Mantan Ketua JI Sebut Beruntung Hidup di Indonesia dengan Pancasilanya

Nassir Abbas, mantan Ketua Jamaah Islamiah (JI) merasa beruntung hidup di Negara Indonesia karena dengan Pancasila yang sangat sesuai dengan ajaran agama Islam.


Hal ini disampaikan Nassir Abbas yang merupakan mantan murid Ustadz Abu Bakar Baasyir saat menjadi narasumber utama ditengah kegiatan Forum Grop Discussion (FGD) di Pondok Pesantren Asyurkati Jalan Diponegoro Salatiga, Rabu (13/4). 

Kegiatan ini mengusung tema, "Terorisme Adalah Musuh dihadiri langsung Tim Divisi Humas Mabes Polri diketuai AKBP Gatot Hendro Hartono SE MSi, Kapolres Salatiga AKBP Indra Mardiana serta Pengasuh Ponpes Asyurkati , Salatiga. 

Dihadapan para santri dan santriwati, Nassir Abbas mengisahkan perjalanannya bagaimana dirinya dibentuk menjadi sosok terorisme yang dipaksa membentuk Negara Islam di Indonesia. 

Nasir Abbas dalam paparannya, menyampaikan bahwa dirinya bukan asli orang Indonesia namun dari Singapura. 

"Kemudian saya menjadi Warga Negara Malaysia. Sekitar 35 tahun yang lalu dirinya berhenti sekolah setelah lulus SMP," terang Nasir Abbas. 

Karena keinginannya memperdalam Al-Quran di sebuah Masjid, yang dianggap warga sekitar disebut sebagai Masjid Wahabi. Namun sayang, bekal ilmu yanh diperoleh tidak lengkap saat itu dirinya tidak peduli. Karena beranggapan Masjid tersebut sangat cocok untuk dirinya. 

Sampai akhirnya, ia berkenalan dengan Ustadz Abu Bakar Baasyir yang kemudian mengirimnya ke  Afganistan untuk melaksanakan jihad sesuai dengan ajaran yang dikenalnya.   

"Ternyata, semuanya sudah disiapkan. Sesampainya di Afganistan, justru saya disuruh masuk sekolah kembali untuk belajar dalam rangka mempersiapkan diri membentuk negara Islam, sampai saya lulus tahun 1990 dan menjadi pengajar di sana," terangnya. 

Dalam perjalanannya, Nasir Abbas aktif sebagai Ketua Kelompok Jamaah Islamiyah Wilayah Timur termasuk menguasai wilayah Indonesia 

Kelompok ini yang belakangan diketahui merencanakan tindakan melawan pemerintah (Indonesia). 

Namun pada akhirnya aksi mereka menyimpang sehingga terjadilah aksi terorisme, seperti pengeboman gereja dan tindakan tindakan pengeboman lainnya.

"Syukur Alhamdulillah melalui Polisi Pada 18 April 2003, saya tertangkap dalam keadaan hidup.  kemudian saya menyadari bahwa saya salah dan sekarang ikut membantu Polisi dalam rangka mencegah berkembangnya paham radikalisme karena terorisme adalah musuh kita bersama," pungkasnya.

Hikmahnya, Nasir menyadari bahwa memang ada kelompok yang pernah didalaminya itu. Mengatasnakan Islam untuk melawan pemerintah yang sah di Indonesia, padahal sesungguhnya apa yang di lakukan di Indonesia menyalahi aturan jihad. 

Semisal membunuh wanita, membunuh anak-anak, membunuh lawan yang tanpa perlawanan dan merusak tempat ibadah lain, namun kelompok-kelompok tersebut melakukan itu semua.

"Perbuatan yang diridhoi Allah adalah niat baik dan sesuai tuntunan, niat jihad baik namun dengan apa yang mereka  dilakukan dengan cara pengeboman dan lain-lain itu tidak baik," akunya. 

Diakui Nasir, saat ini siapa saja bisa direkrut oleh kelompok sehingga perlu kita membentengi diri yaitu dengan cara belajar yang benar, agar tidak ikut sana ikut sini tanpa pengetahuan yang cukup,  sehingga mudah terpengaruh hal yang tidak baik seperti kelompok terorisme.

Untuk itu ia berharap sebagai generasi penerus bangsa tetaplah belajar sampai selesai, ditempat yang baik, jangan mudah terpengaruh dan terbawa arus, tidak termakan hoax. 

Sementara, Tim Divisi Humas Mabes Polri AKBP Gatot Hendro Hartono, S.E., M.Si yang membacakan Amanat dari Kadiv Humas Polri mengatakan, kegiatan FGD ini bagian upaya mencegah berkembangnya paham radikalisme dan intolereransi. 

"Khususnya dilingkungan lembaga pendidikan maupun pondok pesantren," ujar Gatot Hendro Hartono yang pernah menjabat Kapolres Salatiga.