Pak Lutfi..Pak Lutfi...Tenang Saja, Saya Sudah Di Sini!

Ungkapan Gibran Rakabuming Raka, Calon Wakil Presiden RI Terpilih ketika acara deklarasi pasangan Capres Prabowo-Gibran di Arena Gelora Bung Karno, Jakarta, menjadi sebuah frase yang melegenda.


Publik terhenyak, terpukau bahkan terhipnotis oleh kata kata itu. Di tengah keraguan umum kepadanya, Gibran mampu membangun afirmasi yang begitu piawai, elok. Meski sempat meletupkan kontroversi, kok pede amat? Namun, dimensi sensasionalitas pidato putra sulung Presiden Joko Widodo melahirkan decak membahana.

Butet Kertaraharja, tokoh teater Gandrik Yogyarkarta, yang mendeklarasikan sebagai antitesa Gibran tak luput geleng-geleng kepala juga. ‘’Cah edaan! Aseem!’’begitu kira-kira gerutunya.

Ungkapan itu seketika melangit menjadi viralitas melampui batas batas kelaziman. Wali Kota Solo yang distigmatisi anak ingusan itu ternyata mampu melakukan manuver yang benar benar jump out of the box. Gibran sang tukang martabak tak sekadar melakukan ‘out of the box’.

Namun, melompat, ya melompati kotak itu sendiri. Debut Gibran yang semula diposisikan publik sebagai underdog menjadi beroleh angin. Momentum yang secara paralel memompa percaya dirinya hingga berangkai memasuki tahapan-tahapan berikut.

Retorika tengil yang dipertontonkan saat debat diakui atau tidak mengundang simpati publik. Menghadapi kontestan kontestan gaek, seperti Mahfud MD, atau juga Cak Imin narasi yang dipaparkan Gibran mampu mencuri poin. Artinya dalam konteks menawarkan alternatif sebagai representasi kaum milenal dia dapatkan itu.

Riak-riak politik masih mengemuka tidak terlalu menjadi residu yang menganggu. Gaduh yang ditiupkan sejumlah pihak secara anatomis lebih dipijakkan oleh muatan muatan politis yang sifatnya parsial. Secara hitam putih hajat Pilpres telah berjalan sebagai pengejawantahan demokrasi. Bagaimana proses itu berlangsung dan kemudian semua pihak dewasa menerima hasilnya menjadi pelajaran penting dan bersikap lebih arif.

Paradoks Demokrasi

Demokrasi kita hari-hari ini menjadi sebuah ironi dan paradoks dari sebuah lakon yang tidak tuntas. Politik uang, politik transaksional, dan dinasti politik adalah ibu kandung kemunduran berbangsa serta bernegara yang nyata. Demokrasi itu melahirkan fenomena pemimpin pemimpin instan yang tidak mempunyai akar. Tidak berakar, namun menggenggam kekuasaan.

Frase pembuka pada tulisan Catatan Jayanto “Pak Lutfi Tenang Saja, Saya Telah Di Sini” menjadi katarsis sebuah zaman sedang sedang berubah. Kita saat ini sedang berada pada suatu kondisi yang maju kena mundur kena. Atas nama demokrasi siapa pun dapat meraih tahta dan kedudukan meski kapasitas jauh api dari panggang.

Kapasitas digeneralisasikan menjadi isi tas. Kompetensi, rekam jejak dan leadership menjadi terabaikan karena manipulasi materialistik – maju tak gentar membela yang bayar. Astaga naga. Jika demikian yang terjadi ke mana muara bangsa ini hendak dihela? Pemilu kita hari-hari ini menjadi gerbang emas mereka yang berduit, atau berkelindan dengan kekuasaan.

Kapasitas kalah oleh isi tas. Kecenderungan seperti ini melahirkan politik dinasti dan menebalkan politik uang. Pileg, Pilkada, Pilgub, Pilpres menjadi ruang yang tidak bersahabat dengan orang miskin. Suara menjadi komoditi. Tidak ada uang tidak ada dukungan. “Yak ono uwik, yak obos’, menjadi praktek biasa.

