Quo Vadis Program Deradikalisasi?

Para eks napiter membentuk wadah bernama Persadani/ist
Para eks napiter membentuk wadah bernama Persadani/ist

Bagaimana pelaksanaan program deradikalisasi terhadap para eks jihadis dan napiter? Kenyataan di lapangan, belum sepenuhnya indah seperti yang diharapkan para eks napiter.


Machmudi Hariono mengungkapkan, selama berada di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), tak ada pembinaan khusus yang dilakukan pihak lapas atau lembaga lain kepada para napiter.

"Pengalaman saya pribadi selama mendekam di Lapas Kedungpane Semarang, tidak ada pembinaan itu. Paling-paling kunjungan dari BNPT sebulan sekali sekitar 1-2 jam. Itu pun tentang masa hukuman," ujar Machmudi Hariono.

Pria yang juga disapa Yusuf itu menuturkan, seorang napi teroris saat masuk dalam lapas, akan ditempatkan dalam blok khusus napi teroris.

Napi itu akan menjalani masa karantina atau isolasi selama 1-4 bulan. Namun, di dalam blok khusus yang ditempatkan berjauhan dengan blok napi lainnya itu, para napi teroris terpisah-pisah berdasarkan kelompok atau paham yang dianutnya.

"Ya, jadi tak bersatu. Terpisah-pisah seperti faksi, karena paham dan kelompoknya tidak sama," ujar pria beranak tiga yang pernah bergabung dengan militan Moro Filipina Selatan pada 2000 ini.

Menurut dia, interaksi dengan napi lain terjadi saat shalat atau acara keagamaan, serta workshop yang dilakukan pihak lapas.

"Bisa saja, napi kriminal atau kasus lain, dapat menjalin hubungan atau bahkan belajar paham radikal dari napi teroris," ujarnya.

Interaksi itu dapat berupa meminjam buku, berdiskusi, atau bahkan tukar-menukar alamat. Makanya, tak jarang ada yang kemudian bertemu dan menjalin komunikasi lagi saat mereka bebas.

"Makanya jangan heran, ada napi kasus lain kemudian ikut kelompok radikal setelah bebas," paparnya.

Dia mengaku, hal seperti itu bisa terjadi, karena tidak adanya pembinaan khusus dari lapas.

"Para napi teroris tidak dibina khusus. Misalkan mendapat bimbingan keagamaan dari ulama atau ustad, agar pemahaman kami yang radikal dapat berubah. Jadi, kalaupun ada pembinaan rohani ya, sifatnya umum. Misalkan pengajian, undang ulama atu ustad ceramah, abis itu selesai," tambahnya.

Pihak BNPT, kata Macmudi, pun hanya berkunjung ke lapas sebulan sekali. Itu pun hanya tempo singkat 1-2 jam.

"Ya kami dikumpulkan di satu ruangan, ditanya-tanya soal kehidupan di lapas, rencana setelah bebas dan membahas soal masa hukuman. Tak ada pembinaan khusus agar kami meninggalkan paham radikal," ujarnya.

Dijelaskan, napi teroris yang bebas murni, setelah bebas menjalani hukuman, biasanya akan lepas sama sekali dari pembinaan. Namun bagi mereka yang bebas bersyarat, ada "pembinaan" seperti wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan.

"Yang bebas murni ini yang banyak hilang dari pemantauan. Sedangkan kami yang bebas bersyarat masih dibina dengan wajib lapor atau berhubungan dengan BNPT," ujar pria yang kini menekuni bisnis rental mobil ini.

Deradikalisasi

Apa saja bentuk dukungan dan bantuan dari pihak BNPT kepada para mantan napi teroris? Menurut dia, saat napiter bebas, ada bantuan modal usaha Rp 5 juta untuk modal usaha mandiri. Biasanya ditawarkan untuk membuka usaha bengkel, laundry atau fotokopi.

Upaya deradikalisasi yang dilakukan pihak BNPT, kata dia, tidak sepenuhnya berhasil membuat para napi teroris "tobat". Karena banyak yang kemudian tidak diterima oleh masyarakat saat bebas.

