Masyarakat Sipil Dan Demokratisasi: Belajar Dari Kasus Pemakzulan Presiden Di Korea Selatan

Yuwanto, Ph.D.
Yuwanto, Ph.D.

Prolog

Organisasi masyarakat sipil (OMS) berperan penting dalam perkembangan demokrasi di mana saja; di negara demokrasi lama mau pun baru. Secara teori, OMS adalah kumpulan kelompok atau organisasi yang beroperasi di luar struktur pemerintah dan pasar; umumnya terdiri atas organisasi nonpemerintah (LSM), serikat pekerja, organisasi keagamaan, kelompok pembela hak asasi manusia, asosiasi profesi, dan berbagai jenis kelompok advokasi.

Secara keseluruhan, OMS berperan penting untuk memerkuat dan menjaga keberlanjutan demokrasi. Melalui pemberdayaan masyarakat, pengawasan pemerintah, promosi hak asasi manusia, serta advokasi untuk keadilan sosial dan ekonomi, OMS berkontribusi bagi terciptanya masyarakat yang lebih demokratis, transparan, dan inklusif. OMS membantu menciptakan keseimbangan kekuatan antara negara, pasar, dan masyarakat; sekaligus menjaga demokrasi tetap hidup dan berkembang dengan baik.

Sketsa Perkembangan

Korea Selatan (Republic of Korea, RoK) memiliki sejarah panjang terkait perkembangan OMS; tentu perkembangan yang sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, politik, dan ekonomi negara tersebut. Secara sederhana, perkembangan itu dapat diurutkan sejak masa penjajahan Jepang (1910-1945), masa pascakemerdekaan dan otoritarianisme (1945-1980), perjuangan memasuki demokratisasi (1980-1990), hingga era demokratisasi dan membentukan OMS (1990-an hingga sekarang).

Selama penjajahan Jepang, Korea mengalami penindasan yang sangat keras, dan hampir tidak ada ruang bagi OMS yang bebas. Namun, meskipun dalam kondisi yang sangat terbatas, sejumlah organisasi prokemerdekaan, seperti Liga Pemuda Korea dan kelompok-kelompok buruh, mulai muncul untuk memerjuangkan kemerdekaan dan hak-hak dasar masyarakat Korea. Organisasi-organisasi ini sangat terbatas dalam pengaruhnya, tetapi mereka menjadi cikal-bakal semangat perlawanan yang berkembang pada masa berikutnya.

Pascakemerdekaan, termasuk setelah Perang Korea (1950-1953), Korea Selatan (Korsel) memasuki periode yang sangat sulit. Di bawah pemerintahan otoriter Presiden Dr. Syngman Rhee dan kemudian Presiden Jenderal Park Chung-hee, kebebasan sipil dibatasi dan partisipasi politik masyarakat ditekan. Namun, pada dekade 1960-an dan 1970-an, beberapa OMS mulai terbentuk, meskipun terbatas pada kelompok-kelompok buruh dan mahasiswa. Mereka mulai berperan penting dalam perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang represif dan merugikan rakyat.

Momen penting perkembangan OMS terjadi pada periode 1980-an, terutama setelah peristiwa Pembantaian Gwangju (1980) dimana ratusan demonstran yang menuntut demokratisasi tewas di tangan aparat keamanan. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam sejarah gerakan prodemokrasi di Korsel dan terus bergulir seiring meningkatnya ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang dikelola secara otoriter; termasuk di sisi lain meningkat pula pelembagaan OMS. Gerakan sosial terstruktur seperti Gerakan Demokrasi 10 Juni 1987 dan berbagai gerakan pembelaan HAM mulai mendapatkan dukungan luas. Pemerintahan Presiden Jenderal Chun Do-hwan mulai merespon dengan melonggarkan beberapa pembatasan, dan pada akhirnya terpaksa menyetujui transisi menuju demokrasi yang ditandai oleh pemilihan presiden (Pilpres) langsung pada tahun 1987.

Pada dekade 1990-an, OMS berkembang pesat secara kuantitas dan kualitas; termasuk semakin banyaknya OMS berbasis advokasi yang memerjuangkan berbagai isu, seperti HAM, lingkungan hidup, keadilan sosial, dan pemerintahan yang bersih. OMS mulai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik, mendukung kebijakan yang lebih inklusif dan menjadi mitra kritis bagi pemerintah.

