Masyarakat NTT Tolak Penempatan Napiter

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak bila tanah mereka dijadikan bunker dan tempat perburuan teroris oleh aparat.


Hal itu dikarenakan, ada sejumlah napi teroris (napiter) yang dititipkan di berbagai Lembaga Pemasyarakatan (LP) maupun Rumah Tahanan (Rutan) di NTT.

"NTT tidak boleh dijadikan bunker bagi para teroris dalam pengejaran aparat. Masyarakat akan bergolak jika itu dilakukan," tegas koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus dalam keterangannya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (21/5).

Petrus menekankan Gubernur NTT Frans Lebu Raya, kakanwil Pemasyarakatan Kementerian Hukum & HAM RI dan pimpinan Polda NTT perlu mendata ulang dengan cermat semua aktivitas mantan pengurus dan anggota Hizbur Tahrir Indonesia (HTI) di NTT, lalu segera mengembalikan ke daerah asalnya masing-masing.

"Pendataan itu sangat penting. Dikhawatirkan terjadi koneksi antara napiter di sejumlah lapas di NTT dengan para mantan anggota dan pengurus HTI di NTT," jelas advokat senior Peradi yang merupakan putra asli NTT ini .

Menurut Petrus, basis penyebaran dan penguatan sel-sel jaringan teroris di NTT diduga bisa dilakukan melalui  tiga komponen relasi yaitu melalui oknum para mantan anggota atau pengurus HTI, partai politik yang aktif mendukung HTI dan napiter titipan melalui kunjungan keluarga pada waktu berkunjung para napi di Lapas dan atau rutan di NTT.

Dalam kondisi seperti ini, kata dia, diperlukan gerakan bersama untuk memotong mata rantai hubungan napiter dengan para mantan anggota dan pengurus HTI.

"Juga perlu memotong hubungan maupun aktivitas parpol pendukung HTI di NTT," ujarnya.

Langkah ini perlu dilakukan karena tidak tertutup kemungkinan aksi-aksi bom bunuh diri yang akhir-akhir muncul kembali, dikhawatirkan menyasar juga ke gereja-gereja di NTT.

"NTT bisa semacam daerah uji coba mereka, karena Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya sudah dikuasasi oleh personil Polri dan TNI. Ruang gerak mereka sudah sempit di kota-kota itu," ujar Petrus.

Petrus mengingatkan, jangan sampai NTT dijadikan daerah alternatif sebagai pilihan bersembunyi atau bunker, dan kemudian melakukan aksi teror untuk menunjukkan eksistensi mereka.

"NTT bisa menjadi salah satu target gerakan teroris, karena di sana banyak gereja yang tidak dijaga secara ketat, seperti halnya gereja-gereja di kota-kota besar lainnya di Indonesia," paparnya.

Petrus menyatakan, keberadaan napiter di sejumlah lapas dan rutan di NTT yang baru diungkap oleh Gubernur Frans di beberapa media masa di Kupang pada Selasa (15/5) lalu, sungguh membuat kaget semua masyarakat di NTT.

"Kami semua kaget. Karena kebijakan penempatan napiter di NTT justru mendekatkan para teroris dengan obyek-obyek yang selama ini menjadi target teroris yaitu gereja dan kantor polisi yang pengamanannya longgar," ujarnya.

Petrus menegaskan, kebijakan itu sangat keliru karena akan mengancam kerukunan hidup umat beragama yang berdampingan secara damai di NTT.

"Belum lagi, kemampuan personil Polri di NTT masih jauh dari memadai. Ingat, yang dihadapi adalah teroris terlatih, bukan dengan penjahat kampung," ujarnya.

Jadi, kata dia, permintaan Gubernur Kepala BIN, Polri dan Petugas di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan Rumah Tahanan di NTT yang terdapat titipan napiter agar dipantau dan diawasi secara ketat, tidak tepat.

Bagi Petrus, permintaan itu tidak sesuai dengan potensi arus masuknya jaringan teroris ke NTT yang hendak menyamarkan aktivitas mereka.

Asal tahu saja, lanjut dia, masyarakat di sejumlah tempat seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan lain-lainnya menolak jenazah teroris untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum di daerahnya.

"Itu  harus dimaknai bahwa masyarakat telah memahami bahwa teroris sebagai musuh bersama," ujar Petrus.