Lontong Opor Cap Go Meh, Simbol Akulturasi Budaya dan Kerukunan Warga Tionghoa dengan Pribumi

Lontong opor cap go meh. Masakan ini menjadi ciri khas utama perayaan tahun baru Imlek di Semarang. Wahyu Sulistyawan/Dok.RMOLJateng
Lontong opor cap go meh. Masakan ini menjadi ciri khas utama perayaan tahun baru Imlek di Semarang. Wahyu Sulistyawan/Dok.RMOLJateng

Hari Sabtu (24/2), merupakan hari ke-15 di bulan 1 Imlek. Ditradisikan sebagai puncak perayaan atau penutup dari rangkaian perayaan tahun baru Imlek.

Sebagai penutup rangkaian perayaan sincia, hari ke-15 ini kerap dirayakan secara meriah oleh warga Tionghoa, yaitu pada tanggal 15 malam (cap go meh).

Perayaan cap go meh oleh warga Tionghoa Semarang identik dengan masakan lontong opor. Ya, awalnya hanya di Semarang atau di kalangan Tionghoa peranakan di Jawa saja yang menyajikan lontong opor sebagai hidangan nikmat dan khas pada perayaan cap go meh.

Jongkie Tio, pemerhati sejarah dan budaya warga Tionghoa peranakan di Semarang, pernah mengungkapkan, lontong opor cap go meh tak ubahnya lontong opor warga Muslim saat hari raya Iedul Fitri atau Lebaran.

Konon sejarahnya di kota lumpia ini, pada perayaan tahun baru Imlek dan cap go meh, warga Tionghoa peranakan memasak masakan yang enak-enak dan dalam jumlah banyak, untuk dimakan bersama keluarga.

Banyak warga Tionghoa juga berkirim masakan tersebut kepada para tetangga dan teman yang merupakan warga pribumi. Ini sebagai wujud persahabatan dan kerukunan. 

Dimana di kalangan  warga Tionghoa peranakan dan pribumi, telah terjalin hubungan bermasyarakat yang rukun.

Tetapi warga Tionghoa berpikir, masakan apa yang enak dan istimewa yang cocok untuk munjung (kirim) kepada tetangga yang umumnya merupakan warga Muslim. 

Lantas teringat bahwa saat Idul Fitri, warga Muslim banyak yang memasak lontong opor sebagai sajian istimewa.

Maka warga Tionghoa pun memasak lontong opor untuk dikirimkan kepada tetangganya yang umumnya Muslim, sebagai wujud suka cita dan persaudaraan.

"Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi turun temurun bahwa setiap cap go meh warga Tionghoa peranakan memasak lontong opor cap go meh untuk dikirim kepada para tetangga yang merupakan warga Muslim. Kalau ada teman atau tetangga yang merupakan orang pribumi datang berkunjung, juga disuguhi masakan lontong opor. Yang kemudian disebut sebagai lontong opor cap go meh," papar Jongkie Tio.

Maka lontong opor yang awalnya merupakan masakan khas warga pribumi, kemudian juga menjadi masakan khas warga Tionghoa, dan menjadikan lontong opor cap go meh sebagai simbol akulturasi budaya etnis Tionghoa peranakan dengan warga pribumi.

Dari penyusuran RMOLJateng pula, didapat ciri khas lontong opor cap go meh yang sedikit membedakan dengan lontong opor lainnya. Yaitu adanya bumbu sateabing yang ditaburkan sebagai topping lontong opor.

Bumbu sateabing adalah bubuk kacang tanah bercampur sedikit gula Jawa, sehingga memberi sensasi rasa manis, menemani gurihnya lontong opor.

Nyonya Hoe, seorang warga Tionghoa yang sampai sekarang memegang erat tradisi-tradisi Tionghoa, termasuk tradisi memasak lontong opor cap go meh, mengaku sampai sekarang tetap menaburkan bumbu sateabing ini, pada masakan lontong opor cap go meh.

"Disitulah ada makna lain dari suguhan lontong opor cap go meh. Rasa manis bumbu sateabing berpadu gurihnya lontong opor, menyiratkan pesan hati yang manis, hati dan perasaan gembira dan bahagia, simbol mengajak persahabatan dan persaudaraan dengan warga etnis lain, termasuk etnis pribumi," tutur dia.