- Kelirumologi Demokrasi (Pancasila) Kita
- Diplomasi Jamu Coro Ala Sunan Kalijaga
- Siapa Membunuh Siswa SMK?
Baca Juga
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata
Atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar
Ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
***
Petikan lirik lagu Achmad Albar dari God Bless sengaja menjadi kredo ‘Catatan Jayanto’ kali ini. Hati saya campur aduk mengikuti berupa-rupa dinamika sosial, dan turbulensinya yang begitu menukik.
Dunia tak ubahnya panggung sandiwara. Di Solok Selatan, Ranah Minang Perwira Menangah Polisi AKP Dadang Iskandar ‘kalap’ menembak sejawatnya sendiri, Kasatreskrim, Kompol Anumerta Riyanto Ulil Anshar.
Kejadiannya dipicu langkah Ulil Anshar (Kasatreskrim) dinilai menganggu bisnis lancung Dadang, yakni membekingi pengusaha galian C.
Selip kelindan relasi serupa memang jamak terjadi. Tidak hanya (terjadi) di tubuh kesatuan yang sama, namun antarkesatuan, seperti TNI dengan Polri, Polri dengan Korps Adyaksa, kemudian KPK dengan Polisi gesekan yang memercik keluar pernah terjadi. Peristiwa-peristiwa itu menghangatkan beragam sengkarut di negeri ini. Dunia (Negeri) ini panggung sandiwara.
Benar kata Achmad Albar, sebagaimana lirik di atas tadi (dunia) ini ‘Ceritanya mudah berubah’. Setiap kita dapat satu peranan. Jujur, sesungguhnya saya masih berduka, ibarat tangis, air mata kami belum kering.
Saya sedih, dan larut dalam ambigu perasaan terkait tragedi ‘Polisi Tembak Mati Siswa SMKN 4, Gamma Rizkynata Oktafandy’. Meski kematian adalah takdir, yang membuat empati kami adalah ‘penjelasan’ polisi yang menyebut Gamma anggota geng.
Ada apa dengan tragedi itu, benarkah dia (Gamma) memang gangster, dan begitu berbahayanya, atau mengancam (jiwa) oknum polisi bernama Robig Zaenudin, sehingga harus ‘tega’ menarik pelatuk, dan paham akan akibatnya dapat merenggut nyawa.
Apa betul, situasinya sudah benar-benar gawat. Pertanyaan lain membuhul, andai Aipda Robig Zaenudin memang sedang melakukan ‘pengindraan’ untuk menyebut memang sedang bertugas ‘patroli’ misalnya, itu beralasan.
Tapi logika orang awam, dia baru pulang dinas, artinya tidak sengaja bertemu rombongan Gamma, namun mengapa secepat itu mengambil keputusan untuk menggunakan senjata api. Catatan lagi Robig Zaenudin tugasnya di Satnarkoba.
Pertanyaan-pertanyaan itu mengusik nurani saya beberapa hari ini. Yang kemudian saya lakukan adalah ‘memupus’ dengan semangat ‘Gusti Ora Sare’. Apalagi Dewan Pers dan Konstituen lain turut peduli. yakni dengan menurunkan tim investigasi indenpen.
Harapan serupa juga kami sematkan pada jajaran Komnas HAM, dan wakil-wakil rakyat di Komisi III. Sebagai stakeholder yang mendapat amanah untuk merajut solusi atas nasib dan masa depan negeri ini memuarakan langkahnya untuk keadilan yang hakiki.
Jadi menentramkan hati warga repbulik ini tidak was-was lagi karena maaf mereka tidak sedang bersandiwara.
Soal Gus Miftah
Saya menulis ‘Catatan Jayanto’ tentang heboh Gus Miftah. Sebab musababnya bermula dari kegalauan yang menggelitik hati terkait kontroversi itu.
Ada selip di sana, yakni saat pengajian di Magelang Gus Miftah ‘nakal’ selengekan tatkala Sunhaji lagi menjaja minum es teh. Maaf, gara-gara selengekan dengan ucapan asal, dan nakal itu, akhirnya menyulut salah paham, emosi dan amarah. Ini jadi pelajaran untuk Gus Miftah, juga buat kita semua.