Menghadapi situasi semacam itu lantas apa yang dapat diharapkan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Fenomena Jamak Pilkada

Realitas di atas menjadi kotak pandora mencermati hajad demokrasi dan dipijakkan sebagai ikhtiar mencari pemimpin. Pasca Orde Baru tumbang beberapa waktu kemudian muncul jargon yang menggelitik naluri kita. Luwih enak zamanku to? Frase ini menjadi semacam anomali atas perubahan di negeri ini. Orde baru yang dipersepsikan tidak demokratis, memasung kebebasan dan cenderung otoriter ternyata justru dirindukan kembali.

Nurani publik terkoyak bukan semata melihat berupa rupa keganjilan yang berlanjut menjadi sebuah diskursus. Kita melihat pasca orde baru lahir tatanan-tatanan yang prosesnya seperti “Bandung Bondowoso”. Distorsi etik, perubahan tata nilai yang menerabas rambu rambu kepatutan menjadi hal yang lumrah.

Globalisasi memporakporandakan budaya yang berakar pada tradisi tradisi luhur. Gotong royong, toleransi, tenggang rasa mencair oleh asupan-asupan modernisasi yang keblinger. Lantas apa yang perlu dilakukan menghadapi kecenderungan seperti itu? Tri Sakti Bung Karno menjadi sangat relevan digaungkan kembali keras keras saat ini.  

17 Agustus 1964 pemikiran orisinal itu dicetuskan oleh Soekarno. Intinya, berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan. Kini Tri Sakti Bung Karno menjadi renainssance atau ruang untuk kembali meneguhkan sikap yang berpijak pada nilai nilai luhur bangsa.

Yang memprihatinkan, istilah itu berulangkali diteriakkan namun implementasi nol besar. Tak bermaksud meledek, apa yang sering diucapkan politisi politisi termasuk Hasto Kristanto, Sekjen PDI Perjuangan, Tri Sakti Bung Karno menjadi sekadar slogan, atau menjadi snobisme yang kebablasan. Hasto menjadi politisi yang piawai membuat narasi narasi tentang Soekarnois. Namun, dalam implementasinya masih kalah dengan Bambang Patjul.

Andai Hasto dapat membingkai artikulasinya dengan sandaran sandaran kultural yang ditunaikan secara selaras dalam arti manjing, ajur, ajer, dia akan ditahbiskan bukan hanya sekadar sebagai politisi, namun sekaligus seorang negararwan.

Dalam konteks ini Hasto tidak sebijak Bambang Patjul yang dalam unjuk pengabdiannya sebagai politisi mengedepankan aspek amot momot.

Fenomena Hasto Kristianto dan Bambang Patjul di tubuh Partai Moncong Putih adalah sebuah diskursus yang menarik untuk didalami. Erat menarik benang merah di sini Puan Maharani beruntung memiliki sekondan ideologis seorang Bambang Patjul.

Karena dia (Patjul) dapat membaca dan memempatkan diri sebagaimana mestinya seorang Korea. Pepatah jawa Lamun Siro Sekti, Aja Mateni, Lamun siro banter, aja nglancangi, Lamun siro landep aja nathoni menjadi dimensi yang melekat dalam pribadinya.

Relasi semacam itu membuat Puan Maharani nyaman, dan memberi kepercayaan penuh pada sosok Patjul. Tidak ada matahari kembar dalam relasi Puan Maharasi dan Bambang Patjul. Keduanya bertumbuh pada teritorinya masing-masing. Relasi yang senada dapat dinarasikan bagaimana hubungan Prananda Prabowo dan Hasto Kristianto.

Prananda yang notabene adalah Satrio Piningit yang memiliki darah biru kepartaian tidak bertumbuh seperti duet Puan–Patjul. Kurang dekat apa Hasto dengan Nanan, sebutan putra Megawati ini buah pernikahannya dengan seorang pilot AU, Surendro.

Simak, karier politik Hasto melejit bak meteor, namun Prananda justru luput dari orbit. Lalu apa yang terjadi di sini?  Jawabnya Hasto memposisikan diri sebagaimana Patjul mendampingi Puan.

Pamor PDI Perjuangan yang surut dan tercabik di palagan Pilpres dan raihan Pileg tidak lepas dari komplikasi persoalan ini. Publik bagaimana pun tetap menaruh simpati pada Bambang Patjul meski kandangnya Jawa Tengah jebol dan banyak banteng-bantengnya mbedal

Loyalitas semacam itu tidak akan terjadi jika komunikasi yang dibangun tidak menembus hati mereka. Patjul dapat melakukan itu, sebagai komandan dia tetap disegani, eloknya meski tanpa atribut formal kader tetap setia.

