Beragam upaya yang dilakukan Satgas Penanganan Covid-19 Provinsi Jawa Tengah yang dipimpin Ganjar Pranowo, ternyata belum mampu membuat provinsi ini sepenuhnya “bebas’’ dari paparan Covid-19. Jawa Tengah masih menjadi provinsi penyumbang terbesar kasus positif Covid-19 secara nasional.
Data yang dikeluarkan Satgas Penanganan Covid-19, hingga Jumat (2/9/2021), jumlah kasus secara nasional masih bertambah sejak kasus pasien pertama terinfeksi virus corona diumumkan pada 2 Maret 2020. Jumlah kasus positif dikonfirmasi berdasarkan pemeriksaan dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Pada hari itu, terdapat penambahan kasus baru sebanyak 7.797 kasus, lebih rendah dari hari sebelumnya. Total kasus infeksi Covid-19 sebanyak 4.116.890 kasus dengan 134.930 kematian. Dari data tersebut, Jateng menempati posisi terbesar ketiga nasional, dibawah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kasus positif di Jawa Tengah tercatat 471.421 orang, dan meninggal 28.681 orang.
Namun, Pemprov Jateng menyatakan, kondisi penanganan Covid-19 di Jawa Tengah menunjukkan hasil positif. Dari minggu ke minggu, kondisi pandemi di Jateng sudah membaik.Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah Jateng, Prasetyo Aribowo menerangkan, angka positivity rate di Jateng turun dari minggu ke-31 yakni 26,07 persen menjadi 21,20 persen pada minggu ke-32.
“Indikator asessment level juga menurun, dari beberapa daerah yang awalnya masuk level 4 sekarang menjadi level 3, dari level 3 turun ke level 2,” ungkapnya.
Menurut Prasetyo, upaya testing dan tracing sudah menunjukkan hasil cukup bagus. Ditambah, bed occupancy rate (BOR) di Jateng terus menurun.
Ganjar saat mengecek kesiapan laboratorium untuk tes PCR.
“BOR saat ini untuk ICU sebesar 55,04 persen, turun dari pekan sebelumnya 62,02 persen. Untuk BOR isolasi juga menurun, dari 43,62 persen minggu ke-31 saat ini menjadi 35,16 persen,” jelasnya, dalam rapat koordinasi penanganan Covid-19, pada 16 Agustus 2021 lalu.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan, kondisi pandemi di Jateng sudah mengalami penurunan.
“Kalau kita pakai asessment level, masih ada dua daerah yang merah atau Level 4, yakni Kota Magelang dan Kabupaten Purworejo,” paparnya.
Sebanyak 12 kabupaten/kota di Jateng, saat ini masuk PPKM Level 2, sebanyak 21 kabupaten/kota masuk Level 3, dan 2 kabuapaten/kota masuk Level 4.
Meski begitu, Ganjar meminta semua pihak tak boleh lengah. Sebab dirinya khawatir, jika lengah, akan terjadi peningkatan kasus.
Sinkronisasi Data dengan Pusat
Ganjar juga mengatakan pihaknya terus melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat terkait fitting data. Sebab sampai saat ini, perbedaan data kasus Covid-19 antara pemerintah pusat dengan Provinsi Jawa Tengah, masih saja terjadi.
“Beberapa kabupaten/ kota mengeluh ke saya, pak kok datanya beda, punya kita tidak sebanyak itu. Maka kita terus memperbaiki ini dan sudah mulai terlihat hasilnya,” ujarnya.
Ganjar mengklaim, saat ini, Jateng menjadi satu-satunya daerah yang sistemnya sudah ngelink dengan sistem pemerintah pusat. Dengan begitu, maka tinggal penyesuaian data untuk menyelesaikan persoalan perbedaan data.
“Sudah ada kabupaten yang benar-benar sesuai datanya dengan pusat, yakni Banjarnegara, Kendal, Kota Magelang dan Pemalang. Baru empat itu yang sudah sesuai, maka yang lainnya akan terus kita dorong untuk perbaikan,” jelasnya.
Tak hanya data konfirmasi, Ganjar mengatakan perbaikan data juga harus dilakukan untuk data meninggal dunia. Ganjar membenarkan, jika ada kenaikan kasus kematian, tapi jumlahnya tidak setinggi yang disampaikan pusat.
