Melupakan Jejak Kelam Masa Silam

ilustrasi terorisme/net
ilustrasi terorisme/net

Sebuah rumah bertingkat di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VI RT 01/RW IV, Kelurahan Gisikdrono, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, menjadi saksi bisu dari sebuah peristiwa kelam, yang mewarnai perjalanan hidup Machmudi Hariono (45).


Rabu, 9 Juli 2003, rumah megah bercat putih yang terletak di ujung kampung itu, digerebek pasukan berlogo burung hantu, Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri.

Di rumah itu, Tim Densus menemukan 1 ton bahan peledak dan bom rakitan, serta ratusan sandal. Polisi juga menangkap empat orang penghuni yang mengontrak rumah tersebut.

Keempat orang itu adalah Machmudi Hariono alias Yusuf Adirima, Heru Setiawan alias Suyatno, Luluk Sumaryono alias Joko Ardianto, dan Siswanto alias Anto. Untuk menghindari kecurigaan warga, empat anggota Jamaah Islamiyah (JI) itu, bahkan menyamar sebagai pedagang sandal. Ada pula dari mereka yang ditugasi berbaur akrab dengan warga setempat.

Penangkapan itu berujung vonis 10 tahun penjara bagi Mahchmudi Hariono. Pria asal Jombang, Jawa Timur itu, menjalani hukuman 5 tahun 6 bulan, dan sempat merasakan jeruji penjara Nusakambangan. Seharusnya, dia baru bebas pada 2012, namun pada 2009 menerima pembebasan bersyarat.

"Karena divonis 10 tahun, seharusnya saya baru bebas pada 2012. Tapi, setelah menjalani hukuman 5 tahun 6 bulan, saya dapat pembebasan bersyarat, pada Januari 2009, saya resmi bebas dari Lapas Kembang Kuning, Nusakambangan," ungkap pria yang juga biasa disapa Yusuf, ini dalam perbincangan dengan RMOLJateng.

Dia dan tiga rekannya dihukum karena menyimpan bahan peledak yang merupakan barang titipan Musthofa alias Abu Tholut, terdakwa kasus Bom Marriot, di rumah kontrakannya. Dalam sidang, Rabu, 19 Mei 2004, majelis hakim PN Semarang memvonis Machmudi Hariono 10 tahun penjara. Dia dijerat Pasal 9 Perpu No 1 Tahun 2002 Juncto Pasal 1 UU No 1 Tahun 2003 Juncto Pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP tentang Terorisme.

Sebelum bergabung dengan JI, pria beranak tiga ini pada 2000 pernah berjuang bersama Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Nur Misuari, di Moro, Filipina Selatan. Dia mengaku, perjuangannya berjihad saat itu, karena solidaritasnya terhadap sesama umat Islam yang dizalimi.

Sembunyikan Noordin M Top

Sri Pujimulyo Siswanto (47), bahkan dua kali masuk penjara karena terlibat terorisme. Pria berjanggut tipis yang tampil ramah dan bertutur kata halus itu, pertama kali ditangkap pada 2006, karena menyembunyikan gembong teroris asal Malaysia, Noordin M Top. Dia dihukum 6 tahun penjara.

Menjalani kurungan selama 4 tahun 9 bulan, dan bebas, ternyata tidak membuatnya kapok. Pada 2010, dia kembali ditangkap, karena menyembunyikan Musthofa alias Abu Tholut. Dia kembali divonis 6 tahun penjara.

"Total saya mendekam 10 tahun di penjara. Mulai dari Mako Brimob, Nusakambangan dan terakhir di Kedungpane. Kasus pertama saya menjalani hukuman 4 tahun 9 bulan, dan kasus kedua 4 tahun 3 bulan," ungkap Puji.

Puji mengenang, Sabtu, 14 Januari 2006, sekitar pukul 06.00 WIB, dia ditangkap polisi yang menggerebek rumahnya di Jalan Sumur Adem RT 03/ RW 01 Bangetayu, Genuk, Semarang. Dia dicokok polisi saat hendak mengambil rapor salah seorang anaknya.

Pagi itu, dua lelaki berambut gondrong yang tak lain polisi berpakaian preman meringkusnya. Penangkapan itu membuat sang istri shock, karena polisi mendobrak pintu belakang rumahnya, sebelum membawa pergi dirinya.

Saat itu, Puji bekerja di sebuah toko elektronik di Pasar Johar. Namun, perkenalannya pada kelompok jihadis, membuat Puji akhirnya terlibat dalam kegiatan terorisme. Jaksa Istiyasjoni pada sidang di PN Semarang, menuntutnya 10 tahun penjara, karena sengaja menyembunyikan Noordin M Top.

"Berdasarkan keterangan terdakwa, saksi dan barang bukti, terdakwa menjemput Noordin di RS Tugu Semarang dan berkeliling di Semarang sekitar tahun 2005," demikian tuntutan jaksa, pada sidang, Senin (6/11/2006).