Pendanaan

Sumber dana OMS Korsel sangat beragam tergantung pada tujuan dan sifat masing-masing organisasi. Pendanaan dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, merupakan salah satu sumber utama, meskipun sering kali disertai dengan tantangan terkait independensi dan kebijakan pemerintah. Donasi individu, sumbangan perusahaan, serta hibah internasional juga menjadi sumber penting yang memungkinkan OMS menjalankan program-program mereka. Selain itu, penggalangan dana melalui kampanye dan crowdfunding menjadi semakin populer, membantu OMS untuk mengakses sumber dana yang lebih fleksibel.

Keterbatasan sumber dana memang merupakan hambatan signifikan bagi banyak OMS Korsel dalam menjalankan misi mereka. Keterbatasan pendanaan jangka panjang, ketergantungan pada sumber dana eksternal, dan persaingan yang ketat untuk mendapatkan dana sering kali membatasi kemampuan OMS untuk menjalankan program secara efektif dan berkelanjutan. Untuk mengatasi masalah ini, banyak OMS perlu mencari cara untuk meningkatkan diversifikasi sumber pendanaan, memperkuat kemampuan pendanaan mandiri, dan mencari kemitraan strategis dengan sektor lain, termasuk sektor swasta, untuk memastikan keberlanjutan program dan menjaga independensi mereka.

Kasus Pemakzulan

OMS Korsel berperan penting dalam perkembangan demokrasi; termasuk salah satu momen paling menonjol dalam sejarah politik Korsel adalah upaya pemakzulan presiden yang telah terjadi beberapa kali. Dalam konteks ini, OMS berfungsi sebagai pengawas, penggerak, dan mediator antara kekuasaan negara dan rakyat. Selain kasus terkini upaya pemakzulan Presiden Yoon Suk-yeol yang masih terus bergulir; tercatat dalam sejarah upaya serupa untuk Roh Moo-hyun (Presiden ke-9, 2003–2008) dan Park Geun-hye (Presiden ke-11, 2013–2017).

Pada 2004, ada upaya pemakzulan terhadap Roh Moo-hyun yang dipicu oleh ketegangan politik antara pemerintahannya dengan kelompok oposisi, terutama terkait dengan kebijakan reformasi yang kontroversial. Pemakzulan ini didasarkan pada tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi Mahkamah Konstitusi Korsel akhirnya menolak pemakzulan tersebut dan Roh Moo-hyun tetap menjabat sebagai presiden hingga masa jabatannya berakhir pada 2008.

Pada 2016, Park Geun-hye menjadi presiden pertama Korsel yang dimakzulkan. Proses pemakzulan ini dipicu oleh skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan Park dan teman dekatnya, Choi Soon-sil. Setelah pemakzulan, Mahkamah Konstitusi Korsel pada 10 Maret 2017 mengonfirmasi keputusan tersebut, dan Park secara resmi dicopot dari jabatannya.

Karakteristik Gerakan

Dalam sketsa ringkas, terdapat beberapa karakteristik gerakan sosial-politik OMS Korsel yang secara signifikan berperan mengawal demokratisasi di Korsel, yaitu: (1) Pentingnya partisipasi aktif (2) Peran media sosial dan teknologi (3) Pluralisme dan keberagaman (4) Kampanye hukum dan pengawasan peradilan, dan (5) Koalisi Antar-organisasi.

Gerakan masyarakat sipil di Korsel sangat bergantung pada mobilisasi massal dan partisipasi aktif dalam bentuk demonstrasi besar-besaran Aksi protes besar sering kali menjadi cara untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintahan. Misalnya, dalam kasus pemakzulan Park Geun-hye, aksi protes yang dikenal sebagai Gerakan Jumat Malam (Friday Night Protests) berhasil memobilisir jutaan orang yang menuntut pengunduran diri presiden.

OMS Korsel juga memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial untuk mengorganisir aksi dan memerluas jangkauan gerakan mereka. Media sosial seperti twitter, facebook, dan platform lain, berfungsi sebagai alat untuk mendokumentasikan ketidakadilan, menginformasi publik, dan menggalang dukungan dari masyarakat.

