PILKADA Serentak 2024 bakal segera digelar segera. Sudah pasti di udara maupun di darat bakal bertebaran janji-janji dari para kandidat dan tim pendukung yang berkompetisi memperebutkan kekuasaan daerah-daerah otonom untuk posisi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, maupun posisi Walikota dan Wakil Walikota.
- Segarkan Mimpi Swasembada Dengan Swasedia Pangan
- NAWACITRA JOKOWI
- Menerawang Sosok Yang Cocok Jadi Gubernur Jawa Tengah
Baca Juga
Di Wilayah Jawa Tengah selain akan terjadi perebutan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur; berlangsung pula persaingan merebut jabatan Bupati dan Wakil Bupati di 30 Kabupaten; serta perebutan 5 kursi Walikota dan 5 kursi Wakil Walikota.
Artinya, tidak ada daerah otonom di Jawa Tengah, juga di Indonesia yang absen dari Pilkada Serentak 2024 yang pendaftaran pasangan calonnya (Paslon) dijadwalkan berlangsung dari 27-29 Agustus 2024, dilanjutkan dengan penetapan pasangan calon yang berhak berebut suara pada 22 September 2024.
Masa kampanye dalam rentang waktu selama 2 bulan mulai 25 September sampai dengan 23 November 2024 inilah waktu dimana janji bakal bertebaran.
Baik yang diucapkan langsung oleh pasangan calon, oleh Tim kampanye, Juru Bicara, Para Pendukung, serta narasi-narasi materi kampanye yang tertulis, bergambar, maupun alat kampanye dalam bentuk audio dan audio visual. Janji-janji dihadirkan untuk mendapatkan suara, pengaruh, dukungan, bisa juga untuk popularitas.
Kenapa janji masih menjadi alat sekaligus daya tarik yang signifikan untuk meraih dukungan? Kenapa terjadinya “ingkar janji” dari para politisi yang banyak terjadi sebelumnya, tidak membuat masyarakat menjadi jera?.
Mengacu pada definisi yang dibuat KBBI (Kamus Umum Bahasa Indonesia), janji diartikan sebagai: 1. ucapan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat (seperti hendak memberi, menolong, datang, bertemu); 2. persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu); 3. ketentuan (yang harus dipenuhi); dan dua arti lainnya.
Secara logika, janji adalah pernyataan satu pihak, sehingga tanggung jawab ada di satu pihak pula. Jadi, jika calon gubernur, bupati, walikota, berjanji; kalau tidak dilaksanakan maka tanggung jawabnya ada pada yang bersangkutan.
Janji berbeda dengan perjanjian, karena dalam perjanjian ada pihak lain yang terlibat karena menyatakan bersepakat untuk melakukan atau tidak melakukan.
Tingkat tanggung jawab terhadap janji, memang lebih rendah dari sumpah. Karena dalam sumpah Sumpah pernyataan yang diucapkan melibatkan Yang Adi Kodrati, Tuhan, sehingga tanggung jawabnya menjaid lebih besar.
Sumpah adalah sesuatu yang secara resmi dilakukan untuk untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan dan sebagainya di hadapan Tuhan. Karena itu, mereka yang memenangkan kompetisi dalam Pilkada Serentak (juga proses kontestasi lain) saat dilantik dengan pengambilan sumpah, bukan hanya beruhutang kepada orang lain, tapi juga berhutang kepada Tuhan dan berhutang kepada diri sendiri.
Sunguh mengerikan dan berat jika janji-janji yang diberikan dilanjutkan dengan sumpah tidak dilaksanakan dan dipenuhi. Anehnya, risiko yang berat dan konsekuensi yang mengerikan itu, ternyata tidak membuat minat menjadi pemimpin surut. Bahkan ada kecenderungan meningkat minatnya.
Dalam kosakata Jawa, Janji di kalangan awam disebutkan dengan janji juga, ada yang menyebutnya sebagai saguh (bersedia), semaya (berjanji), sementara dalam bahasa kromo inggil disebutkan sebagai prasetya yang diartikan saguh bakal setya tuhu (bersedia untuk menepati secara sungguh-sungguh).
