Prevalensi Stunting di Salatiga Masih 6,38 Persen

Prevalensi stunting di bulan Februari tahun 2022 di Kota Salatiga untuk balita sebesar 6,38 atau 647 dari 10, 138.


Sedangkan baduta atau anak usia bawah dua tahun atau umur 0-24 bulan, pada masa ini anak mengalami periode pertumbuhan emas pada bulan yang sama sebesar 5,4% atau 2,4 dari 3746.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Salatiga dr Zuraidah MKes Zuraidah, prevalensi stunting sempat mengalami peningkatan pada tahun 2018 baduta sebesar 16,02% atau 738 dari 4.6008. Sedangkan, 15,58% pada balita atau 1.660 dari 10.656. 

Kemudian prevalensi stunting pada tahun 2019 yakni sebesar 7% atau 324 dari 46014 sedangkan balita 10%, 80 10,80% atau 1228 dari 11,374. 

"Sedangkan prevalensi stunting tahun 2020 untuk baduta sebesar 7% atau 329 dari 4649 sedangkan balita 9,58% atau 1099 dari 11,462.  Prevalensi stunting tahun 2021 baduta 8% atau 286 dari 3461 balita 9% atau 856 dari 9,480," paparnya ditemui di tengah peluncuran program layanan Muser Gunting atau Rumah Pemulihan Gizi, Selasa (14/11). 

Rumah Pemulihan Gizi merupakan salah satu peluncuran inovasi di bidang kesehatan di Balai Paru Masyarakat (BPM) Kota Salatiga, Jl. Brigjend Sudiarto No 51 Kalicacing, Sidomukti, Salatiga. 

Dia mengungkapkan, Indonesia saat ini masih menghadapi permasalahan gizi berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia.

Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah masih tingginya anak balita pendek atau stunting. 

"Dimana, stunting merupakan satu kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah teroris dan infeksi berulang terutama dalam 1000 hari pertama kejutan itu jari-jari tinggalkan aku berusia 23 bulan interior 1000 hari pertama kehidupan sebaiknya mendapat perhatian khusus," paparnya.

Ada beberapa hal gangguan yang terjadi pada anak stunting. Untuk jangka pendek, pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme dalam tubuh. 

Sedangkan jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah akan menurunkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 

"Sebenarnya, penanganan anak stunting dapat sedini mungkin dilakukan sebagai upaya pencegahan. Hal ini sebagai upaya mewujudkan generasi yang sehat produktif dan berkualitas," pungkasnya. 

Selain itu, pemberian makanan tambahan pengobatan dan perawatan di puskesmas atau rumah sakit namun demikian cara penanganan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah gizi dan stunting dengan tuntas bahkan kasus yang sudah membaik akan kembali terulang. 

"Kasus yang sudah membaik akan kembali berulang lagi sehingga muncul ide inovasi 'Muser Gunting', yakni rumah pemulihan gizi sinergitas. Muser Gunting ini sekaligus pusat pemulihan gizi kurang buruk dan stunting dengan perawatan konseling kunjungan rumah serta pemberian makanan anak juga pemberian gizi mikro secara intensif," sebutnya.

Selian itu, keterlibatan kader PKK peran serta orang tua ditegaskan Zuraidah turut penting agar dapat mandiri ketika kembali ke rumah melalui rumah pemulihan gigi.