Apakah simpati dan relasi kultural dari kader dapat terbangun pada Hasto Kristianto? Biar jawaban publik disimpan di benak masing masing dan testimoni itu waktu yang akan mengujinya. Waktu dan alam adalah seadil-adilnya hakim.  Satu hal PDI Perjuangan perlu melakukan koreksi, instropeksi dan kembali pada khittah, yakni sebagai partainya wong cilik.

Prabowo Menjadi Kunci

Kembali pada Pilgub Jateng dengan menyarikan pernik-pernik di atas sebagai sebuah pelajaran ada beberapa hal yang perlu diperas, diendapkan, dan dijadikan pijakan melangkah.  Jawa Tengah menjadi episentrum penting karena menjadi palagan simbolik pertarungan Mak Banteng dan Raja Solo. Ibarat dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah.

Semua pemangku kebijakan perlu mengedepankan kearifan menyikapi eskalasi dan konstraksi yang berkembang di lapangan. Kalkulasi dengan hati dan jiwa bening harus menjadi ikhtiar agar tak banyak pelanduk menjadi korban sia-sia. Ideal memang jika Mak Banteng dan Raja Solo dapat bertemu dan terajut kembali komunikasi.

Kalau itu dimaknakan sebagai pengorbanan menanggalkan ego masing masing, bangsa ini sungguh akan menapaki derajat peradaban luar biasa.

Memetik pelajaran dari sejarah tidak ada keadilan dan kemakmuran yang dibangun di atas perang. Di belahan dunia mana pun juga tidak ditemui hal yang sama. Konflik, perselisihan dan perang hanya melahirkan penderitaan serta kehancuran. Karenanya bersilang sumbu pendapat antara elit bangsa, semestinya perlu dirajut kembali dalam spirit kebersamaan.

Regregasi Presiden Joko Widodo dengan Megawati mesti ada figur penjembatan yang menemalikan kembali relasi batinnya. Kita meneguhkan positive thinking bahwa tokoh-tokoh dan pemimpin bangsa ini tidak ada pamrih yang terselip kecuali untuk bangsa juga negara sebagai tanah tumpah daerah. 

Yang terhormat Ibu Mega, Pak Jokowi, dan Pak SBY tidakkah perjuangan dan pengorbanan yang telah dibangun menjadi tidak utuh ketika silang batin tak dileburkan kembali?

Momentum Di Depan Mata

Saat ini momentum itu di depan mata, akan dibawa kemana perahu bangsa dimuarakan? Elit bangsa ini perlu diketuk nuraninya dan memiliki kebesaran hati, kearifan juga kenegawaranannya.

Spirit dari seorang Prabowo Subiyanto menanggalkan ego atas nama bangsa bergabung di pemerintahan Joko Widodo adalah sebuah keteladanan. Atas pengorbanan itu Prabowo layak menjadi bapak bangsa.

Kini seorang prajurit yang pernah dilucuti bintangnya menjadi orang sipil yang tersia-siakan itu menjadi pemegang kunci dari transisi peradaban. Indonesia akan menjadi jaya, atau sebaliknya seorang Prabowo memiliki obligasi yang begitu menentukan. Sebagai seorang Panglima Tertinggi setelah dilantik menjadi Presiden RI ke-8, Prabowo adalah pemegang titah. Sabdo Pandhito Ratu.

Saya bermimpi putra begawan ekonomi Prof Soemitro Djojohadikusumo ini dapat mengutuhkan kembali ke-Indonesiaan dengan Taman Sari seperti cita cita Bung Karno.

Di titik ini perlu permenungan, kristalisasi dan meneguhkan kembali nilai nilai ke-Indonesiaan. Saya ingin menyitir pesan Bung Karno, ‘’Kalau jadi Islam, jangan menjadi orang Arab, kalau jadi Hindu jangan menjadi orang India,’’ Indonesia adalah Indonesia. Pancasila adalah Pancasila. Demokrasi kita bukanlah demokrasi Amerika, atau demokrasi liberal ala Barat.