“Ketahuan kan, bahwa beberapa memang ada data delay yang harus di-inject. Maka kenapa saya minta ini harus diperbaiki, agar lebih baik,” tegasnya.
Secara umum, kasus Covid-19 di Jateng, memang mengalami penurunan signifikan, jika dibandingkan pada bulan Juni-Juli 2021 lalu. Laju penurunan kasus terjadi sepanjang bulan Agustus 2021.
‘’Saya senang dapat laporan tenda-tenda di rumah sakit sudah dibongkar. BOR ruang isolasi dan ICU juga sudah aman. Tapi saya katakan jangan lengah dan tetap disiplin tinggi," kata Ganjar.
Meski menunjukkan angka penurunan, Ganjar mengatakan semua pihak harus tetap siaga. Sebab menurutnya, kalau tambahan kasus masih ribuan, maka itu belum baik.
"Kalau sehari tambah 87 kasus, di bawah 100. Itu baru baik. Kalau masih ribuan ya belum baik. Maka saya minta jangan lengah, kita butuh disiplin tinggi agar menurunnya tajam," imbuhnya.
Tingkat kematian akibat Covid-19 di Jawa Tengah menunjukkan tren meningkat. Menanggapi data Satgas Penanganan Covid-19 yang menyebut kasus Jateng tertinggi nasional, Ganjar mengatakan, tingginya kasus Jateng itu dikarenakan adanya data tertunda (delay) yang diinjeksi.
"Data menjadi perbincangan. Jateng tertinggi, wah ramai sekali. Saya bilang, nggak papa, wong itu ada data delay. Ada data yang diinjek ke sana," jelasnya.
Menurut Ganjar, masih ada data kasus dari Jateng yang belum terlaporkan. Dan itu di pusat banyak. "Maka data Jateng lebih tinggi dari data pusat. Yang terjadi, setelah data itu diklarifikasi, biasanya dari pusat dimasukkan. Itulah yang kita sebut data injek. Jadi disuntikkan, karena dulu belum. Itu yang terjadi, sehingga kadang-kadang datanya seperti itu," ungkapnya.
Ganjar saat menyapa tenaga kesehatan (nakes) yang bertugas menangani pasien Covid-19.
Anggaran Maksimal, Penanganan Minimal
Anggota Komisi E (Bidang Kesra) DPRD Jateng Yudi Indras Wiendarto memberi kritikan keras terhadap penanganan Covid-19 di Jawa Tengah.
‘’Kita punya anggaran sangat besar. Anggaran refocusing Covid-19 Tahun Anggaran 2020 lalu, jumlahnya Rp2,3 triliun. Bandingkan dengan Jawa Timur yang hanya Rp 1 triliun. Hasil mereka luar biasa, kalah jauh kita dari mereka. Anggaran kita sangat maksimal, tapi penanganannya minimal. Bagaimana ini Pak Ganjar?’’ ungkap Yudi Indras Wiendarto, kepada RMOL Jateng.
Yudi mengritisi kebijakan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo dalam penanganan Covid-19, yang dinilai biasa-biasa saja.
Menurut Yudi yang juga Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Jateng, tidak ada kebijakan signifikan dari gubernur untuk menekan laju penyebaran Covid-19.
“Tidak ada kebijakan yang konkret dari Gubernur. Paling cuma sambil gowes dan ketemu masyarakat terus menegur, serta mendorong seluruh kepala daerah agar fokus dan gubernur akan memberikan dukungan riil,'' tegasnya.
Dia juga menyoroti vaksinasi terpusat yang digelar di Gradhika Bahkti Praja. ‘’Kenapa harus di sana, bukan didistribusikan secara merata ke daerah-daerah, ke puskesmas-puskesmas. Praktis Kota Semarang ikut terdampak sehingga kasusnya turun, dan angka vaksinasinya meningkat. Padahal kita tahu distribusi vaksin tidak merata. Banyak daerah yang kekurangan, tapi daerah tertentu berlebih,’’ tegasnya.
Yudi juga meminta agar pembelajaran tatap muka (PTM) dilakukan secara sangat hati-hati. ‘’Jangan sampai sekolah jadi klaster baru penularan Covid-19, apalagi belum semua siswa mendapat vaksinasi,’’ tegasnya.