Melihat fenomena banyaknya janji kampanye yang diingkari, sepantasnya kita semua mulai berpikir jernih terkait janji-janji yang dsampaikan para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah beserta pendukung dan Tim Kampanyenya. Tidak selayaknya semua janji dipercaya.
Lihat dan selidiki dulu siapa dia, seperti apa sosoknya, termasuk perjalanan rekam jejaknya. Dari hal-hal seperti itulah kita memiliki bekal dalam mengambil keputusan, apakah calon tersebut sosok yang setia pada janji, atau sering mengobral janji gombal?.
Yang disebut janji dalam politik adalah gagasan, konsepsi, cara, metode untuk menjawab harapan dan keinginan masyarakat. Karena itu, setiap janji politik dalam kampanye secara sederhana bisa diidentifikasi apakah itu logis, sesuai dengan harapan atau ekspektasi masyarakat; atau sekedar ujaran atau wacana di ruang kosong.
Kalau itu bukan sesuatu yang bisa menjawab harapan masyarakat, artinya si calon pemimpin itu kalau terpilih kerjanya “meninju ruang kosong saja”.
Janji kampanye yang relevan adalah janji yang afirmatif. Artinya, janji yang digali dari aspirasi dan harapan masyarakat, yang akan dijawab dan diwujudkan setelah yang bersangkutan menjabat.
Kamus Merriam-Webster menarasikan afirmatif sebagai sinonim dari “menyatakan bahwa faktanya memang begitu, memberikan jawaban positif”, “mendukung suatu usulan atau gerakan, suara setuju” dan “suatu penegasan”.
Adapun sebagai kata benda, afirmatif bermakna “sebuah ekspresi (seperti kata ya ) penegasan atau persetujuan”, serta sebagai “pihak yang mendukung proposisi yang dinyatakan”.
Kalau apa yang dijanjikan tak sejalan dengan yang kita harapkan, abaikan saja meski yang bersangkutan memberi sembako, minyak goreng, pakaian, sumbangan tertentu, serta uang.
Yakinlah dia tak akan bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat jika tak punya janji yang afirmatif. Kalau dia melakukan, hasilnya pasti akan mengecewakan.
Sri Mangkunagoro IV dalam Serat Wedhatama mengingatkan 3 syarat yang perlu dimiliki semua orang, terutama para (calon) pemimpin yaitu Wirya, Arta dan Winasis (Pupuh Sinom, bait ke-15). Wirya adalah “keluhuran, kekuasaan”, maknanya orang yang wirya adalah mereka yang memakai kekuasaannya dengan cara dan dengan tujuan yang baik.
Arta dalam arti sempit adalah uang. Namun di sini arta dimaknai bahwa orang yang menjadi pemimpin memiliki bekal materi yang cukup, atau Bahasa kerennya secara materi sudah selesai dengan dirinya sendiri. Sehingga saat punya kekuasaan tidak nggragas, memanfaatkan kuasa untuk mencari kekayaan.
Adapun winasis berasal dari kata “Wasis” yang berarti pandai, cakap, berpengetahuan, berilmu. Orang Jawa mengajarkan dalam mencari ilmu disebut ngelmu. Adapun cara mendapatkannya: Ngelmu iku kelakone kanthi laku (Ilmu itu didapat dengan cara melakukannya).
Serat Wedhatama tegas menyatakan, jika 3 syarat itu tak dimiliki (kalamun kongsi sepi saka wilangan tetelu) maka habislah jejak-jejaknya sebagai manusia (telas tilasing janma).
Sri mangkunagoro IV mengibaratkan daun jati kering lebih berharga dari orang yang tidak memiliki tiga hal tersebut (aji godhong jati aking). Mereka yang kehilangan tiga hal itu akhirnya akan menderita (papa), menjadi pengemis (papriman) dan terlunta-lunta tak tentu arah tujuan (ngulandara). Apakah kita mau dipimpin oleh orang yang tanpa bekal tiga tersebut?.
- Pak Jokowi Tolong Hentikan Egoisnya Jalan Tol Kita
- Menerawang Sosok Yang Cocok Jadi Gubernur Jawa Tengah
- Jangan Halangi Dan Kritik Jokowi!