Sri Puji dituntut hukuman lebih tinggi, karena terlibat secara aktif membantu menyembunyikan gembong teroris asal Malaysia yang paling dicari polisi saat itu. Dia menyembunyikan Noordin di rumahnya, atas perintah terdakwa Subur Sugiyarto alias Abu Mujahid.

Preman Jadi Teroris

Berbeda dengan Machmudi Hariono dan Sri Puji, Wartoyo dikenal sebagai preman dan residivis yang keluar-masuk penjara karena tindak kriminal.

Wartoyo yang dikenal dengan sebutan Toyo Preman itu, sebelum bergabung dalam kelompok jihadis, adalah preman dan residivis kasus penganiayaan dan narkoba. Dia sudah tiga kali masuk penjara.

Toyo Preman belakangan berubah total setelah berkenalan dengan kelompok jihadis, dan masuk dalam kelompok sel Jamaah Islamiyah. Dia pun terlibat rencana pembunuhan terhadap polisi dengan cara memberi racun ke dalam makanan.

Rencana meracuni polisi itu dirancang dan diotaki oleh Santhanam pada April 2011. Kelompok berjumlah 7 orang, termasuk Wartoyo. Saat itu, Wartoyo bersama seorang temannya Jumarto bertugas melakukan survei lapangan sebelum menaruh racun dalam makanan polisi.

Kelompok ini meramu racun dari buah jarak dan disimpan dalam botol air minum. Mereka berencana menyebarkan racun itu di kantin kantor polisi di wilayah Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Tengah.

"Semula saya dan teman memantau Kantor Polsek Glodok, tapi ternyata tak punya kantin. Akhirnya, pindah ke Kantor Polsek Kemayoran," ujar Wartoyo.

Namun sebelum aksinya terlaksana, mereka berhasil diendus polisi, yang kemudian menangkapnya pada 10 Juni 2011.

Menurut hakim PN Jakarta Pusat, kelompok ini mulai merancang teror pada April 2011. Waktu itu, Santhanam memimpin pengajian di halaman Masjid Al-Ikhlas, Kelurahan Kebon Kosong, Kecamatan Kemayoran. Awalnya, Santhanam hanya mengajarkan baca tulis Al-Quran, tapi lama kelamaan ajarannya mengarah ajakan jihad dengan rencana aksi meracuni polisi.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya menjatuhkan vonis 4 tahun penjara pada tahun 2012 kepada Wartoyo serta rekannya, Jumarto dan Santhanam. Wartoyo keluar penjara pada tahun 2014 setelah mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Membunuh Calon Pendeta

Lain lagi yang dilakukan Amir Mahmud. Eks jihadis asal Desa Ngaklingan, Gebog, Kudus. Amir dikenal sebagai ustad yang 4,5 tahun ikut berjihad di Ambon, Maluku. Kasus yang membuatnya meringkuk di penjara adalah kasus pembunuhan terhadap Omega Suparno, mahasiswa Sekolah Teologia Baptis Indonesia (STBI) Semarang, pada 11 Desember 2011.

Bersama rekannya, Sony Sudarsono dan Agus Suprapto, Amir Mahmud membunuh Omega Suparno, pria asal Jepara yang berpindah keyakinan.

Suparno dibunuh di Ruko Jember, Kudus, dan mayatnya dibuang di hutan jati area petak 106 Desa Jinggotan, Kecamatan Kembang, Jepara.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jateng, saat itu, Kombes Bambang Rudi Pratiknyo mengungkapkan, pembunuhan dilatarbelakangi dendam.

"Latar belakang pembunuhan karena dendam kesumat, gara-gara korban yang semasa hidupnya dengan para pelaku pernah sama-sama menekuni ajaran Islam, telah berpindah keyakinan. Bahkan, korban kuliah lagi di perguruan tinggi Baptis di Semarang. Perubahan agama itulah yang mendorong rekan-rekan lamanya jengkel hingga melakukan pembunuhan sadis tersebut," ujar Kombes Bambang Rudi Pratiknyo.

Akibat pembunuhan itu, pada 17 Oktober 2013, PN Jepara memvonis Amir Mahmud dan dua rekannya hukuman 15 tahun penjara.

"Setelah dikurangi remisi, saya menjalani hukuman 7 tahun kurang dua bulan, dan menghirup udara bebas 14 Agustus 2019," ujar Amir Mahmud.

Jejak kelam masa silam itu, kini telah dilupakan para eks jihadis. Hukuman puluhan tahun di penjara, dan perenungan mendalam, telah mengantarkan mereka pada jalan pertobatan. Bukan saja berikrar setia kepada Pancasila dan NKRI, mereka juga telah memilih jalan jihad yang lain, yakni berjihad untuk memberdayakan ekonomi keluarga dan rekan-rekan sesama eks jihadis.