Sambo-Mario-Tedy Minahasa (Robohkan Indonesia Kita)

David Latumahina bukan siapa siapa. Dia anak Jonathan Latumahina, bocah yang umurnya belum genap dua puluh tahun. Tapi nama itu begitu populer dan membuat dada warga seantero republik megap megap. Videonya ketika dihajar secara bar bar bak bukan manusia oleh anak muda bernama Mario Dandy Prasetyo sempat viral di media sosial. Saya sempat mencoba memutar video itu tapi tak sampai selesai. Jujur dada seperti rompal, tercekat melihat adegan yang sungguh di luar batas kemanusiaan.


Setan mana yang tengah merasuki anak Pejabat Direktorat Pajak Rafael Alun Trisambodo, yakni Mario Dandy Prasetyo ini. Bukan hanya kebangetan, tetapi kelakuan Mario Dandy Prasetyo sungguh tak beradab. Reaksi publik begitu menghentak bagai tsunami amarah. Prof Mahfud MD yang notabene adalah Menkopolhukam Kabinet Kerja Jilid II memberikan statmen khusus seperti tercekat menahan duka. Proses hukum harus tegas, bahkan kalau perlu orang tuanya juga diminta pertanggungjawaban, begitu pesannya.

Pernyataan Begawan hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang saat ini menjadi ikon atas portofolio pemerintahan Jokowi adalah alarm khusus. Ada yang sakit dari perilaku di atas. Menyitir pepatah, air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga. Kalau kita petik makna dari peribahasa itu, ulah Mario tidak bisa lepas dari perilaku atau cara mendidik sang orang tua (baca Rafael Alun Trisambodo. Meski tesa itu tak dapat sepenuhnya menjadi sintesa atas kebengalan Mario, namun publik tak luput menyorotnya ke sana.

Beragam kontroversi muncul, harta Alun yang termasuk jumbo untuk ukuran seorang ASN, meski punya jabatan di lingkup departemen ‘basah’ tak luput ditenggarai tidak wajar. PPATK bahkan telah menyampaikan ikhwal kecurigaan itu sejak 2012. Jika demikian adanya, mengapa APH (Aparat Penegak Hukum) tak bergerak atas laporan tersebyt. Inilah dialektika zaman menjawab sendiri, ketika angkara murka merajalela, akan datang Ratu Adil.

Menengok sejarah peradaban dengan menyandarkan pada dimensi spiritualitas pun tak luput dari relasi hitam putih tersebut.  Allah menurunkan Nabi Muhammad sebagai sang pencerah tatkala jahiliah membelenggu. Kegelapan zaman nyaris membutakan mata hati manusia ketika itu. Pada titik puncak yang menjadi critical momen, di tengah keputusasaan antara hidup dan mati turunnya Nabi menjadi harapan baru.

Konteks yang merangkum dimensi senada kita dapat melihat pada spirit civiel society di berbagai belahan dunia. Tumbangnya Orde Baru misalnya, dapat dimaknakan bahwa otoriterianisme akan tumbang oleh people power. Meski aspek aspek lain terangkai dan mengalami komplikasi di dalamnya, Soeharto sebagai representasi simbolik Orde Baru tumbang. Itulah dialektika peradaban. Ben Anderson menyebut juga ketika pemimpin dalam lakunya mengingkari hal hal yang hakiki maka alam pun murka. Bencana alam, pageblug dan kejadian kejadian yang tidak lagi dapat dijangkau akal sehat adalah bentuk dari reaksi alam. 

Lewat rentetan panjang dalam waktu yang berangkai kita mendapatkan suguhan laku yang begitu memprihatinkan. Masih ingat drama Fredy Sambo, mantan Kadiv Propam Kepolisian RI, The Rising Star, dipuja puji, dielu elukan di mana mana, bahkan disebut sebut salah satu kandidat kuat Tribatha Satu, tiba tiba tumpes. 

Meski motif tak terkuak terang, tetapi langkah sang bintang harus menatap kematian. Hakim Wahyu Imam Santoso mengetok palu hukuman mati atas kasus pembunuhan berecana Yosua Hutabarat yang tak lain ajudan kepercayaannya sendiri. Yoshua adalah martir zaman. Dia diekseskusi tanpa proses hukum dan pengadilan tragisnya oleh sang patron yang disetiainya, yakni Fredy Sambo. Tragedi ini dapat dimaknai sebagai dialektika peradaban. Mengutip Ben Anderson, dalam kosmologi Jawa ketika angkara murka, keserakahan telah melebihi batas maka alam pun murka. Pageblug dan bencana adalah bentuk resistensi alam karena manusia begitu rakus dan tamak.

Andai tidak ada kasus Yosua bisa jadi bintang Sambo masih melesat. Itulah dialektika peradaban, zaman menyelesaikan sendiri hukum yang harus berjalan. Karena pranata hukum manusia telah menjadi benang basah tidak bisa tegak lagi. Rafael Alun Trisambodo adalah kepingan peradaban busuk yang lain. Dengan kuasa materi dia mampu menjadikan pranata hukum tak mempan. Bayangkan sejak 2012 PPATK telah mencium bau anyir atas hartanya.

