Dampak Kenaikan UMP 6,5%

Prof Dr Nugroho SBM, MSi. Dokumentasi
Prof Dr Nugroho SBM, MSi. Dokumentasi

Semarang - Presiden Prabowo Subianto telah mengumumkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 sebesar 6,5%. Kenaikan ini jauh lebih tinggi dari kenaikan tahun 2024 sebesar 3,65%. Meski kenaikan UMP ini akan disambut gembira oleh buruh atau tenaga kerja namun tidak bagi pengusaha.

Bagi pengusaha kenaikan UMP tentu akan menambah biaya tenaga kerja. Lapngan usaha atau sektor yang paling terdampak dengan adanya kenaikan UMP ini adalah sektor-sektor yang padat karya. Beberapa sektor padat karya antara lain: industri tekstil, industri rokok lintingan (sigaret kretek tangan), industri makanan dan minuman, industri mebel, dan lain-lain.

Kenaikan UMP sebesar itu tentu bisa diprediksi akan lebih menyulitkan bagi perusahaan yang akhir-akhir ini kondisinya sudah memburuk  Salah satu indikatornya adalah PMI (Purchasing Manager Index) Indonesia yang terus mengalami penurunan atau kontraksi dan angkanya sudah di bawah angka 50.

Sebagaimana diketahui PMI disusun berdasar indikator di sektor industri pengolahan (manufaktur) dari aspek: pesanan baru, tingkat persediaan, produksi, pengiriman oleh pemasok, dan pekerjaan yang diciptakan. Besarnya Indeks antara 0 sampai 100. Jika besarnya indeks lebih besar dari 50, maka terjadi peningkatan produksi atau ekspansi di industri manufaktur pada banding bulan sebelumnya. Jika PMI adalah 50, maka tidak ada perubahan dalam produksi. Sementara jika lebih kecil dari 50, maka telah terjadi pengurangan produksi atau kontraksi di sektor industri manufaktur.

PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama lima bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9), September (49,2), Oktober (49,2), dan November 2024 (49,6). Dan angkanya sudah di bawah 50 yang berarti memang  telah terjadi penurunan produksi di sektor manufaktur.

Beberapa Perusahaan Sudah Kesulitan

Sebelum rencana kenaikan UMP sebesar 6,5% di tahun 2025 sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan yang jatuh pailit, ada yang menutup pabrik, sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Pertama, PT Sritex yang merupakan perusahaan tekstil sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan Oktober 2024 lalu meskipun kemudian diselamatkan oleh pemerintah.

Kedua, PT Pan Brothers Tbk juga perusahaan tekstil dalam tahap restrukturisasi utang melalui permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Kabar terbaru, PT Pan Brothers Tbk mendapatkan perpanjangan 14 hari soal utang US$393,3 juta atau sekitar Rp6,25 triliun (kurs Rp15.915 per dolar AS) sejak Jumat, 22 November 2024 lalu usai Majelis Hakim menyetujui permohonan perpanjangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utan (PKPU) tetap dalam sidang permusyawaratan.

Ketiga, PT Bata industri sepatu yang masih masuk golongan dalam industri tekstil pada April 2024 lalu telah menutup pabriknya di Purwakarta yang berimbas pada pemutusan  hubungan kerja (PHK) terhadap 233 buruh atau pekerja langsung. Sampai September 2024 Bata masih membukukan rugi sebelum pajak sebesar Rp131,27 miliar. Kerugian tersebut membengkak lebih dari dua kali lipat atau 151% dibandingkan periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp52,33 miliar.

Beban lain yang akan menimpa industri atau perusahaan adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai Januari 2025. Jika rencana tersebut jadi dilaksanakan maka perusahaan harus menaikkan harga produknya jika tak ingin labanya tergerus. Padahal kondisi daya beli masyarakat Indonesia juga sedang tak baik-baik saja. Hal itu tercermin dari terjadinya deflasi atau penurunan harga secara umum selama 5 bulan berturut-turut di tahun 2024 yaitu Mei 2024 sebesar -0,03 %, Juni 2024 sebesar -0,08 %, Juli 2024 sebesar -0,18 %, Agustus sebesar -0,03 % dan September -0,12 %

Upah Yang Adil

Lalu apa langkah yang perlu diambil pemerintah? Langkah yang perlu diambil adalah jika memang UMP akan dinaikkan maka kenaikannya tidak sebesar 6,5%. Sebenarnya yang perlu menjadi pegangan dalam penetapan UMP adalah bahwa UMP yang ditetapkan tersebut adalah UMP yang adil.

Selama ini ada kesan bahwa UMP ini untuk membela kepentingan buruh yaitu untuk mempertahankan daya beli buruh di tengah inflasi yang tejadi. Namun, hendaknya diingat pula sisi pengusahanya. Seperti telah disampaikan pengusaha saat ini sedang tidak baik-baik saja sehingga perlu dilihat pula kondisi pengusaha.  Jika tidak hati-hati, kenaikan UMP yang terlalu tinggi akan menjadi senjata makan tuan bagi buruh. Seperti diketahaui kondisi pasar tenaga kerja Indonesia lebih kuat sis permintaannya (pengusaha yang meminta tenaga kerja) dibanding penawarannya (masyarakat yang bersedia bekerja) karena memang lapangan kerja terbatas. Maka kalau UMP dinaikkan terlalu tinggi maka pengusaha untuk menekan biaya produksinya akan meelakukan PHK. Dan dengan demikian buruh atau tenaga kerjalah yang akan dirugikan.

Prof Dr Nugroho SBM M.Si, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro, Semarang