Penundaan Klaster Ketenagakerjaan RUU Ciptaker Langkah Awal Perbaikan


Pemerintah telah mengumumkan sikap resminya terkait penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Dalam pertimbangan tertentu, langkah ini sekiranya merupakan langkah yang bijak," kata peneliti bidang hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Muhammad Aulia Y. Guzasiah, Selasa (28/4).

Aulia menyatakan bahwa keputusan pemerintah perlu diapresiasi. Kebijakan penundaan ini untuk menanggapi tuntutan kalangan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.

Aulia menambahkan, hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei nanti, sangat mungkin dijadikan momentum oleh kalangan buruh untuk tetap melangsungkan gelombang aksi penolakan terhadap RUU tersebut, meski di tengah pandemi yang semakin mengkhawatirkan ini

Meski cukup meredakan, Aulia menyarankan, keputusan sebaiknya tidak hanya sekadar "obat penenang" belaka. Penundaan harus menjadi awal untuk mengkaji kembali dengan serius sejumlah aspek yang dianggap bermasalah dalam RUU Cipta Kerja.

"Sejak awal tahun hingga kini, publik menyaksikan kontroversi RUU ini. Mulai dari proses penyusunannya yang cenderung tertutup, tidak transparan, hingga substansi pengaturannya yang tidak jarang kontradiktif, merugikan, dan bermasalah," kata Aulia.

Misalnya, mengabaikan perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan pekerja dengan menghilang beberapa ketentuan upah dan hak-hak pekerja. Berpotensi melanggengkan kerusakan lingkungan berjangka panjang, dengan dihapuskannya sejumlah izin lingkungan, diturunkannya bobot Amdal, serta dibatasinya peran masyarakat atau aktivis lingkungan dalam memantau dan melakukan pengawasan.

"Hal ini salah satunya juga terjadi akibat banyaknya ketentuan penting yang tidak dibunyikan secara jelas dalam RUU tersebut, sehingga berpotensi membuka ruang pelanggaran dan multi interpretasi. Termasuk juga dalam hal ini, ialah ketentuan gagal paham yang secara nyata telah melabrak logika hukum dan hierarki peraturan perundang-undangan, dengan memperbolehkan Pemerintah berwenang mengubah ketentuan UU hanya dengan PP," tutur Aulia.

Meski demikian, Aulia mengingatkan, di balik proses dan substansi RUU Cipta Kerja yang bermasalah, tentu ada tujuan yang baik terhadap perekonomian nasional. Diantaranya terkait dengan kemudahan berusaha dan investasi.

Potensi positif terhadap kebebasan ekonomi yang memberdayakan di Indonesia ini diharapkan nantinya juga akan turut meningkatkan kesejahteraan dan daya saing.

"Tujuan dan potensi positifik inilah yang perlu dijaga untuk tetap di jalur yang sebagaimana mestinya, tanpa harus menegasikan dan menggerus berbagai kepentingan masyarakat, lingkungan, dan tatanan hukum yang berlaku," pungkas Aulia. []