Reaksi publik yang heboh bukan lagi ‘Panggung Sandiwara’, tetapi dunia hari-hari ini memang lagi seperti diguncang tsunami sosial. Residu Pilkda, pemerintahan yang sedang mengalami transisi membuat jagad kehidupan serupa akuarium besar. Satu sama lain dapat saling mengintip, saling menyaksikan, jadi sedikit selip saja memercik emosi, menyulut api, amarah terbakar. Ya inilah era disrupsi.
Mereka yang punya spirit ‘Fastabiqul Khairat dan Amar Makruf Nahi Mungkar’ akan memanfaatkan seoptimal mungkin menyebarkan damai. Kita perlu memahami konteks dan ‘Nawaitu’ di balik pernyataan Gus Miftah. Maaf tidak bermaksud membela, karena terkait dengan diksi, pilihan kata yang diucapkan itu (Gus Miftah), jelas menjadi koreksi. Namun berdakwah adalah bentuk komunikasi yang syarat berupa-rupa warna.
Artinya Gus Miftah tidak sedang berada di ruang kosong, atau homogen. Sekarang ada mata lain yang menjadi ‘anjing penjaga’ yakni media sosial. Apapun ucapan, gerak, dan perilaku seseorang akan menjdi perhatian umum, tidak berbatas ruang, dan waktu. Kontroversi soal Gus Miftah tidak akan terjadi era dulu, ketika kita belum dijamah teknologi IT, era disrupsi.
Di sini, saya ingin mendudukkan persoalan dan mengambil sikap secara netral. Untuk diketahui Gus Miftah sejak awal berdakwah di wilayah yang jarang dijamaah oleh mereka yang lain. Kelab Malam, Kelompok Marginal, Lokalisasi adalah tempat dia (Gus Miftah) berkhikmat.
Dulu dia orang susah, yang mendedikasikan diri untuk kelompok marginal, hingga bertumbuh menjadi ulama, dan hidup berkecukupan.
Menurut saya Gus Miftah tidak bermaksud meneror dan merendahkan Sunhaji ketika itu. Tulisan ini (Catatan Jayanto) saya menyadari ada yang pro dan kontra yang kemudian melahirkan berupa-rupa komplikasi.
Dakwah adalah strategi berkomunikasi agar pesan yang disampaikan dipahami, dan menyadarkan orang lain. Ketika konteks ini dipahami selip ucap yang dilakukan oleh Gus Miftah selesai.
Namun sekarang, di era disrupsi, terlebih berbalut komplikasi dari mereka yang menjadi penunggang kepentingan alias penumpang gelap rawan memercik gerah.
Nah, di sinilah saya mencoba memaknai dan merasakan suasana kebathinan, mengapa Gus Miftah menangis saat menyatakan mundur. Adalah fakta terjadi selip ucapan, dan ‘ketidakpatutan’ menyangkut aspek-aspek etik berelasi saat Gus Miftah melakukan komunikasi publik.
Dia ketika itu barangkali alpa bahwa bukan lagi ulama kelas kampung, yang biasa berdakwah di komunitas marginal. Namun sekarang dia adalah pejabat (sebelum menyatakan mundur-red) yang perlu membawa diri sesuai fatsun-fatsun kepatutan secara etik.
Dalam konteks inilah selip ucapan itu dapat dan semestinya menjadi rambu-rambu tersendiri. Tapi nasi telah menjadi bubur.
Sikap yang perlu dipetik sebagai pelajaran, dan hikmah adalah bagaimana pun Gus Miftah telah melakukan langkah ksatria. Dia mengakui khilaf dan mundur. Sikap itu menunjukkan kedewasaan dan kejujuran yang kita perlu hormati. Kesungguhan dan ketulusan dia tunjukkan menyampaikan penyesalan dengan sepenuh hati.
