Merawat Mangrove, Menjaga Paru-Paru Dunia dan Mendulang Rupiah

Jalur treking yang mengelilingi hutan mangrove di Grand Maerokoco Semarang, yang menjadi magnet wisatawan. Hutan mangrove bukan hanya menjaga paru-paru dunia, namun mampu mendulang rupiah dari sektor pariwisata. Foto-foto sebelum pelaksanaan PPKM Darurat. / net
Jalur treking yang mengelilingi hutan mangrove di Grand Maerokoco Semarang, yang menjadi magnet wisatawan. Hutan mangrove bukan hanya menjaga paru-paru dunia, namun mampu mendulang rupiah dari sektor pariwisata. Foto-foto sebelum pelaksanaan PPKM Darurat. / net

“Indonesia serius dalam menangani perubahan iklim dan menyerukan kepada dunia untuk mengambil tindakan nyata, memimpin dengan menjadi teladan. Sebagai negara kepulauan terbesar dan rumah bagi hutan tropis, mengatasi perubahan iklim adalah kepentingan nasional Indonesia.” Itulah pidato Presiden Indonesia Joko Widodo pada KTT Iklim yang diprakarsai oleh AS, Kamis (22/4/2021).


Dalam KTT tersebut, Jokowi mengatakan bahwa  “kebijakan, pemberdayaan dan penegakan hukum, laju deforestasi di Indonesia berada pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.” Dia juga menjelaskan bagaimana moratorium yang dilakukan oleh Indonesia terhadap hutan alam dan konversi lahan gambut telah menghasilkan “penurunan 82 persen” kebakaran hutan.

Indonesia, kata Jokowi, juga  memiliki rencana ambisius untuk merehabilitasi hutan bakau terluas di dunia selambatnya tahun 2024, sehingga akan berdampak “penyerapan karbon empat kali lipat dibandingkan dengan hutan-hutan tropis.”

Ambisi dan obsesi Jokowi untuk mengatasi perubahan iklim sebagai bagian dari apa yang disebutnya ‘’kepentingan nasional Indonesia’’, menjadi PR besar bangsa ini, karena di saat yang sama ekosistem mangrove di Indonesia mengalami tekanan degradasi yang diakibatkan beragam faktor misalnya alih fungsi lahan, pencemaran limbah domestik dan limbah berbahaya lainnya, belum lagi pembalakan dan eksploitasi berlebihan serta meningkatnya laju abrasi.

Dampak perubahan lahan mangrove ini berpotensi sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca sebagai hasil terbukanya hutan mangrove yang berakibat teroksidasinya cadangan karbon yang tersimpan dalam tanah.

Di Indonesia, ekosistem mangrove mengalami tekanan degradasi yang serius. Dari 3,31 juta hektare (ha) lahan mangrove di Indonesia, sebanyak 0,64 juta ha dalam kondisi kritis.

Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan pada Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kus Prisetiahadi mengatakan, arahan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pada rakor Menko 11 Januari 2021, untuk merehabilitasi lahan kritis mengrove seluas 600.000 ha dengan target per tahun sebesar 150.000 ha.

‘’Estimasi kebutuhan dana rehabilitasi mangrove seluas 600.000 ha membutuhkan pembiayaan sebesar Rp23 triliun,’’ ungkap Kus Prisetiahadi, pada focus group discussion (FGD) bertajuk Bincang Mangrove Sesi I yang digelar WRI Indonesia bekerja sama dengan Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia dan AJI Jakarta, Kamis (8/7/2021).  FGD tersebut digelar hingga 4 seri.

Data tahun 2019 menyebutkan, total lahan kritis mangrove di 34 provinsi mencapai 637.624 hektare. Di Jawa Tengah, luas tutupan mangrove dalam kurun waktu tiga tahun terakhir mengalami degradasi. Pada tahun 2017, luas tutupan mangrove mencapai 12.661 ha, Pada 2020 tinggal 11.945 ha.

‘’Dalam waktu tiga tahun saja, lahan mangrove yang kritis atau rusak mencapai 716, 41 ha,’’ ungkap Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto.

Widi mengatakan, luas wilayah pesisir di Jawa Tengah mencapai 3,25 juta ha terdiri atas 1.103.669 ha pesisir panti utara (pantura) dan 627.844 ha pesisir pantai selatan. Dari jumlah itu, luas wilayah yang terkena abrasi mencapai 6.566,97 ha, dan luas akresi sekitar 12,565,19 ha. Abrasi mengakibatkan lahan mangrove terdegradasi. Abrasi itu, kata Widi, karena gencarnya pembangunan perumahan dan industri di kawasan pesisir.

