- Pemerintah Perlu Waspadai Kebijakan Tarif Impor Trump
- Apakah Ormas Berhak Menjadi Negara Di Dalam Negara?
- Membawa Agama Yang Ekologis Dan Penuh Kasih
Baca Juga
Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam, salah satunya sumber daya alam hayati sebagai sumber pangan. Meskipun kaya sumber daya alam, persoalan pangan di Indonesia masih menjadi persoalan krusial setiap tahunnya.
Hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, Indonesia masih harus mengimpor. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi kenaikan impor beras sebesar 165,27% atau 2,2 juta ton pada periode Januari – Mei tahun 2024 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Menurut data Global Food Security Index (GFSI) tahun 2022, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 113 negara, berada di bawah rata-rata global. Kemudian menurut laporan Global Hunger Index (GHI) tahun 2024, tingkat kelaparan di Indonesia berada di peringkat ke-77 dari 127 negara dan sebanyak 7,2% penduduk Indonesia kekurangan konsumsi pangan.
Guna menjawab persoalan tersebut, pemerintah melaksanakan salah satu misi Asta Cita yaitu memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan.
Upaya tersebut dilakukan dengan melibatkan desa, khususnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bersama lembaga ekonomi masyarakat desa menggunakan Dana Desa. Meski pun tersedia dana desa, bukan perkara mudah untuk melaksanakannya. Banyak aspek yang harus dipersiapkan, baik aspek teknis, lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya.
Menurut data Indeks Desa untuk swasembada pangan, sejumlah 57.959 desa atau 77,01% dari total 75.259 desa penerima Dana Desa tahun 2024 tergolong desa belum swasembada pangan. Selain itu, isu politik dan keamanan global, krisis perubahan iklim, serta potensi bencana alam semakin menambah tantangan dalam mewujudkan misi tersebut.
Pengalaman Sejarah
Jika melihat kembali sejarah, pada tahun 1995 pemerintah Orde Baru pernah melaksanakan Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektare. Proyek yang dilaksanakan di Kalimantan Tengah tersebut merupakan program alih fungsi lahan gambut dan hutan menjadi lahan pertanian padi. Oleh karena lahan gambut kurang sesuai untuk penanaman padi, program PLG mengalami kegagalan hingga akhirnya dihentikan tahun 1998.
Tahun 2008 pemerintah menghidupkan kembali program alih fungsi lahan gambut dan hutan. Program yang diberi nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tersebut dilaksanakan di lahan seluas 1,2 juta hektare di Merauke, Papua Selatan. Tahun 2020 pemerintah kembali lagi melaksanakan program yang sama bernama Food Estate yang bertujuan mengantisipasi terganggunya rantai pasokan pangan dan produksi pangan nasional akibat Pandemi Covid-19, pembatasan sosial, dan pemutusan hubungan kerja (PHK). Food Estate dilaksanakan salah satunya di bekas lahan PLG di Kalimantan Tengah.
Meski pun telah dijalankan program alih fungsi lahan gambut dan hutan untuk pertanian, harga pangan di Indonesia, khususnya beras masih tinggi. Menurut Bank Dunia, harga beras di Indonesia 20% lebih tinggi dibandingkan harga beras di pasar global. Di sisi lain tingginya harga beras di Indonesia tidak sebanding dengan pendapatan petani. Menurut hasil Survei Pertanian Terintegrasi BPS tahun 2021, pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia hanya Rp14.527 per hari atau Rp5,23 juta per tahun.
Belum maksimalnya hasil program alih fungsi lahan gambut dan hutan untuk pertanian dipengaruhi oleh empat sebab.
