Pabrik Semen di Wonogiri, Siapa Salah?

dok.kemendikbun.go.id
dok.kemendikbun.go.id

Polemik rencana pendirian pabrik terus bergulir. Para pihak yang berkepentingan bersikukuh telah melakukan proses dengan semestinya.

Salah satunya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Proinsi Jawa Tengah, Widi Hartanto menyatakan telah melakukan tugas sesuai dengan kewenangannya.

Singkatnya, Widi meyakinkan bahwa lokasi penambangan dan rencana pendirian pabrik semen berada diluar Kawasan bentang alam karst (KBAK) Gunung Sewu (GS). “Itu di luar kawasan (Geopark UNESCO -red). Kalo di karst ya enggak boleh,” jelasnya beberapa waktu lalu.

Dengan dalih telah sesuai prosedur, maka pihaknya menerbitkan izin amdal (Analisis Dampak Lingkungan) yang diajukan oleh PT Anugerah Andalan Asia.

Dari laman DLHK.Jatengprov.go.id, merilis pengumuman mengenai dampak lingkungan (Amdal) kegiatan pembangunan pabrik semen oleh PT Anugerah Andalan Asia terintegrasi operasiobal produksi pertambangan batu gamping oleh PT Sewu Surya Sejati Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, sejak 5 Juli 2024.

Sementara, Direktur PT Anugerah Andalan Asia, Suwadi Bing Andi menjelaskan bahwa untuk mengurus perijinan membutuhkan waktu yang tidak singkat, yakni sekitar setahun karena harus melalui tahapan perbaikan yang berulang kali.

“Proses amdalnya sih cepat ya. Yang lama kan proses konsultasi publik dan sosialisasi ke masyarakat yang dilakukan oleh pemrakarsa,” ujarnya.

Sementara, Camat Pracimantoro juga menyatakan sudah mengetahui perihal rencana penambangan batu gamping sebagai bahan baku semen di wilayahnya. Empat desa yang berpotensi sebagai lahan pertambangan adalah Watangrejo, Sambiroto, Suci dan Gambir Manis.

Namun, masyarakat di wilayah terdampak yang tergabung dalam Paguyuban Tali Jiwo (Tolak Ambisi Liar Industri Jagat Ijo Wasis Aji) menyatakan bahwa proses penyusunan amdal dilakukan dengan tanpa sosialisasi bahkan terkesan tertutup, tetapi tiba-tiba amdalnya terbit.

“Mereka enggak jujur, enggak jelas mau apa saat tim mereka blusukan. Sepanjang tahun 2022-2023 hanya bisa berspekulasi. Sampai tahun 2024 amdal keluar,” beber Suryanto, juru bicara paguyuban Tali Jiwo dikutip dari Kompas.com, Jum’at (25/04).

Untuk itulah paguyuban terbentuk sebagai bentuk penolakan atas rencana proyek bernilai investasi Rp 6 triliun tersebut.  

Beberapa yang menjadi alasan penolakan mereka lebih pada kekhawatiran atas rusaknya siklus hidrologi dari ekosistem karst, dampak buruk pada kesehatan akibat polusi debu, hilangnya mata pencaharian karena rusaknya lahan produktif serta potensi kerusakan sosial budaya.     

Kekecewaan memuncak ketika harga tanah ditawar hanya Rp 50 ribu permeter tanpa sosialisasi apalagi negosiasi. Sementara, tanah tempat mereka berpijak bernilai historis yang merupakan ruang hidup untuk memenuhi hajat hidupnya secara turun temurun.

Untuk itu, pendamping paguyuban Tali Jiwo, Suryo Permen menyampaikan permohonan agar mengulas, merevisi atau mencabut Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2/2020 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Wonogiri.

“Menurut kami perda tersebut lebih mengakomodadi kepentingan industri dan mengesampingkan kesejahteraan warga dan mengesampingkan pelestarian alam,” terang Suryo.

Dalam dengar pendapat dengan DPRD Wonogiri, warga mendesak agar pemerintah melindungi seluruh kawasan bentang alam karst (KBAK) Gunung Sewu dari ancaman industrialisasi.

Diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 1659/ K/40/MEM/2004, KBAK Gunung Sewu yang membentang dari Gunungkidul di Provinsi DIY, Wonogiri di Jawa Tengah, dan Pacitan di Jawa Timur mencapai luas 1.363 kilometer (km) persegi.

Selang 20 tahun, luasan tersebut mengalami deklinasi (penyusutan) sepanjang 263 km persegi, menjadi 1.100 km persegi, sebagaimana disebut dalam Kepmen ESDM No 3045 K/40/MEM/2024.

Khusus di Kabupaten Wonogiri, KBAK Gunung Sewu mencakup lima kecamatan yakni Pracimantoro, Eromoko, Giritontro, Giriwoyo, dan Paranggupito.

Tak terkecuali, meski memiliki luas paling besar dibandingkan dengan dua daerah yang lain, luas KBAK GS di kabupaten Wonogiri juga mengalami deklanasi sekitar 50%. Dari yang sebelumnya 338 km persegi berkurang menjadi 162,8 km persegi, sejak 2014.