Karakteristik lain dari gerakan OMS Korsel adalah keberagaman aktor yang terlibat; mencakup berbagai kelompok mulai dari aktivis HAM, organisasi feminis, serikat pekerja, hingga kelompok mahasiswa dan lembaga keagamaan. Masing-masing memiliki agenda tertentu, tetapi sering berkoalisi untuk mencapai tujuan bersama, seperti menggulingkan pemimpin yang terlibat dalam skandal atau korupsi.

OMS Korsel juga sangat terlibat dalam proses hukum, seperti mengajukan petisi, memberikan bantuan hukum kepada korban pelanggaran HAM, dan mengorganisir tekanan terhadap lembaga-lembaga negara untuk bertindak sesuai dengan hukum dan konstitusi. Dalam kasus pemakzulan Park Geun-hye, OMS berperan dalam mendorong penyelidikan hukum terhadap keterlibatan presiden dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. OMS juga berperan dalam mengamankan proses peradilan yang adil dan terbuka, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.

Dalam proses pemakzulan, berbagai OMS seringkali membentuk koalisi untuk meningkatkan dampak dan kekuatan gerakan mereka. Koalisi ini mencakup berbagai jenis organisasi, mulai dari yang bergerak dalam bidang HAM, keadilan sosial, hingga antikorupsi. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Park Geun-hye, dimana koalisi berbagai kelompok bekerja sama untuk mengorganisir protes dan mendesak pemerintah agar melakukan investigasi yang transparan.

Kita bisa memerpanjang karakteristik gerakan OMS Korsel tersebut; misalnya dengan menyebut bahwa selain menuntut pemakzulan presiden, mereka seringkali mengajukan tuntutan lebih jauh terkait dengan reformasi sistem politik dan kebijakan. Dalam konteks pemakzulan Park Geun-hye, misalnya, banyak kelompok yang juga menuntut reformasi terhadap sistem politik yang memungkinkan pejabat tinggi negara terlibat dalam praktik korupsi yang merajalela. Gerakan ini bertujuan untuk menciptakan sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan publik yang lebih baik.

Bahkan setelah pemakzulan, OMS Korsel tidak berhenti begitu saja. Mereka terus berjuang untuk memastikan bahwa proses transisi politik berlangsung lancar dan demokratis; termasuk mendesak pemerintah baru untuk melakukan reformasi struktural yang memerkuat sistem demokrasi dan HAM.

Gerakan OMS Korsel terbukti memainkan peran yang sangat penting dalam proses demokratisasi, terutama dalam kasus-kasus pemakzulan presiden. Karakteristik seperti partisipasi aktif, penggunaan media sosial, dan keberagaman partisipan, OMS Korsel berhasil menciptakan gerakan sosial yang signifikan dalam mendukung reformasi politik dan memerjuangkan akuntabilitas dan transparansi. Pola gerakan mereka menunjukkan pendekatan yang terorganisir, multidimensi, dan tidak terbatas hanya pada tuntutan pengunduran diri, tetapi juga reformasi lebih luas untuk sistem yang lebih demokratis dan bebas dari korupsi.

Epilog

Sekelumit sketsa di atas semoga tidak terlalu menghasilkan kesan puja-puji saja terhadap eksistensi dan peran penting OMS Korsel. Dalam konteks politik saat ini, misalnya, masih terus terdapat berbagai tantangan; sebut saja di antaranya adalah tantangan polaritas politik dan tantangan otoritarianisme baru berupa censorship.

Di tengah polarisasi politik yang semakin tajam, OMS seringkali menghadapi tantangan dalam menjaga independensinya dan menghindari kooptasi dalam konflik politik yang lebih besar. Gerakan sosial tidak jarang dimanfaatkan oleh partai politik yang mengarah pada isu tentang keaslian dan keberlanjutan tuntutan mereka. Selain itu, meski pun Korsel dikenal sebagai negara demokratis, dalam beberapa tahun terakhir ada tantangan terhadap kebebasan berekspresi, terutama di media sosial dan ruang publik. Pemerintah terkadang mencoba untuk menekan suara-suara kritis, dan OMS harus berjuang keras untuk menjaga kebebasan berpendapat dan memastikan bahwa suara rakyat tetap didengar.

Yuwanto, Ph.D., Dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro