- Masyarakat Sipil Dan Demokratisasi: Belajar Dari Kasus Pemakzulan Presiden Di Korea Selatan
Baca Juga
Prologue
Semarang - Mungkin karena sudah di penghujung tahun, maka ada mood dan semacam nuansa-rasa untuk melakukan refleksi atas berbagai hal yang sudah terjadi; tidak hanya di sepanjang tahun ini tapi bahkan di tahun-tahun dan masa yang sudah agak lampau. Namun yang segera mencuat di pikiran kok malahan rangkaian pemilu yang belum lama berlalu. Hanya saja ketika teringat kembali “pesta-pesta demokrasi” itu, yang spontan muncul justru rasa sedih dan pesimisme; padahal selesai pesta mestinya senang-bahagia. Apa karena proses dan hasil penyelenggaran pemilu-pemilu itu seperti menegaskan sinyalemen para pengamat dan peneliti bahwa demokrasi kita tidak sedang baik- baik saja?
Memang masa depan demokrasi kita telah menjadi topik yang terus mendapat perhatian luas, terutama dalam konteks bagaimana demokratisasi ini berkembang sejak reformasi 1998. Tentu sulit dibantah bahwa faktanya kita telah berhasil melakukan transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi; bahkan menurut berbagai ukuran teoritis sudah berhasil memasuki fase konsolidasi demokrasi. Tetapi pesimisme justru menguat ketika ditanyakan apakah demokratisasi kita sudah mulai naik kelas memasuki fase pemantapan, pematangan atau pendewasaan (maturing of democracy).
Mengapa (harus) demokrasi?
Sebelum lebih jauh mencoba mencari jawab apakah pesimisme itu beralasan, ada baiknya kita kembali bertanya tentang apa pentingnya, apa manfaatnya demokrasi bagi rakyat. Secara filosofis-teoritis, bagi para pendukungnya, demokrasi diyakini sebagai alat, cara, metoda sekaligus tujuan yang membawa sejumlah keuntungan penting bagi rakyat, baik dalam aspek politik, sosial, dan ekonomi. Demokrasi tidak hanya penting dalam konteks kebebasan politik, tetapi juga memiliki dampak signifikan terhadap kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat.
Para pendiri negara kita meyakini bahwa melalui prinsip kerakyatan dalam wujud “permusyawaratan-perwakilan” yang dibimbing oleh “hikmat-kebijaksanaan” maka rakyat punya hak memilih para pemimpin dan hak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik atau kebijakan publik; termasuk jaminan hak-hak asasi manusia.
Dibanding “krasi-krasi” (kratos, pemerintahan) lainnya, demokrasi unggul karena memiliki mekanisme akuntabilitas yang kuat dimana setiap pemimpin yang terpilih secara demokratis harus mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya kepada rakyat.
Nah, seharusnya “jalan demokrasi” yang kita tempuh dan kita tuju itu terus menenteramkan hati; tetapi nyatanya justru semakin merisaukan dan bikin galau. Pesimisme justru menyebar dan menguat dalam dasawarsa terakhir. Ada pakar yang menyebutnya demokrasi semu (pseudo- democracy) karena meskipun ada kebebasan sipil dan pemilu, tetapi pengaruh elit politik, kepentingan ekonomi, dan oligarki membuat kebijakan yang dihasilkan tidak mencerminkan kehendak rakyat.
Pesimisme
Ada pula yang menggambarkannya sebagai demokrasi yang terperangkap dalam patronase dimana politisi dan partai politik membangun hubungan klientelistik yang berbasis pada pertukaran sumberdaya (transaksional), bukan pada prinsip-prinsip politik yang rasional atau demokratis. Sistem patronase berfungsi untuk mengamankan dukungan politik dalam jangka pendek dengan memberikan imbalan material kepada kelompok-kelompok tertentu, yang mengarah pada pengabaian kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan umum.
Sebenarnya ada cukup banyak istilah lain yang konotasinya tidak positif yang menggambarkan kesuraman prospek demokratisasi kita. Kecenderungan oligarki, patronase politik, populisme berbasis identitas, dan bahkan kemunduran menuju otoritarianisme sering disebut oleh para ahli bisa mematikan demokrasi. Lho, apa demokrasi bisa mati? Bisa, kata Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), dua profesor politik Amerika penulis buku “How Democracies Die.” Demokrasi dapat runtuh atau mati, bahkan di negara-negara yang telah lama mengalami demokratisasi dan memiliki institusi yang relatif kuat.
Argumen utama kedua penulis tadi adalah demokrasi tidak selalu mati melalui kudeta militer atau revolusi besar; tetapi mati secara perlahan melalui proses yang lebih halus dan tak kentara (subtle), di mana para pemimpin politik yang terpilih secara sah dan demokratis mulai merusak dan melemahkan institusi demokrasi dari dalam. Dicontohkan bagaimana pemimpin seperti Hugo Chávez di Venezuela atau Viktor Orbán di Hongaria, yang pada awalnya terpilih secara sah, akhirnya mengubah aturan permainan demokrasi dengan cara yang merusak kebebasan pers, kebebasan berpendapat, pelemahan peran oposisi, dan manipulasi pemilu. Ini adalah bentuk erosion of democracy dimana seorang pemimpin memilih untuk mengubah sistem demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan mereka sendiri.
