Mungkinkah Gilang Jadi Korban Terakhir?

Kekerasan yang Terus Berulang di Lingkungan Pendidikan
ilustrasi kekerasan. / sumber: internet
ilustrasi kekerasan. / sumber: internet

Polisi tengah menyelidiki kasus kematian Gilang Endi Saputra (21), mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo saat mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Dasar (Diklatsar) pragladi angkatan 36 Resimen Mahasiswa (Menwa) di kawasan Jurug, Kota Solo, Minggu (24/10/2021).


Kasat Reskrim Polresta Solo AKP Djohan Andika, Senin (25/10/2021) mengatakan, penyidik akan segera memeriksa panitia kegiatan tersebut. Pihak keluarga meminta agar kasus ini diusut tuntas dan menangkap pelakunya. Polisi menunggu hasil otopsi jenazah korban.

Kerabat korban,  Sadarno menyebut, saat tiba di  rumah, keluarga merasa curiga dengan luka-luka di jasad korban yang tidak wajar.

"Kondisi korban mukanya sudah memar, banyak mengeluarkan darah. Di tengkuk juga ada luka," terangnya.

Mendapati kondisi tersebut, lanjutnya, pihak keluarga kemudian menggelar musyawarah. Hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk melapor polisi.

Tewasnya Gilang Endi Saputra (21) saat Diklatsar Menwa, menjadi contoh kasus terbaru kekerasan di lingkungan pendidikan yang berujung maut. Kasus kekerasan yang merenggut nyawa ini menjadi pertanyaan besar, mengapa kasus kekerasan di lingkungan pendidikan masih terus berlanjut.

Puluhan kasus kekerasan berujung kematian telah terjadi di lingkungan pendidikan di negeri ini, mulai dari jenjang pendidikan menengah, universitas, hingga yang paling banyak terjadi di lingkungan sekolah/pendidikan kedinasan. Sebelum kasus Gilang,  pada 9 September 2021 lalu,  taruna PIP Semarang Zidan Muhammad Faza (21) tewas setelah dianiaya 5 taruna senior.

Lima taruna PIP Semarang yang menjadi tersangka penganiayaan terhadap taruna junior, Zidan Muhammad Faza. foto: Detik.com

Superioritas Senior

Pengamat pendidikan sekaligus Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Drs Koentjoro MBSc PhD, seperti dikutip dari Kompas.com, mengungkapkan, berbagai kasus kekerasan fisik yang berujung kematian karena adanya unsur superioritas.

"Itu menyangkut superioritas. Ada dua, yakni masalah superirotas dan sudah seperti (tindakan) tradisi," ujar Koentjoro.

Kekerasan fisik, khususnya di sekolah kedinasan, sudah terjadi dari tahun ke tahun, dan ketika dianggap menjadi "budaya" sulit untuk dibenahi.

Profesor Koentjoro menjelaskan, tindakan superioritas merupakan bentuk perilaku senior yang merasa "super" dan paling istimewa. "Senior merasa super, merasa kelompoknya paling baik, paling istimewa," ujar Koentjoro.

Hadirnya rasa "super" ini bukan dari sisi pribadi saja, melainkan dalam lingkup kelompok-kelompok, terutama angkatan di dalam sekolah baik itu di sekolah sipil atau militer. Junior harus patuh. Selain itu, tindakan superioritas ini dapat dikenali dengan ciri tidak dilakukan oleh senior seorang diri, melainkan banyak pelaku.

Untuk jumlah korban, Koentjoro menjelaskan, biasanya juga tidak seorang diri, korban juga ada beberapa. Namun, jumlah korban biasanya lebih banyak daripada jumlah senior.

"Kalau banyak pelakunya, maka yang terjadi perilaku massa saling dorong-mendorong satu dengan lainnya dengan unsur perilaku-perilaku yang kasar atau keras," ujar Koentjoro.

Dari situ, timbul dampak lain, semacam perilaku "kalap" atau kebablasan. Jika kelompok senior menunjukkan superioritasnya dan kemudian dilawan oleh junior, hasilnya akan terjadi kemarahan yang meluas. Bahkan, bisa terjadi pembunuhan akibat eskalasi kemarahan.

"Maka yang terjadi sebetulnya, ketika ada yang dipukul oleh senior agar tidak terjadi pembunuhan, juniornya itu (bersikap) diam," kata dia.

Sementara, jika junior bersikap diam, maka senor akan menganggap itu sebuah bentuk kepatuhan dan rasa takut. Jika sudah terpatri rasa patuh dan takut tersebut ada di dalam diri junior, maka muncul aturan: "Senior itu yang paling benar".

