Ulil: Agama Buat Kita Tak Jadi Edan Terombang-ambing Arus Zaman

Aktivis Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla.
Aktivis Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla.

Tokoh Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla mengatakan, nilai-nilai luhur agama membuat kita tidak menjadi edan (gila) ditengah arus zaman atau globalisasi.


"Kita tidak ikut-ikutan edan di tengah arus zaman. Seperti kata Ronggowarsito, jika tidak edan tidak kebagian. Nilai agama membuat kita berani tampil beda, melawan arus zaman yang edan," ungkap Ulil, saat bincang tipis-tipis Perkumpulan Boen Hian Tong, bertema "Mimpiku untuk Indonesia," Jumat (8/10) malam.

Ulil mengatakan, di tengah arus zaman yang edan, orang yang waras akan dinilai edan, dan yang edan dinilai waras. "Yang tidak ikutan edan dianggap outsider, tapi nilai agama membuat kita tetap bertahan dengan kewarasan kita, kita menyadarkan mereka yang edan karena ikut arus zaman," papar Ulil. 

Ketua Umum Dewan Rohaniwan/Pengurus Pusat dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Xs. Budi Santoso Tanuwibowo, mengatakan, sejatinya nilai-nilai kebaikan dan kebajikan yang diajarkan agama-agama di Indonesia telah tertuang seluruhnya dalam Pancasila.

"Semuanya ada dalam lima sila. Kalau itu dihayati dan diamalkan dalam hidup sehari-hari, sejatinya sudah selesai. Hidup pasti harmoni, tak ada intoleransi," kata Budi.

Lily dari Depok Jawa Barat mengaku, yang berat itu adalah toleransi internal, bukan toleransi eksternal. 

"Saya itu korban diskriminasi. Saat SMP saya bersekolah di sekolah katolik, ikut MTQ, karena tahu dari sekolah katolik, saya dipaksa mundur, intoleransi dan diskriminasi saya dapatkan dari kaum saya sendiri, orang yang seagama," ungkapnya.

Harjanto Halim mengusulkan agar pelajaran 6 agama diajarkan kepada semua murid di sekolah, untuk mengenal ajaran dan nilai-nilai luhur agama tersebut. 

"Saya usul agar kita buat surat kepada Menteri Pendidikan agar semua agama itu dipelajari oleh semua murid di sekolah, agar kita belajar juga soal kebaikan yang ada dalam setiap agama," ujarnya.

Ulil sependapat dengan usul itu. Menurut Ulil, belajar toleransi sejatinya tanpa batas. Kita menghargai orang itu sebagai sesama, bukan dari akidah agamanya. 

Budi pun menambahkan, saat kuliah ada ada seorang temannya yang mengaku benci orang Tionghoa, tapi tidak pada Budi yang dinilainya berbeda.

 "Kenapa kamu benci Tionghoa tapi tidak kepada saya? Saya bilang, seharusnya, kebencianmu itu jangan pada etnis, tapi pada pribadinya saja, tapi bukan sebagai musuh, sadarkan dia dari kekeliruannya, jangan dibenci karena etnisnya," ujar Budi.

Pengalaman toleransi juga ditunjukkan Ulil saat berada di Boston, AS. Dia membalas kebaikan kawannya seorang Kristen yang ikut berpuasa ramadhan dan memberi salam saat Idul Fitri.

"Saya balas kebaikannya dengan menyalaminya saat Natal dan ikut perayaannya di gerejanya. Saya datang bersama istri yang berhijab dan dua anak saya. Saya merasakan khidmat malam natal, dan indahnya harmoni sesama makhluk Tuhan," ujar Ulil.

Itu pengalaman yang luarbiasa, karena saat itu orang Amerika sangat trauma dan Islamofobia sejak peristiwa 11 September. 

"Bagi saya, dakwah Islam saat ini adalah bagaimana mengubah banyak orang termasuk orang Amerika, bahwa Islam itu damai dan mengajarkan kebaikan dan rahmat bagi seluruh alam," pungkasnya.