Peran Partai Politik
Tulisan ini tidak akan lebih jauh membahas ancaman yang mematikan dari pemimpin populis yang punya bakat otoriter yang memanfaatkan sistem demokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan pengaruh mereka. Tetapi mari kita pakai sisa ruang ini untuk mecari siapa yang melahirkan dan membesarkan para pemimpin itu; dan ternyata langsung ketemu yaitu partai politik (parpol). Nah, ketemu sudah siapa mastermind di balik karut-marut kemunduran demokrasi kita.
Memang apalah arti demokrasi tanpa parpol, seperti sudah lama diteriakkan para ahli “no party, no democracy.”
Dan justru di situlah letak masalahnya karena busuk-matangnya demokrasi, mundur-majunya demokrasi, mati-hidupnya demokrasi ada di tangan (dan ditentukan oleh) parpol. Parpol dapat menjadi alat bagi kelompok tertentu hanya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan; bukan untuk memperkuat sistem demokrasi.
Di banyak negara parpol besar bisa jatuh ke dalam perangkap otoritarianisme de facto, dimana meskipun ada pemilu, tetapi kekuasaan tetap di tangan kelompok elit politik tertentu. Parpol dapat mengendalikan negara melalui penguasaan atau pelemahan lembaga negara (legislatif, peradilan), media massa, dan sektor-sektor ekonomi; sehingga sepak terjang parpol justru menghambat pembentukan mekanisme checks and balances, yang merupakan elemen fundamental dalam demokrasi. Kalau sudah begitu, ya parpol itu yang menghambat konsolidasi demokrasi dan penyebab tidak matangnya dan tidak majunya demokrasi; dan bahkan penyebab matinya demokrasi.
Optimisme
Meskipun ada banyak tantangan yang dihadapi, bahkan dimaknai sebagai kecenderungan kemunduran demokrasi (regression of democracy), kita masih punya optimisme masa depan demokrasi kita dengan sejumlah alasan. Masih ada perkembangan positif dan potensi yang memungkinkan Indonesia dapat terus memperkuat dan memperdalam demokrasi, seperti: stabilitas pemilu dari waktu ke waktu dan partisipasi publik yang menguat; kebebasan sipil (civil liberties) yang relatif tetap terjaga yaitu freedom of speech, freedom of assembly dan freedom of the press.
Optimisme juga muncul dari kecenderungan berkembangnya berbagai bentuk gerakan sosial dan aktivisme politik warga seperti gerakan perempuan, gerakan HAM, gerakan buruh, dan gerakan lingkungan hidup yang terus memperjuangkan perubahan sosial dan politik yang lebih baik, dengan mendorong kebijakan pemerintah yang lebih adil dan inklusif.
Last but not least, kita punya tradisi pluralisme dan keberagaman yang kuat dan kaya yang tercermin dalam keberagaman etnis, agama, dan budaya. Meskipun ada tantangan terkait dengan polarisasi sosial, keberagaman ini tetap menjadi kekuatan utama dalam menjaga integritas sosial dan politik. Pancasila, sebagai dasar negara, masih dianggap sebagai landasan penting yang mengajarkan toleransi dan kerukunan antarkelompok.Gerakan-gerakan sosial berbasis agama, budaya, dan etnis sering kali berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai demokratis dan pluralisme. Misalnya, banyak organisasi masyarakat sipil berbasis agama yang mendorong dialog antaragama dan menjaga toleransi dalam kehidupan sosial. Keberagaman ini memberikan peluang sekaligus potensi untuk terus memperdalam demokrasi yang inklusif.
Epilogue
No journey’s end for democracy. Jika ada pesimisme dalam memandang perkembangan demokrasi dan demokratisasi kita pasca-1998 karena munculnya kecenderungan kemunduran demokrasi dan menguatnya otoritarianisme baru; maka tidak serta merta mengikis habis optimisme kita terhadap masa depan demokrasi Indonesia yang matang, dewasa, maju dan berkualitas.
Secara keseluruhan, perkembangan demokrasi kita pasca-reformasi dapat dilihat sebagai campuran antara optimisme dan pesimisme. Meski telah tercatat beberapa kemajuan penting, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa demokrasi benar-benar berfungsi secara efektif, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Yuwanto, Ph.D., Dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip
- Dimenangkan Indonesia, Nonton Bareng Warga Dan Pemimpin Boyolali Pun Sukses
- Program Mudik Gratis, Gubernur Jateng Ahmad Luthfi Resmi Lepas Belasan Ribu Pemudik Dari Jakarta
- Gelar Safari Ramadhan, Kapolres Boyolali Ajak Masyarakat Dukuh Tempursari Jaga Kamtibmas