Pak Prabowo melalui ‘Catatan Jayanto’ sebagai warga negara yang bukan siapa-siapa, tetapi berbicara atas dasar hari nurani saya mengharapkan kembalikan Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945.

Demokrasi kita, maaf, bukan demokrasi yang berpijak pada nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia. Bagaimana demokrasi yang merepresentasikan civil society justu memudarkan gotong royong, dan kolektivitas hidup bermasyarakat. Desa kita dulu adalah cermin peradaban yang erat relasinya dengan bumi, dan alam sekitar.

Setiap hari begitu senja datang, adzan berkumandang di surau-surau, langgar dan juga masjid, religiositas mengembang. Anak anak mengaji, belajar tentang kehidupan tentang alif, ba, tha dan seterusnya. Jadi diri, kepribadian itu dibentuk, bertumbuh dari sentuhan hati.

Sekarang Taman Sari itu sirna. Globalisasi meleburkan keberagaman menjadi ideologi material. Seperti demokrasi kita hari hari ini dan peradaban kita sekarang tidak lain dan tidak bukan dibangun atas dasar transaksi. Jangan harap menjadi bupati, wali kota, gubernur dan wakil rakyat jika tidak berpunya. Ini bukan jer basuki mowo beo, namun materialisme telah menjadi agama.

Ya, agama, yang disadari atau tidak, memasung spiritualitas kita. Islam, Kristen, Hindu, Budha telah menjelma menjadi semacam organisasi, ajang mendaki kekuasaan. Demokrasi tidaklah menjadi terjemahan rakyat yang kuasa. Namun bendawi, materi, uang yang menjadi tuhannya.

Pak Prabowo, saya berharap sebagai Presiden, bapak dapat hadir dan mendengar amanat hati nurani rakyat. Selamatkanlah Indonesia, selamatkanlah Jawa Tengah, dan selamatkanlah Nusantara ini.  

Selamatkan Jawa Tengah

Judul kecil di atas, yakni ‘Selamatkan Jawa Tengah’ sengaja menjadi nukilan yang ingin dengan keras kami gaungkan. Semoga ‘Catatan’ ini sampai pada tokoh tokoh yang secara khusus saya sebut di sini. Selain Pak Prabowo, mereka adalah Megawati, Joko Widodo, Pak Lutfi dan Andika Perkasa.

Mencermati mengikuti dinamika Pilgub Jateng dengan segala dinamikanya saya khawatir kontestasi ini akan menjadi battle ground seru dan sengit.

Pilgub Jateng bukanlah sekadar kompetisi antara Irjen Pol Ahmad Lutfi dan Jenderal Andika Perkasa. Lutfi dan Andika adalah representasi simbolik dari ikhtiar menabalkan afirmasi Mak Banteng dan Raja Solo. Tarik menarik dan variabel yang mempengaruhi cukup kompleks. Untuk itu agar tidak bereskalasi pada abuse of power dan gesekan yang melibatkan arus bawah, elit perlu memberikan keteladanan. Stop!

Semua pihak perlu menahan diri dan biarkanlah rakyat menentukan pilihan berdasarkan hati nuraninya. Identitas identitas yang melatarbelakangi baik Ahmad Lutfi dan juga Andika Perkasa tidak perlu dikibar kibarkan menjadi panji panji. Sekali lagi Pilgub Jateng bukanlah segala-galanya. Kalah menang adalah soal biasa. Ini bukan pertarungan siapa-siapa.

Tidak ada pilgub jadi simbol pembuktian siapa lebih unggul antara Mak Banteng dan Raja Solo. Pilgub tak lebih dari serupa pemilihan kepala desa. Ada dua calon Ahmad Lutfi dan Andika Perkasa. Wong Jawa Tengahlah yang punya hak, punya suara.

Silakan dukung, silakan coblos sesuai dengan hati nuraninya. Dua-duanya putra terbaik, dan pantas menjadi lurahnya Jawa Tengah.

Jayanto Arus Adi, Wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers, Pemimpin Umum dan Redaksi RMOLJATENG. Aktif di JMSI  Pusat sebagai Ketua Bidang Pendidikan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) pusat. JMSI adalah Konstituen Dewan Pers. Aktif mengajar jurnalistik di beberapa perguruan tinggi. Saat ini sedang menempuh Studi Doktoral (S3) di Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang.