Penegakan Hukum Atas Kejahatan Lingkungan Sulit Dilakukan dengan Pendekatan Normatif

Kriminolog UI Adrianus Meliala saat jadi narasumber webinar Resolusi Kejahatan Lingkungan oleh PDIL Unika Soegijapranata Semarang.
Kriminolog UI Adrianus Meliala saat jadi narasumber webinar Resolusi Kejahatan Lingkungan oleh PDIL Unika Soegijapranata Semarang.

Penegakan hukum atas suatu kejahatan lingkungan sangat sulit dilakukan hanya dengan pendekatan normatif belaka.


"Kejahatan lingkungan umumnya sulit dihukum dengan pendekatan normatif atau positivistik. Kalau hanya melalui pendekatan normatif, akan sulit ditemukan apakah izin suatu pertambangan melanggar UU lingkungan hidup, misalnya, apakah ada eksplorasi yang melanggar UU  pidana. Sangat sulit, karena semuanya pasti sudah atas dasar UU. Kecuali, bisa melalui pendekatan radikal atau struktural, bisa ditemukan apakah secara struktural ada pejabat atau penguasa yang menggunakan kekuasaan untuk memaksa masyarakat agar menerima kehadiran perusahaan tambang, misalnya," ujar Kriminolog UI Adrianus Meliala, dalam webinar bertajuk Resolusi Kejahatan Lingkungan yang digelar Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata Semarang, Jumat (18/2) malam.

Adrianus menilai, faktanya, kejahatan lingkungan sangat sulit ditembus dengan norma hukum positif semata. Sebab, dari beberapa kasus pencemaran lingkungan, sangat sulit ditemukan pelaku pidana itu di lapas atau rutan. 

"Dalam beberapa kasus, pelakunya bukan lagi dipidana sebagai pelaku kejahatan lingkungan, karena faktanya di kepolisian dan kejaksaan, nomenklatur soal kejahatan lingkungan itu tak ada, kalau pun ada nomenklaturnya berbeda," ujarnya.

Seringkali pula, kata dia, pelaku kejahatan lingkungan tak berlanjut ke pengadilan, dan kasusnya menguap atau berhenti di tahap penyidikan. "Kasusnya berhenti, karena ada suap atau hadiah tertentu kepada pimpinan aparat keamanan," imbuhnya.

Menurut Adrianus, pelaku kejahatan lingkungan yang sial karena diseret ke meja hijau, umumnya tak menunjukkan penyesalan dan rasa bersalah. 

Penegakan hukum atas kejahatan lingkungan pun, kata dia, dinilai lemah. Hukum pidana mengenai asas penyelesaian sengketa, sanksi administrasi serta negosiasi, dianggap sebagai kelemahan dari UU nomor 32 tahun 2009, karena hukuman bersifat material dan bisa di-nego, padahal terjadi kerugian immaterial. 

Adrianus menilai, kejahatan lingkungan ini unik, berbeda dari kejahatan konvensional. Sebab, pelaku yang merusak lingkungan, sejatinya juga sekaligus korban. Dalam kejahatan lingkungan, ada pelaku, tindak pidana, dan reaksi dari korban. Sebenarnya, semuanya menderita kerugian. Lingkungan yang rusak, sejatinya, bukan hanya ditanggung korban warga setempat, tapi juga oleh pelaku yang menanggung risiko kesehatan dan dampak ekologis dari kerusakan lingkungan yang diciptakannya. 

Dalam memahami kejahatan lingkungan, kata Adrianus, perlu dipahami pula keadilan lingkungan, ekologis dan spesies. Perlu ada pertobatan ekologis, agar korporasi atau pelaku kejahatan lingkungan mau bertobat dan menghentikan kejahatan yang dilakukannya. 

"Namun, saya pesimis soal pertobatan ekologis ini, karena dalam izin usaha pertambangan, kepentingan ekonomi dan politiknya sangat tinggi. Berkembang mumpungisme dan setoran atau jatah dari pemangku kepentingan, sehingga pertobatan ekologis menjadi sesuatu yang sulit diharapkan dan ditemukan," tandas  mantan komisioner  Ombudsman RI ini.