Pertama, lahan gambut kurang sesuai untuk penanaman padi sehingga hasilnya tidak maksimal. Di samping itu, alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian justru mengurangi atau bahkan memusnahkan keragaman hayati sebagai sumber pangan. Bahan-bahan pangan lokal seperti sagu, umbi-umbian, daging hewan liar, dan ikan menjadi langka sehingga melemahkan ketahanan pangan lokal. Ke dua, komoditas pangan yang dikembangkan di luar Pulau Jawa didominasi komoditas pangan yang bersifat Jawa-sentris misalnya beras yang belum tentu sesuai dengan keadaan alam, kebutuhan masyarakat, dan keragaman sosial budaya setempat. Ke tiga, kurang melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan sehingga masyarakat tidak merasakan manfaat langsung dari program tersebut. Selain itu, program berskala besar tersebut lebih sesuai untuk kebutuhan industri daripada kebutuhan masyarakat. Ke empat, kurang mengakomodasi kearifan lokal yang mengakibatkan praktik-praktik pertanian tradisional bernilai luhur, ramah lingkungan, dan berkelanjutan seperti tumpang sari, nyabung gunung, pranoto mongso, subak, mina padi, dan sebagainya berangsur ditinggalkan dan terancam punah.
Petani Muda Desa
Sebagai pelaksana program ketahanan pangan desa, pemerintah desa perlu menjadikan program-program alih fungsi lahan gambut dan hutan untuk pertanian beserta problematikanya sebagai pengalaman. Untuk itu, desa dapat mempertimbangkan empat hal.
Pertama, memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan warga desa secara mandiri, subsisten, dan berkelanjutan, salah satunya untuk mencegah dan menurunkan angka stunting (tengkes) di desa. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Desa PDT Nomor 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional Atas Fokus Penggunaan Dana Desa Tahun 2025. Dengan terpenuhinya kebutuhan pangan warga desa secara subsisten, selanjutnya desa dapat mengembangkan program ketahanan pangan yang berorientasi komersial.
Ke dua, berfokus pada komoditas pangan lokal dan potensi lokal sesuai Pasal 7 ayat (2) Permendesa PDT Nomor 2 Tahun 2024. Produksi pangan lokal dapat menjadi sarana melestarikan keragaman pangan guna meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal serta mengembangkan usaha pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 1 ayat (16) dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Tersedianya beragam pangan lokal dapat mengurangi ketergantungan pada jenis pangan tertentu, khususnya beras yang ketersediannya terbatas dan harus diimpor.
Ke tiga, melibatkan dan memberdayakan masyarakat petani lokal, khususnya generasi muda. Salah satu penyebab rentannya ketahanan pangan Indonesia adalah kurangnya regenerasi petani. Menurut hasil Sensus Pertanian BPS tahun 2023 Tahap 1, persentase jumlah petani berusia 43 – 58 tahun sebesar 42,39%, sedangkan persentase jumlah petani berusia 27 – 42 tahun sebesar 25,61%. Dengan adanya regenerasi petani dapat membantu mengendalikan tingginya arus urbanisasi serta menjaga keseimbangan jumlah penduduk desa dan kota. BPS memperkirakan pada tahun 2035 jumlah penduduk di perkotaan akan meningkat mencapai 66%. Menurut laporan Bank Dunia berjudul Realizing Indonesia’s Urban Potential, ledakan urbanisasi di Indonesia terjadi tahun 1980 – 1990. Bank Dunia memproyeksikan tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia di perkotaan akan mencapai 70%.
Ke empat, mengakomodasi kearifan desa. Setiap desa memiliki kearifannya masing-masing yang dipengaruhi kondisi alam, sejarah, ekonomi, dan sosial budaya setempat. Menurut undang-undang desa, desa memiliki kewenangan lokal mengurus rumah tangganya sendiri termasuk mengelola kearifannya. Kearifan desa beserta nilai-nilai luhurnya seperti menghargai alam, gotong royong, kebersamaan, dan tolong-menolong dapat menjadi landasan dalam mewujudkan ketahanan pangan desa.
Dengan program ketahanan pangan desa yang selaras dengan alam, berkearifan desa, dan dilaksanakan bersama masyarakat lokal, diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas ragam komoditas pangan lokal sehingga dapat terwujud swasembada pangan dan ketahanan pangan serta keberlanjutannya di masa depan.
*) Irawan Januari Putra, Perangkat Desa, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten
- Pemerintah Perlu Waspadai Kebijakan Tarif Impor Trump
- Apakah Ormas Berhak Menjadi Negara Di Dalam Negara?
- Membawa Agama Yang Ekologis Dan Penuh Kasih