Apalagi sebelumnya ulama marginal ini juga telah mendatangi Sunhaji dan menyampaikan permintaan maaf secara langsung. Tak cukup di sini (minta maaf), dia (Gus Miftah) unjuk penyesalan dan menyatakan mundur, sebagai bentuk tanggung jawab moral, sekaligus pelajaran.
Dengan menangis tokoh kelahiran Lampung, pernah kuliah di IAIN Sunan Kalijag meski tak tamat menyampaikan kata-kata pamit. "Yang membuat saya terharu bukan karena takut kehilangan jabatan.
Bahwa kepercayaan Pak Prabowo kepada saya sangat besar, sangat besar, yang notabenenya saya latar belakang anak jalanan, yang bergaul dengan dunia premanisme, lokalisasi dan klub malam, diberi kepercayaan, kehormatan seperti ini (utusan khusus Presiden).
Dan yang membuat dia meneteskan air mata adalah karena belum bisa menjadi apa yang menjadi ekspektasinya orang yang memberi amanah, yakni Presiden Prabowo Subiyanto.
Karena itu dengan segala kerendahan hati dan ketulusan dan dengan penuh kesadaran, dia mengambil sikap, yakni dengan memutuskan mundur, setelah melalui permenungan mendalam juga melakukan istikharah.
Sampai di sini, selesai?! Ternyata tidak, selip ucapan ketika pengajian reda, ada yang menggoreng soal lain. Video lamanya ketika itu meledek atau menghina seniman senior Yati Pesek ada yang menjadi viral kembali. Menanggapi maraknya kembali soal video itu (meledek Yati Pesek), Gus Miftah, santai saja.
"Itu monggo saja, saya bisa berbuat apa? Video sudah tiga tahun lalu kembali diungkit," ucap Gus Miftah di telvisi, Jumat (6/12/2024). "Kalau toh itu diambil, diviralkan lagi, ya biar saja. Saya selalu mengatakan orang baik pasti punya masa lalu, dan orang jelek saya menyakini pasti ada masa depan".
"Yang jelas urusan dengan pihak Yati Pesek sudah selesai. Saya sudah berkomunikasi melalui abah saya Sragen dan saya setelah ini insyaallah akan bersilaturahmi dengan beliau (Yati Pesek) ," ucapnya.
Semua itu, kini menjadi pelajaran, tidak hanya untuk Gus Miftah, tetapi bagi kita semua. Secara khusus pengasuh Pondok ‘Ora Aji’ itu berkomitmen untuk lebih berhati-hati memilih kata dan diksi. Meski karakter dakwahnya akan tetap dipertahankan.
"Saya mungkin kurang sadar, bahwa saya hari ini lebih banyak dikenal orang, semua kamera menyorot ke saya," katanya.
Ya, itulah hikmah, kristalisasi yang akhirnya dapat dipetik menjadi penutup catatan ini. Pesan lain adalah, pengalaman menjadi guru yang terbaik, sayang datangnya belakangan, karena tidak ada pengalaman datang mendahulu.
Banyak orang alpha dan tidak menyadari lidah dalam mulut tak terasa, tetapi silapnya betapa dahsyat. Juga ada pepatah Jawa, ajining diri mung seko lati, kehormatan, kedudukan, dan kedamaian terkoyak, bahkan hancur karena silap ucap yang tak seberapa.
Assalamu’alaikum Gus Miftah, saya yakin anda akan menjadi lebih bijak. Jangan lelah untuk tetap berdakwah.
Jayanto Arus Adi, Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Aktif di MOJO (Mobil Jurnalis Indonesia), yakni organisasi bagi penggiat jurnalis berbasis Android. Selain di MOJO juga banyak bergiat di JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia)-Konstituen Dewan Pers, duduk sebagai Ketua Bidang Pendikan, Pelatihan, dan Penelitian. Mengajar Jurnalis di beberapa Perguruan tinggi, dan konsultan media. Mengelola RMOL Jateng, Political Online yang berpengaruh di Jawa Tengah, sebagai Pemimpin Umum, sekaligus Pemimpin Redaksi.