Setara Institute Temukan Politisasi SARA Di Pilkada 2018

Pilkada serentak gelombang ketiga di 171 daerah pada Rabu kemarin (27/6) berlangsung dengan aman, damai, dan terkendali


Setara Institute memberikan apresiasi tinggi kepada pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat sipil yang telah bekerja keras mengawal pesta demokrasi di tingkat lokal agar terlaksana sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos mengatakan, secara spesifik pada pilkada tahun ini pihaknya melakukan monitoring politisasi suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam pemilihan gubernur di empat provinsi yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

"Dengan mengkomparasikan data di empat wilayah pemantauan, secara kuantitatif politisasi SARA paling banyak terjadi di Pilgub Sumatera Utara disusul kemudian Jawa Barat. Sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak terpantau aktivitas signifikan politisasi SARA," jelasnya kepada wartawan, Kamis (28/6) dilansir dari Kantor Berita Politik

Menurut Bonar, pada Pilgub Sumut, pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus (Djoss) menjadi korban 13 bentuk kampanye bermuatan SARA dengan banyak isu, mulai dari soal Djarot bukan putra daerah dan keislamannya diragukan, larangan memilih pendukung penista agama, larangan memilih pemimpin non muslim, politisasi masjid, hingga tamasya Al-Maidah pada hari pencoblosan.

Sedangkan pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajeckshah (Eramas) menjadi sasaran satu bentuk kampanye bermuatan politisasi SARA yaitu kampanye hitam kupon zakat palsu.

Data pemantauan Setara Institute disandingkan dengan sebaran suara dalam hitung cepat beberapa lembaga survei. Politisasi SARA, khususnya agama, pada Pilgub Sumut cukup efektif, di mana pasangan Eramas mendominasi suara hingga di atas 85 persen di kabupaten-kabupaten dengan penduduk mayoritas beragama Islam seperti Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara, Labuhan Batu, Asahan, Labuhan Batu Selatan, Labuhan Batu Utara, Kota Tanjung Balai, dan Padang Sidimpuan.

Sedangkan dalam Pilgub Jabar, pasangan calon nomor urut satu Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum (Rindu) dan pasangan nomor empat Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi (2DM) menjadi korban paling banyak politisasi SARA.

Pasangan Rindu menjadi sasaran politisasi SARA dalam tiga bentuk kampanye dengan dua isu utama, yaitu Ridwan Kamil penganut Syiah dan pasangan Rindu tidak syar'i karena didukung dan mendukung LGBT. Sedangkan pasangan 2DM menjadi sasaran tiga bentuk kampanye, juga dengan dua isu utama, yaitu pasangan 2DM didukung oleh paranormal dan penganut kepercayaan dan tidak syar'i karena memohon dukungan kepada sosok gaib melalui ritual mistis.

"Jika disandingkan dengan data sebaran suara menurut hitung cepat beberapa lembaga survei, kampanye politisasi SARA tersebut patut diduga efektif bekerja di perkotaan, khususnya di daerah-daerah satelit DKI Jakarta," papar Bonar.

Melihat praktik politisasi SARA dalam Pilkada 2018 dan besarnya potensi politisasi SARA dalam Pemilu dan Pilpres 2019, Setara Institute merekomendasikan agar Satgas Nusantara hendaknya melakukan akselerasi kinerja secara lebih strategis melalui pemetaan kerawanan politisasi SARA.

Kemudian penyelenggara pemilu khususnya dalam wadah Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) serta kepolisian melakukan akselerasi kinerja penegakan hukum atas tindakan-tindakan kampanye SARA yang melanggar pasal 69 huruf (b) UU Pilkada, pasal 160 ayat 1 KUHP, dan pasal 28 junto pasal 45 ayat 2 UU ITE.

Terakhir, kontestan, parpol pengusung, dan kelompok pendukung hendaknya menghindari politisasi SARA sebagai cara buruk dalam kompetisi politik elektoral.