Kasus kekerasan fisik senior kepada junior paling banyak terjadi di kampus IPDN/STPDN, seperti kasus tewasnya praja Wahyu Hidayat pada 2003 dan praja Cliff Muntu pada 2007, yang sangat menghebohkan publik negeri ini.

Dalam kasus Cliff Muntu, penganiayaan yang dilakukan para siswa senior bahkan sempat dicoba ditutup-tutupi pihak manajemen sekolah dengan cara memerintahkan jenazah Cliff disuntik formalin untuk menutupi bekas penyiksaan. Cliff kemudian dinyatakan meninggal karena sakit liver. Tetapi, berkat keberanian Inu Kencana Syafiie, salah seorang staf pengajar IPDN, berbagai kasus kekerasan yang terjadi di IPDN akhirnya berhasil dibongkar.

Inu Kencana bahkan sempat menulis sebuah buku yang mengungkap sekitar 17 kematian tak wajar yang dialami sejumlah praja IPDN dalam kurun waktu 1990–2007. Sanksi berat hingga pemecatan terhadap sejumlah pelaku baru diberlakukan pada 2007, ketika kasus kematian Cliff memperoleh perhatian luas publik. Sejak itu,  sudah 45 praja yang diberhentikan.

Memberantas Subkultur Kekerasan

Dosen Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya Bagong Suyanto menulis, studi yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) (2015), menunjukkan fakta mencengangkan terkait perkembangan subkultur kekerasan siswa di jenjang SMP dan SMA.

Di Indonesia, dilaporkan sekitar 84 persen anak ternyata telah mengalami tindak kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia, yakni 70 persen. Memberantas subkultur kekerasan di sekolah kedinasan niscaya tidak akan banyak memberikan hasil jika tidak dilakukan sejak awal dari hulunya, yaitu dengan cara memutus mata rantai subkultur kekerasan sedini mungkin.

Sejumlah faktor penyebab tindak kekerasan di sekolah kedinasan bertahan menjadi tradisi dan sulit dibongkar. Pertama, di sekolah kedinasan, relasi antara senior dan junior –meminjam istilah Michel Foucault– adalah relasi kuasa. Ada satu pihak yang sangat dominan dan ada pihak lain yang tersubordinasi dan tidak berdaya karena ada di bawah tekanan struktur sosial yang sudah terinternalisasi. Seorang siswa junior tidaklah mungkin berani melawan siswa seniornya. Sebab, ancaman sanksi yang mereka hadapi tidak hanya datang dari siswa senior yang bisa dipastikan bakal memperlakukan mereka dengan lebih keras. Ada juga tekanan struktural yang menjejas mereka.

Kedua, tindak kekerasan telah terinternalisasi sebagai bagian dari proses inisiasi yang selalu terulang dari waktu ke waktu. Mata rantai tindak kekerasan tidak mudah diputuskan. Pasalnya, siswa junior pada tahun pertama masuk sekolah menjadi korban bullying dan korban kekerasan. Pada tahun kedua mereka bukan tidak mungkin berubah posisi menjadi pelaku bullying dan tindak kekerasan terhadap adik kelasnya dalam rangka balas dendam dan menjadi bagian dari rule of the game yang diwariskan dari angkatan ke angkatan berikutnya.

Ketiga, secara kelembagaan, sekolah kedinasan tampaknya belum secara serius berupaya menghapus proses pewarisan kultur kekerasan. Bahkan, pihak pimpinan sekolah sendiri tampaknya menjadi bagian yang berusaha ikut menutup-nutupi peristiwa kekerasan yang terjadi agar tidak menjadi aib yang mencoreng nama baik sekolahnya.

Bagong menegaskan, memutus mata rantai tindak kekerasan yang berkembang di sekolah kedinasan harus diakui bukan hal yang mudah. Selama ini berbagai usaha sebetulnya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya penganiayaan kepada siswa junior. Bisa melalui sosialisasi dan kontrol ke kamar-kamar siswa, termasuk memasang CCTV di sejumlah lokasi.

‘’Namun, karena yang dihadapi adalah sebuah tradisi dan subkultur kekerasan yang memiliki akar yang panjang dari jenjang pendidikan sebelumnya, upaya memberantas tindak kekerasan di sekolah kedinasan tidak bisa tidak harus dimulai sedini mungkin,’’ pungkasnya.

Pertanyaannya, mungkinkah Gilang menjadi korban yang terakhir dari arus kekerasan subkultur ini? Jawabannya, sangat relatif. Selama subkultur kekerasan masih terus dibiarkan, dan relasi kuasa senior-junior masih terus dilanggengkan, mata rantai kekerasan ini niscaya tidak pernah putus.