Tetapi sekali lagi dialektika zaman berjalan atas titahnya sendiri. Konyol, naif, bodoh, menyaksikan polah tingkah Mario Dandy Prasetyo mempertontonkan alias pamer kekayaan sang ayah. Rubicon, Harley Davidson yang justru tak masuk dalam laporan LKHPN sang bokap justru dipertontonkan ke publik. Kontroversi ini ibarat orang menggali lubang kuburnya sendiri. Pasti sama sekali tak pernah terlintas di benak anak yang digadang gadang menjadi kebanggaan keluarga, kini menjadi pendurhaka.

Mario Dandy Prasetyo menjadi pedang bermata dua bagi orang tua.Dia bahkan tak sekadar membawa pedang tetapi samurai maut. Ingat kisah Otoya Yamaguchi yang menjadi jagal maut. Dandy menyerupai itu, dia tidak sekadar menghunus ayahanda, tetapi memenggal kepalanya. Siapa salah, siapa harus bertanggung jawab di sini?? Ada pepatah jawa yang sederhana mungkin pas untuk ini, yakni ‘duit setan pangan demit’. Merangkai rangkai puzle puzle jalan hidup Rafael Alun Trisambodo seperti kisah Fredy Sambo juga.

Harta yang berlimpah tidak membawa damai, apalagi keberkahan. Artinya ketika sinyal yang disampaikan PPATK adalah petunjuk ikhwal harta Rafael Alun maka adalah cara alam menyelesaikan hukumnnya karena hukum manusia seperti lumpuh. 

Sampai di sini, apa yang patut menjadi renungan dan instropeksi. Negeri ini seperti kisah di pewayangan rasanya perlu diruwat. Angkara murka, ketimpangan, ketidakadilan menjadi teriakan yang semakin nyaring. Sistem politik kita berada pada track yang kurang berpihak pada rakyat. Demokrasi liberal menyeret negeri ini pada pusaran kompetisi global yang membuat jatidiri bangsa ini tercabik cabik.

Andai kasus Sambo tak meledak, akan menjadi apa masa depan Kepolisian kita? Kasus Sambo adalah titah alam yang tidak mau lagi diperkosa oleh kesewenang wenangan dan angkara muraka. Demokrasi kita adalah kebebasan yang kebablasan. Kita perlu belajar dari Cina soal stabilitas politik. Estafet kepemimpinan dari Mao Tse Tung, ke Deng Xiaoping, kemudian ke Zhu Rongji dan sekarang kendali di tangan Xi Jingping adalah pelajaran tentang kesinambungan yang bersenyawa dan berakhar.

Demokrasi kita hari ini adalah politik dagang sapi. Partai partai menjadi benteng oligarkhi karena ongkos politik yang begitu mencekik leher. Akhirnya Pemilu Legislati, juga Piklada dan Pilpres menjadi karpet merah mereka yang punya uang dan kuasa. Partai bukan menjadi Kawah Candradimuka calon pemimpin, tetapi mesin kekuasaan yang cenderung menghalalkan segala cara.

Kasus Mario adalah tragedi ala Sambo pada wilayah yang lain. Rafael Alun Trisambodo adalah pesan alam yang perlu kita renungkan dalam dalam. Andai Mario tak berbuat bodoh, naif juga mengumbar emosinya bisa saja sang ortu tak terusik masih bertahan di Istana pasirnya. Tetapi sekali lagi itulah dialektika peradaban, alam akan bertindak atas hukumnya sendiri. Pada tataran riil, ketika hutan digunduli lahan lahan hijau diperdaya, maka alam mengirimkan banjir.

Era disrupsi adalah keniscayaan, kini kita harus dapat memetik hikmah dari tragedi tragedi zaman yang begitu menyesakkan. Pelajaran adalah guru terbaik, namun tidak pernah datang mendahului. Belajar dari kasus Sambo, kasus Rafael Alun Trisambodo, atau beberapa waktu lalu mencuat tragedi ‘jendral sabu’, yakni Irjen Teddy Minahasa. 

Kasus ini tak pelak juga menjadi tamparan Korps Bhayangkara, betapa tidak salah satu putra terbaiknya, terlibat skandal yang begitu memalukan. Teddy Minahasa adalah ‘The Rising’ Star juga karena pernah menjadi ajudan Jusuf Kalla ketika itu. Sebelum kasus ini meledak bahkan dia sempat dipromosikan menjadi Kapolda Jawa Timur.

Lagi lagi alam menyelesaikan hukumnya sendiri. Dialektika peradaban adalah bentuk kepasrahan manusia, tetapi bukan pasrah yang pasif, ketika semua ikhtiar untuk berbenah buntu, maka tinggal doa yang menjadi penyangga. Masih tegakkanya Indonesia adalah karena doa mereka mereka yang soleh, dan tulus jiwanya. Menutup catatan ini saya mengajak marilah kita menapis residu residu yang tak elok Bagaimana pun ikhtiar menjadikan Indonesia lebih baik harus tetap diteguhkan. Sesanti spiritual yang layak dihadirkan di sini adalah Allah tidak akan mengubah suatu nasib, ketika mereka tidak berupaya. Jangan lelah untuk berbuat menjadikan negeri ini lebih baik.

Drs Jayanto Arus Adi, MM

Adalah Pemimpin RMOl Jateng, Direktur JMSI Institute, Ketua Bidang IT JMSI Pusat, Penggiat Satu Pena Indonesia Jawa Tengah, Konsultan Media dan Komunikasi, Dosen juga Mahasiswa Program Doktoral Unnes.

Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak merepresentasikan pandangan atau sikap lembaga lembaga tersebut.