Puluhan petani dari Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Pati, mendatangi Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Jawa Tengah di Kota Semarang pada Selasa (16/7).
- PKK Bangga Kencana Kesehatan Temanggung Masuk Tiga Besar Provinsi Jateng
- Polda Jawa Tengah: Kami Tidak Akan Menutup-nutupi Proses Hukum
- Resmi, Agus Sunarko Didaulat Jadi Ketua JMSI Jateng 2024-2029
Baca Juga
Mereka datang mengenakan caping bercat merah putih untuk menemui pejabat BPN Jawa Tengah guna mengadukan masalah sengketa tanah yang mereka alami.
Supriyadi (80), salah satu petani, mengatakan bahwa kedatangan mereka ke kantor BPN adalah untuk melakukan audiensi bersama puluhan petani lainnya.
Menurut Supriyadi, konflik tanah yang melibatkan kelompok petani dengan PT Laju Perdana Indah (PT LPI), pengelola Pabrik Gula (PG) Pakis di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, belum menemukan solusi.
"Konflik terjadi karena lahan pertanian milik negara dimanfaatkan oleh perusahaan pabrik gula tersebut," kata Supriyadi kepada wartawan.
Dia menjelaskan bahwa tujuan para petani melakukan audiensi adalah agar tanah tersebut bisa kembali digunakan oleh warga.
"Lahan pertanian seluas 7,3 hektare di Desa Pundenrejo memiliki sejarah panjang bagi keberlangsungan hidup masyarakat. Tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) yang digarap PT LPI tersebut dianggap tidak sesuai dengan peruntukannya," jelas Supriyadi.
Dia ingin merebut kembali tanah nenek moyangnya yang telah dikuasai pabrik gula tersebut selama bertahun-tahun.
"Tanah tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya sejak tahun 1973, 1994, 1998, hingga 2024," tambah Supriyadi, seorang lansia berkacamata.
Berdasarkan riwayat statusnya, sebelum dikuasai oleh LPI, lahan itu berada di bawah kuasa kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, warga memanfaatkannya untuk bercocok tanam.
Paska tragedi G30S PKI, tanah dikuasai oleh satuan militer dari rumpun sari Kodam Diponegoro. Sejak saat itu, petani kehilangan akses.
Pada 1973, status lahan berubah menjadi HGB dengan pemegang kuasa BAPPIPUNDIP, unit usaha di bawah Kodam IV Diponegoro. HGB tersebut berlaku hingga 1994 dan diperpanjang sampai 2024.
Konon, lahan ini akan digunakan untuk permukiman prajurit oleh tentara, meskipun bangunan tersebut tidak pernah terwujud. Bahkan, pada 1999, BAPPIPUNDIP bangkrut hingga lahan terlantar.
Warga kemudian memanfaatkan lagi lahan tersebut. Dua tahun kemudian, pada 2001, BAPPIPUNDIP mengalihkan lahan HGB kepada LPI. Pada 2020, perusahaan yang terafiliasi dengan Indofood melalui Indoagri itu masuk dan mengusir serta merusak tanaman warga.
"Status tanah tersebut tetap milik nenek moyang kita sejak dijajah Belanda, kemudian dinasionalisasi, dan sekarang diperuntukkan bagi kepentingan perusahaan," ujar Supriyadi.
Dia menambahkan bahwa pemanfaatan lahan itu tidak sesuai karena statusnya adalah HGB, bukan Hak Guna Usaha (HGU). Namun, faktanya, lahan tersebut digunakan untuk kepentingan usaha PT LPI.
"143 warga sudah menggarap tanah tersebut sejak tahun 1947. Sebelumnya, pada masa penjajahan Jepang dan Belanda, tanah tersebut sudah digarap oleh rakyat sini. Sekarang lahan ditanam tebu, berarti tidak sesuai dengan peruntukannya," jelas Supriyadi.
Petani Desa Pundenrejo berharap lahan yang status HGB-nya akan berakhir pada September 2024 ini bisa kembali dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Sejauh ini, para petani sudah berkali-kali melakukan aksi dan audiensi dengan ATR/BPN namun belum menemukan solusi.
"Kami meminta tanah agar kembali ke rakyat. Kemarin, pada tahun 2020, tanah tersebut dirampas oleh LPI dengan luas 7,3 hektare," kata Sumiyati (53), petani yang mengikuti audiensi di Kantor Kanwil ATR/BPN Jawa Tengah.
Menurut pendamping dari LBH Semarang, Abdul Kholik, warga memiliki keterkaitan terhadap lahan tersebut dan memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Namun, kondisi berubah ketika digunakan untuk bisnis PT LPI pada tahun 2020.
"Ada pengusiran warga pada tahun 2020 sehingga sampai sekarang warga tidak bisa menanam di tanah nenek moyangnya. Akhirnya warga tidak punya akses ke tanah tersebut," ungkap Abdul.
Dia mengatakan, warga meminta komitmen Kementerian ATR/BPN untuk menjalankan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
"Dalam peraturan tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh pihak Kanwil Jawa Tengah untuk menyelesaikan penanganan dan penyelesaian kasus," jelas Abdul.
Dia berharap agar konflik lahan yang melibatkan petani dan PT LPI ini segera menemukan solusi agar tidak semakin rumit. LBH Semarang juga akan terus mengawal kasus ini dan mendorong ATR/BPN agar tidak berpihak pada perusahaan pabrik gula di Pati tersebut.
"Sudah beberapa kali warga melapor ke Kanwil dan Kementerian, tetapi tidak ada respons. Beberapa upaya laporan yang dikirim warga belum ada tanggapan, terutama terkait implementasi penanganan dan penyelesaian konflik," ungkap Abdul.
- PKK Bangga Kencana Kesehatan Temanggung Masuk Tiga Besar Provinsi Jateng
- Polda Jawa Tengah: Kami Tidak Akan Menutup-nutupi Proses Hukum
- Resmi, Agus Sunarko Didaulat Jadi Ketua JMSI Jateng 2024-2029