Ganjar saat meninjau ujicoba PTM di sebuah SD.
Kritik keras juga disampikan Yudi terkait isolasi terpusat dan rumah sakit darurat Covid-19 (RSDC) di Asrama Haji Donohudan, yang menurut dia, seharusnya tak perlu, jika sejak awal Gubernur Jateng sudah memiliki perencanaan dan skema penanganan Covid-19 yang baik dan terpadu, sehingga kabupaten/kota mampu menangani.
‘’Sebab, penanganan covid-19 itu selama ini ada di kabupaten/kota. Jadi, Ganjar harus berkoordinasi dengan pemkab/pemkot, agar kasusnya bisa ditangani dengan baik,’’ tandasnya.
Karenanya, Yudi tak heran jika DPRD Jateng membentuk panitia khusus (Pansus) Penanggulangan Covid-19.
Ketua Pansus Penanggulangan Covid-19 DPRD Provinsi Jateng Baginda Muhammad Mahfuz mengatakan, pembentukan Pansus tersebut membantu menelisik berbagai masalah penanganan pandemi yang dilakukan Pemprov Jateng.
"Salah satu tujuan dibentuknya pansus yakni membantu sekaligus mengawasi kinerja pemerintah agar mampu memberikan kebijakan yang tepat saat gelombang pandemi muncul. Dewan juga akan mengawal proses recovery, baik pendidikan maupun ekonomi yang sangat terdampak pandemi," kata Baginda, usai rapat paripurna yang mengesahkan Pansus, Selasa (31/8/2021).
Baginda lebih lanjut mengatakan, "Kita lihat dari kasus Covid, Jawa Tengah itu 3 terbesar se-Indonesia. Angkanya sekitar 420 ribu sekian. Kemudian, angka kematiannya tertinggi mencapai 27,7 persen dari jumlah total. Bahkan lebih tinggi dari DKI Jakarta. Di DKI, jumlah kasusnya 400 ribu sekian, angka kematiannya justru masih di bawah Jawa Tengah. Ini yang membuat kita harus menginvestigasi, ada apa dengan angka kematian di Jawa Tengah," papar Baginda.
Selain itu, menurut Baginda, pertimbangan membentuk Pansus juga terkait adanya perbedaan data antara provinsi dan pusat, serta antara provinsi dan kabupaten/kota.
Tidak hanya data soal angka kasus saja, kata Baginda, melainkan sampai ke besar penggunaan anggaran DAU. Pansus juga untuk mengantisipasi lonjakan kasus di kemudian hari, serta untuk menanggulangi dampak pascapandemi, terutama dampak sosial-ekonomi.
"Walaupun Covid-19 ini mulai reda, tapi kita tahu dulu Covid-19 dimulai sekitar bulan November- Desember itu kan puncaknya gelombang pertama. Kemudian bulan Maret-April sudah mulai reda. Mayoritas kita berpikir Covid-19 mau selesai. Ternyata tidak, ada gelombang kedua. Tidak menutup kemungkinan ini ada gelombang ketiga. Bukannya kita mengharapkan seperti itu, tapi ini pembelajaran. Supaya lebih siap untuk gelombang berikutnya, misalnya ada gelombang ketiga," pungkas Baginda.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, Yulianto Prabowo mengatakan, pihaknya telah melakukan upaya untuk menyelamatkan masyarakat dengan cara memutus mata rantai penularan melalui kebijakan tes, lacak, isolasi, dan vaksinasi.
"Pemprov Jateng menargetkan akhir 2021 terbentuk herd immunity dengan jumlah orang yang harus divaksin mencapai 28,7 juta orang sehingga dosis vaksin yang dibutuhkan adalah 2,5 juta vaksin," kata Yulianto.
Yulianto menyebut saat puncak, kasus positif harian di Jateng mencapai 36 ribu. Namun, saat ini jumlah tersebut telah turun menjadi sekitar 9.500 kasus. Begitu pula dengan angka kematian. Menurutnya, pada saat puncak gelombang kedua, jumlah kematian sebanyak 10 orang per kabupaten/kota, namun sekarang hanya 39 orang se-Jawa Tengah. Artinya hanya 1 kasus kematian di setiap kabupaten/kota.
