KEKUASAAN pasti ada batasnya. Ada masa berlakunya. Ada awal dan ada akhirnya. Tidak ada yang abadi. Bisa selesai karena kematian, karena kesalahan (besar), karena direbut oleh orang lain, atau karena berakhir mengacu pada konstitusi atau aturan.
- Agustina Wilujeng ‘Ajangsana’ ke Para Mantan Wali Kota
- BEM FTIK Gelar LDK Bertema ‘Kompas’
Baca Juga
Dalam konteks negara demokrasi modern masa kekuasaan dibatasi dalam beberapa tahun. Ada yang empat tahun, lima tahun, delapan tahun, dan ada yang bertahun-tahun pembatasnya diterjang.
Di negeri kita tercinta, Indonesia, masa jabatan kekuasaan disepakati untuk lima tahun, meski setelahnya bisa sekali lagi dipilih kembali. Namun untuk pemerintahan tingkat desa, jabatan Kepala Desa (Kades) atau Lurah Desa (sebaiknya tidak diakronimkan sebagai Ludes), masa jabatan yang semula 6 tahun dengan tiga periode yang diperbolehkan, kini diubah menjadi 8 tahun dengan dua periode masa jabatan.
Yang menjadi pertanyaan, apakah pemimpin pemerintahan yang dipilih melalui mekanisme konstitusi betul-betul berakhir kekuasaannya setelah masa jabatannya berakhir?.
Secara aturan, pemimpin pemerintahan yang sudah berkahir masa jabatannya tiudak punya wewenang, tidak punya kuasa lagi dalam pemerintahan. Secara resmi begitu aturannya.
Persoalannya seringkali kuasa seseorang bisa saja tetap melekat meski yang bersangkutan sudah berakhir masa kekuasaan resminya.
Ada cerita dari seorang teman di Jawa Tengah bagaimana seorang mantan (jawa manten, e polos tanpa corek di atasnya) bupati yang diyakini tetap punya pengaruh, setidaknya dalam kehadirannya di acara-acara resmi.
Dalam acara resmi, mereka yang memberi sambutan selalu menyebutnya sebagai “Bupati Sepuh” dalam awal menyebut para tamu penting yang hadir. Itu terjadi karena orang yang menjadi bupati saat ini adalah anak si mantan.
Kalau sekedar ungkapan dalam protokol pada acara resmi, sebenarnya tidak ada masalah. Sekarang pun di negeri kita para mantan Presiden disebut dengan urutan masa jabatannya, tidak disebut mantan.
Diksi mantan memang bisa kurang enak karena terbuka kemungkinan diplesetkan sebagai manusia restan, setara dengan ungkapan Malaysia laskar tak berguna. Penyebutan Presiden Keempat, Kelima, Keenam, sudah sering dilakukan; dan di akhir tahun ini akan ada Presiden Ketujuh yang disebut oleh Presiden Kedelapan dalam acara-acara resmi kenegaraan.
Yang menjadi tanda tanya, apakah para yang ke itu masih memiliki pengaruh politik atau tidak? Mungkinkah para mantan bisa “cawe-cawe” di pemerintahan?.
Sudah disebut di atas kalau secara resmi, secara aturan, regulasi, konstitusi, jelas tidak bisa “cawe-cawe” lagi. Akan tetapi, jika diminta pendapat atau diminta berperan oleh pemimpin yang sedang resmi berkuasa atau menjabat, “Bisa Laen” ceritanya.
Menjadi “Agak Laen” ceritanya kalau penguasa resmi memiliki ikatan dan keterikatan dengan pemimpin yang digantikannya. Ikatannya bisa keluarga, keterikatannya bisa karena jasa serta peran dalam proses peralihan kekuasaan.
Jasa dan peran yang sangat besar -apalagi jika lingkaran kekuasan baru tidak banyak berubah dengan sebelumnya alias nyaris sama dan sebangun, “cawe-cawe” bukan saja terjadi karena permintaan, tapi bisa jadi karena keinginan (politik).
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diagungkan dari, oleh, untuk rakyat; bisa menjadi “Agak Laen” kalau terjadi terobosan baru. Hal itu bukan sesuatu yang mustahil.
Sesuatu yang bisa dirasakan, direnungkan dan dipraktekkan; meski dalam wacana resmi bisa saja dinyatakan tidak. Meski bisa dirasakan dan dipraktekkan, bantahan untuk menyatakan tidak diperlukan untuk memberi afirmasi kepada pendukung, untuk orang-orang yang ragu-ragu dan butuh afirmasi, serta untuk mereka yang suka dengan pernyataan-pernyataan formal sebagai panduan bersikap.
Para pemimpin yang tetap memiliki peran di era kekuasaan pengantinya, dalam pandangan Jawa disebut sebagai “Tunggak Jarak Mracak” (Tonggak atau Batang yang tersisa bisa menjadi tanaman yang menjalar kemana-mana); sementara pemimpin yang kehilangan pengaruh politik pada penerusnya diungkapkan sebagai “Tunggak Jati Mati”, ungkapan yang kemudian diperhalus menjadi “Tunggak Jati Semi” (Batang yang tersisa bisa bersemi atau bertunas lagi).
Ungkapan “Tunggak Jarak Mracak Tunggak Jati Mati” yang sebenarnya hidup dan berkembang dalam regenerasi kepemimpinan di tingkat desa dan kelurahan seperti terabaikan dari khazanah politik nasional.
Yang banyak dipakai justru “Lengser Keprabon Madeg Pandhito Ratu” yang memiliki makna bahwa setiap pemimpin atau penguasa—yang sudah mengakhiri masa kekuasaannya—diharapkan banyak beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa—untuk bertobat. Dalam ruang pikir awam, pemimpin yang berhenti berkuasa menjadi pemberi nasehat, guru bangsa.
Sumber dari pitutur yang dipakai Pak Harto saat menyatakan berhenti dari jabatannya itu, bersumber dari Kitab Mahabarata yang mengisahkan Keputusan (politik) Begawan Abiyoso (Kakek Pendawa dan Kurawa) saat menyerahkan kekuasaannya.
Abiyoso merasa sudah menyelesaikan tugas pemerintahan, dan menyerahkan tahta Kerajaan Hastina Pura kepada Raden Pandu Dewanata, anaknya yang ke-2. Begawan Abiyoso memilih meninggalkan istana dan bermukim di pertapaan.
Sang Begawan menjauh dari hiruk-pikuk keramaian dan gejolak pusaran kekuasaan agar bisa mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi.
Apa yang dilakukan Begawan Abiyoso adalah pilihan. Artinya, ada jalan atau model lain yang bisa dipakai oleh seseorang setelah (terpaksa) berhenti dari kekuasaan.
Tidak tertutup kemungkinkan jika ada yang memilih model alternatif “Lengser Keprabon Tetep Kuwasa” (Turun dari tahta pemerintahan namun tetap memiliki kuasa). Atau “Lengser Keprabon Tansah Saeyeg Saeka Praya” (Turun tahta namun tetap bersedia mendukung dan membantu”. Serta ada banyak pilihan lain yang bisa diambil.
Dan, memilih adalah hak. Meski di situ juga melekat kewajiban sebagai manusia, sebagai warga, sebagai anggota dan sebagai mahluk.
- Agustina Wilujeng ‘Ajangsana’ ke Para Mantan Wali Kota
- BEM FTIK Gelar LDK Bertema ‘Kompas’
- Pj Bupati Masrofi : Saya Titip Banjarnegara