"Saya dan teman-teman banyak mendapat cibiran, kecurigaan dan stigma negatif dari masyarakat. Yang tidak tahan, umumnya akan langsung pindah ke tempat lain dan kembali berjihad dengan kelompoknya. Setelah bebas, mereka juga bingung mau kerja apa, mau usaha tak punya modal. Tak semua napi dapat dijangkau BNPT," ujarnya.

Sri Puji mengakui, program deradikalisasi BNPT belum sepenuhnya menyentuh para eks napiter.

Umumnya, hanya sekadar kegiatan saja. Memang ada bantuan, tapi bagaimana agar eks napiter betul-betul mandiri belum dirasakan sepenuhnya,’’ ungkapnya.

Banyak kegiatan BNPT, kata dia, lebih bersifat kegiatan belaka. Ada pemberian modal, setelah modal diberi, dilepas, tak ada pendampingan secara kontinyu agar eks napiter mampu mandiri sepenuhnya.

"Pernah ada, BNPT memberi kita waktu sangat mepet, untuk acara penyerahan bantuan. Kita datang, potret-potret, tanda tangan kelar. Sepertinya mereka hanya berpikir, pokoknya ada kegiatan, dan laporan. Tidak ada yang sifatnya menyentuh kebutuhan dasar kami," ujarnya.

Sebaliknya, dia memuji petugas Divisi Identifikasi Sosial (Idensos) Densus 88 yang justru dirasakan oleh para eks napiter. Mereka betul-betul menjalin kemitraan dan bergerak bersama teman-teman eks napiter untuk melakukan pembinaan dan pemberdayaan ekonomi.

Sebelum memberi bantuan, mereka melakukan interview, dan assessment untuk mengetahui potensi eks napiter. Seperti di Solo, teman-teman kami diberikan pelatihan budidaya melon dan dilatih 2-3 bulan," ujarnya.

Lantas, bagaimana proses deradikalisasi yang diinginkan? Menurut Sri Puji, harus ada ruang dialog dengan menghadirkan tokoh-tokoh ulama yang objektif.

"Yang objektif, saya kira dari MUI. Jangan hadirkan tokoh-tokoh ulama yang sudah disetir oleh BNPT," tandasnya.

Hadirkan Keadilan

Menurut Sri Puji, eks napiter yang tergiur balik lagi menjadi radikal dan kembali ke kelompok lamanya, mencapai lebih dari 50 persen. Karena apa? Program deradikalisasi belum secara fundamental menyentuh hati para eks napiter.

"BNPT harus bisa ngemong. Dulu pake bom atau senjata. Levelnya harus diturunkan. Jangan pakai bom, tapi pakai dialog," imbuhnya.

Bagaimana membuat eks napiter tidak radikal lagi? Menurut Sri Puji, tergantung level si napiter. Kalau yang hanya ikut-ikutan lebih mudah. Tapi, yang lebih sulit, yang punya pengalaman berjihad di medan konflik atau perang.

Pemerintah pun harus bisa menghadirkan keadilan. Keadilan seperti apa?

"Keadilan yang proses hukum berjalan apa adanya, tanpa intervensi dari mana pun. Contoh, penanganan kasus hukum Habib Rizieq, itu kelihatan sekali, tidak adil, diskriminatif," tegasnya.

Menurut dia, hal-hal seperti itu jika tidak disikapi dengan cermat dan bijak, akan memicu munculnya bibit-bibit kebencian dan menjadi senjata yang potensial bagi para pelaku baru terorisme.

"Dulu, saat kita lihat ada teman yang sedang melakukan amaliah dikejar-kejar, ditangkap, apalagi ditembak mati, itu justru membuat kita makin bersemangat untuk melakukan amaliah baru. Hal seperti ini yang harus diwaspadai dan dicegah," tandasnya.