‘’Untuk rehabilitasi, perlu adanya koordinasi dan sinkronisasi antarelemen terkait, Jangan sampai bibit mangrove ditanam sekarang, sudah tumbuh bagus, lima tahun lagi lahannya dibangun industri atau perumahan. Rehabilitasi menjadi sia-sia,’’ tegasnya.

Menjaga Paru-paru Dunia

Ketua Yayasan Institut Sumber Daya Dunia dan Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia,  Tjokorda Nirarta Samadhi  mengatakan, penyelamatan mangrove yang terdegradasi penting untuk menjaga ekosistem mangrove di Tanah Air.

‘’Manfaat mangrove tak kalah dengan hutan-hutan tropis yakni menjaga paru-paru dunia, selain memiliki nilai ekonomis untuk pariwisata, tempat berkembang biaknya flora dan fauna. Hutan mangrove sangat penting mengurangi pemanasan global,’’ ungkapnya.

Namun, di sisi lain, ekosistem mangrove di Indonesia mengalami tekanan degradasi yang luar biasa akibat alih fungsi lahan, pencemaran limbah domestik dan limbah berbahaya lainnya, pembalakan liar, industrialisasi, dll. Sebagai negara yang memiliki 20 persen populasi mangrove atau setara 3,5 juta hektare dari total lahan mangrove dunia, Indonesia memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem ini.

Untuk merehabilitasi mangrove, Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perpres Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove. Terkait program itu, Kabupaten Brebes di Jawa Tengah, telah dipilih dan tengah disiapkan pemerintah sebagai salah satu lokasi Persemaian Mangrove Skala Besar dan Mangrove Center of Excellence. Diharapkan, kelak Brebes bisa menjadi pusat mangrove dunia.

Magnet Wisatawan

Di Semarang, hutan mangrove diolah menjadi objek wisata yang menarik minat masyarakat, termasuk kalangan milenial. Hutan mangrove di Grand Maerokoco Semarang yang dikelola PT Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) Jawa Tengah, sejak lima tahun terakhir menjadi objek wisata favorit anak muda, karena memiliki spot-spot foto yang instagramable.

Direktur Utama PRPP Jateng, Titah Listyorini kepada RMOL Jateng, Selasa (27/7/2021) mengakui, Grand Maerokoco yang dulu dikenal sebagai Taman Mini-nya Jawa Tengah, sempat kehilangan pamor dan sepi pengunjung. Selain karena kerap dilanda banjir rob, koleksi bangunan rumah adat 35 kabupaten/kota di Grand Maerokoco juga terkesan kuno dan tak memiliki daya tarik pengunjung.

Namun, sejak pihaknya membangun jalan bambu Trekking Mangrove pada bulan November 2016 dan membukanya secara resmi sebulan kemudian,  Grand Maerokoco sontak menjadi magnet wisatawan, utamanya kalangan milenial.

Jalur Trekking dibuat dari bambu berbentuk setengah lingkaran hanya satu meter dari permukaan air. Pejalan kaki dapat berjalan di dalam dan sekitar pohon bakau yang rimbun serta berfoto dengan latar nuansa hijau dan tepi laut. Pengunjung biasanya melintasi jalur trekking pada pagi hari dan sore hari.

Tingkat pengunjung cenderung meningkat dari waktu ke waktu setelah jalur trekking dibuka, dari semula rata-rata hanya 300 pengunjung, kini jumlahnya meroket sampai 1.200 pengunjung per hari. Saat ini, Grand Maerokoco buka setiap hari dari pukul 07.00-19.00.

Untuk menarik penonton yang lebih besar, pengelola terus menyelenggarakan event-event yang menarik dari olahraga memancing, festival budaya dan hiburan musik. Tak ketinggalan, Malam Minggu Maerokoco (M2M), yakni panggung terbuka di tepi danau dengan hutan mangrove sebagai latar belakang, kian menjadi hotspot yang menarik minat wisatawan.

"Untuk sementara, karena PPKM Darurat, tempat ini masih kami tutup," ujar Titah.

Karenanya, terbukti, merawat mangrove tak hanya menjaga paru-paru dunia, namun sekaligus mampu mendulang pundi-pundi rupiah dari sektor pariwisata.