada kaitannya dengan situasi politik atau tidak, yang jelas ini berbahaya bagi kerukunan umat beragama," papar Tedi.

Dosen Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) ini menyarankan kepada aparat kepolisian supaya pelaku dan otak penyerangan bisa diungkap. Selain itu, aparat kepolisian juga harus siaga dalam mengantisipasi kejadian-kejadian seperti ini.  

"Jika motif, otak penyerangan, dan kelompoknya tidak terungkap ini menjadi preseden buruk bagi aparat kepolisian. Ini wajib diungkap. Selain itu, aparat juga harus antisipasi jangan sampai terulang lagi karena kecenderungan kelompok intoleran sekarang semakin berani," tegas Tedi.