Bencana longsor kembali terulang dan menimbulkan korban jiwa. Hujan lebat yang turun di wilayah Sibolga mulai Senin (26/3/2018) pukul 15.00 Wib hingga 23.00 WIB telah menyebabkan banjir dan longsor.
- Mahasiswinya Bunuh Diri Diduga Depresi Akibat Dirundung, Undip Belum Bisa Beri Informasi Resmi
- Perkiraan 1.7 Juta Pemudik Melintas Di Kabupaten Demak, Bupati Ingin Kondisi Arus Mudik Lancar dan Aman
- Pohon Kelapa Tumbang Timpa Rumah Warga di Kebumen
Baca Juga
Longsor tebing menimpa rumah di Kampung Baru Sikaje-kaje Kelurahan Aek Manis Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara pada 26/3/2018 pukul 19.00 WIB.
Longsor menyebabkan dua orang meninggal dunia, satu orang luka berat dan tiga rumah rusak berat. Korban meninggal adalah ibu dan anaknya yaitu Linda (35), sedang hamil dan Flara Citra (5). Satu anaknya lagi mengalami luka berat yaitu Stefani Claudya (9). Longsor datang ketika korban sedang menonton televisi.
Kapusdatin Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, saat bersamaan juga terjadi banjir di Kelurahan Aek Muara Pinang Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga.
"Banjir menyebabkan seorang anak hanyut yaitu Aura Kasih Simanjuntak (2) yang ditemukan meninggal setelah terseret arus banjir. Korban ditemukan pada 26/3/2018 pukul 21. 30 WIB," ujar Sutopo.
Tim SAR gabungan dari BPBD Kota Sibolga, TNI, Polri, Basarnas, PMI, Tagana, relawan dan masyarakat melakukan penanganan darurat. Saat ini banjir sudah surut. Korban telah diserahkan pada pihak keluarga.
"Hingga saat ini longsor adalah bencana yang paling banyak menimbulkan korban jiwa," ujarnya.
Menurut Sutopo, selama tahun 2018 dari 1/1/2018 hingga 27/3/2018 terdapat 197 kejadian tanah longsor. Longsor menyebabkan 53 orang meninggal dunia, 60 orang luka-luka, 33.058 orang menderita dan mengungsi, 1.369 unit rumah rusak, dan 29 bangunan publik rusak.
"Dibandingkan dengan jenis bencana lain, longsor adalah bencana yang mematikan," tambah Sutopo.
Selama 2018 ini, banjir menyebabkan 34 orang meninggal dunia, puting beliung 12 orang dan gempa 1 orang. Bahkan sejak tahun 2014 hingga 2018 longsor menjadi bencana yang paling mematikan. Seringkali longsor tebing tidak terlalu besar, namun menimbun rumah di bawahnya sehingga satu keluarga menjadi korban.
"Banyaknya masyarakat yang terpapar dari potensi bencana longsir menyebabkan longsor memakan korban selama musim penghujan. Ada sekitar 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah rawan longsor tinggi hingga sedang," ujarnya lagi.
Sementara itu lanjut Sutopo, kemampuan mitigasi mereka masih sangat minim. Umumnya masyarakat yang menderita longsor adalah masyarakat yang kemampuan ekonominya di bawah.
"Mereka tinggal di lereng-lereng perbukitan, pegunungan atau tebing yang curam tanpa ada mitigasi yang memadai sehingga sangat rentan," tambahnya.
Lebih lanjut Sutopo mengatakan, pemerintah terus membangun dan meningkatkatkan mitigasi longsor. Namun masih terbatas. Saat ini baru terpasang sistem peringatan dini longsor sekitar 200 unit di Indonesia. Sedangkan kebutuhannya ratusan ribu unit.
Penataan ruang harus benar-benar dikendalikan. Artinya zona berbahaya longsor sedang dan tinggi sebaiknya tidak untuk dikembangkan menjadi permukiman.
Daerah tersebut hendaknya dijadikan kawasan lindung atau terbatas pengembangannya. Masyarakat yang sudah terlanjur tinggal di zona berbahaya tersebut hendaknya diproteksi dan ditingkatkan kemampuan mitigasinya.
"Tentu tidak mungkin semuanya dilakukan pemerintah. Dunia usaha atau swasta dan masyarakat juga harus terlibat membantu masyarakat," pintanya.
- Dua Balita Jadi Korban Kecelakaan Maut Bus Rosalia Indah di Tol Batang
- Basarnas Temukan Jasad Nelayan yang Hilang
- Puluhan Remaja Diamankan Saat Rencanakan Tawuran di Salatiga