Orientasi Proyek

Kritik dan kecaman terhadap program deradikalisasi itu bukan saja dilakukan oleh para eks napiter. Beragam kalangan juga mengecam program deradikalisasi yang dinilai tak mampu membendung terjadinya aksi-aksi terorisme di Tanah Air.

Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Arjuna Putra Aldino, bahkan menyebut program deradikalisasi mengalami kegagalan. Dia bahkan menyebut program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah hanya berorientasi pada 'proyek' semata.

"Selama ini program deradikalisasi semata-semata hanya menjadi proyek, tidak ada arah, perencanaan, serta indikator yang jelas. Jadi sulit mencapai target yang diinginkan. Artinya program deradikalisasi gagal," tegas Arjuna, saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (23/4) lalu.

Arjuna prihatin karena banyak anak muda yang bersimpati pada radikalisme seperti yang dilakukan ISIS, dan bahkan kalangan milenal itu semakin mudah direkrut melalui media sosial.

Bahkan mereka rela pergi ke Suriah untuk mewujudkan keyakinannya tentang kekhalifahan. Banyak dari anak muda terpapar terorisme karena kerap mengonsumsi konten berita mengenai propaganda ISIS di media sosial tanpa mengecek kebenarannya.

Di mata Arjuna, pemerintah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap kalangan milenial dengan program deradikalisasi. Tujuannya, mempersempit ruang perekrutan para teroris.

"Banyak program kepemudaan hanya sekadar menghabiskan anggaran, tidak ada yang menyasar pada deradikalisasi secara komprehensif," tandasnya.

Kritik Program Deradikalisasi

Kritik terhadap program deradikalisasi juga datang dari bekas petinggi badan negara yang bertanggung jawab mengurusi program tersebut.

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai mengkritik program deradikalisasi oleh pemerintah. Ansyaad menilai pemerintah hingga saat ini belum bisa mendefinisikan radikal secara tegas.

Menurutnya, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021, juga tak menjawab arti radikalisme secara utuh. Oleh karena itu, ia menilai wajar bila program deradikalisasi tak efektif.

"Kita semua teriak deradikalisasi. Radikalisme itu apa? Kan enggak jelas," kata Ansyaad dalam diskusi daring, Rabu (7/4).

Ansyaad meminta pemerintah memperjelas definisi radikal. Menurutnya, kata radikal harus dibuat baku dan memiliki referensi yang jelas agar program deradikalisasi berjalan efektif.

Pemerintah, kata Ansyaad, misalnya bisa merujuk definisi radikalisme atau ekstremisme pada deklarasi hasil konferensi Internasional yang digelar di Al Azhar Kairo, Mesir pada 4 Februari 2020 lalu. Konferensi diketahui menyepakati 29 butir pembaruan dalam pemikiran Islam.

Menurutnya, definisi radikal hasil konferensi tersebut cukup kredibel jika menjadi rujukan untuk mendefinisikan kata radikal. Misalnya, hasil konferensi menyebut ekstremisme adalah ideologi yang dibangun di atas manipulasi dan distorsi agama.

Konferensi tersebut juga memberikan tanda-tanda seseorang telah terpapar ideologi radikal. Mereka misalnya, mendukung pendirian khilafah dan menolak sistem kenegaraan modern.

Dengan menolak keberadaan negara, mereka juga menolak hukum yang dibuat oleh manusia. Kelompok radikal hanya mempercayai hukum yang dari Tuhan lewat kitab suci.

"Contoh lihat saja, di pengadilan itu tidak pernah teroris mau bicara. Karena dia tidak mau diadili dengan hukum buatan manusia," katanya.

Ansyaad menyebut definisi baku tentang ciri-ciri seseorang terpapar kelompok radikal juga harus mulai dipikirkan kelompok intelektual untuk membantu pemerintah. Ia mengibaratkan akar gerakan teroris sebagai api kecil yang jika tidak cepat dipadamkan akan membesar.

"Selama kompor-kompor ini tidak bisa kita padamkan, selama itu pula kita akan kebakaran," ungkap Ansyaad, mengingatkan.