Jogo Tonggo
Kendati mendapat kritikan, penanganan Covid-19, juga menuai pujian dan penghargaan. Program Jogo Tonggo, yang diluncurkan Ganjar Pranowo di awal-awal pandemi, diacungi jempol.
Menurut Ganjar Pranowo, bantuan dari negara selama pandemi berlangsung atau bansos, dipastikan tidak akan pernah cukup untuk membantu kebutuhan seluruh masyarakat. Untuk itu, Ganjar mengaku tidak hanya mengandalkan anggaran dari pemerintah, namun menggerakkan kearifan lokal dengan membuat Program Jogo Tonggo.
Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Maimoen saat menerima penghargaan Jogo Tonggo., Rabu (25/9/2020).
"Kami buat Program Jogo Tonggo, artinya menjaga tetangga. Program ini mengurusi masalah kesehatan, sosial, keamanan dan hiburan. Ada juga lumbung pangan dengan pemanfaatan lahan agar kebutuhan makan tercukupi. Gerakan ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, gotong royong di tengah masyarakat. Ini saya hidupkan kembali, dan ternyata berjalan dengan baik," ungkap Ganjar.
Selain itu, untuk membantu masyarakat, Ganjar juga mengoptimalkan anggaran dari sektor lain. Selama ini, bantuan berdatangan dari dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan, instansi, masyarakat hingga para filantropi.
‘’Satu lagi yang menjadi andalan saya adalah Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), yang paling bisa diandalkan untuk membantu percepatan penanganan Covid-19 di Jateng," tandas Ganjar.
Pengamat antropologi sosial dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Amirudin berpandangan, Jogo Tonggo merupakan teroboson jitu yang memanfaatkan kearifan lokal.
‘’Jonggo Tonggo itu pranata sosial yang dulu banyak dipakai di pedesaan sebagai langkah mitigasi agar warga desa terlindungi dari gangguan dan marabahaya akibat serangan hewan buas, kecu (perampok), wabah dan lain-lain. Saat, pandemi Covid-19, Jogo Tonggo menjadi upaya mitigasi dari Pemprov Jateng untuk melindungi warganya dari dampak-dampak yang ditimbulkan pandemi ini, baik kesehatan maupun ekonomi,’’ ujar Ketua Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip itu.
Menurut Amir, yang juga Ketua SDGs Center Undip, Jogo tonggo adalah bentuk pengawasan partisipastif dari warga, yang muncul atas kesadaran bersama bahwa ketahanan sosial (social resilience) harus terjaga.
Untuk kebutuhan jangka pendek, kata Amir, mitigasi partisipatif dalam bentuk Jogo Tonggo ini umumnya efektif. Apalagi terkait Covid-19, mitigasi partisipatif paling tidak dapat mengendalikan transmisi Covid-19 di wialayah satuan sosial tertentu (RT/RW). Melalui pengawasan warga, keluar masuknya warga menjadi terkontrol, terpantau, bahkan protokol kesehatan juga dijaga keketatannya.
‘’Jogo Tonggo telah menjadi aset budaya yang perlu terus dioptimalisasi agar lebih efektif dan punya dampak besar,’’ tegasnya.
Dia juga menilai, Ganjar cukup intens dan serius dalam menangani Covid-19 di Jateng. Ganjar, kata Amir, juga kerap turun lapangan, mengecek stok vaksin, mengunjungi dan memberi semangat untuk para pasien yang tengah isolasi mandiri, serta melakukan sidak persediaan tempat tidur ruang isolasi dan ICU di rumah sakit.
''Dia juga memanfaatkan media sosial menjadi bagian penting sosialisasi dan literasi protokol kesehatan bagi masyarakat luas, itu yang menurut saya sangat perlu diapresiasi,'' ujar Amir.
Tak pelak, Jogo Tonggo pun mendapat apresiasi dari Pemerintah pusat dengan meraih penghargaan Top 21 Innovation Award Penanganan Covid-19 melalui Kementerian PAN RB.
- Matematika Pilgub Jateng 2024, Lutfi, Daryono, atau Hendy
- Ganjar Targetkan Minimal 70 Persen Suara di Yogyakarta
- Ganjar Ajak Seluruh Masyarakat Selamatkan Demokrasi