Algoritma Dan Kerja-kerja NGO

Martin Dennise Silaban. Istimewa
Martin Dennise Silaban. Istimewa

Di era digital yang serba terhubung, algoritma telah menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam menentukan interaksi sosial, pengambilan keputusan, dan bahkan keberhasilan kampanye advokasi.

Sebagai entitas yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat dan advokasi, organisasi non-pemerintah (NGO) tidak dapat mengabaikan dampak algoritma terhadap cara mereka bekerja dan berinteraksi dengan masyarakat dampingan mereka. Dalam konteks ini, memahami mekanisme algoritma dan dampaknya menjadi langkah strategis yang krusial untuk memastikan keberhasilan misi NGO di tengah lanskap digital yang semakin kompleks.

Algoritma Sebagai Penentu Dinamika Digital

Secara sederhana, algoritma adalah seperangkat instruksi atau logika yang digunakan oleh komputer untuk mengolah data dan menghasilkan keputusan atau rekomendasi. Namun, kekuatan algoritma ini sering kali tidak netral. Di dunia media sosial, misalnya, algoritma dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, yang berarti bahwa konten yang cenderung menarik perhatian baik melalui kontroversi, sensasi, atau emosi yang kuat akan lebih sering muncul di depan pengguna.

Dalam konteks kerja NGO, ini menjadi tantangan besar karena pesan-pesan advokasi yang membutuhkan pemahaman mendalam seringkali harus bersaing dengan narasi yang lebih dangkal tetapi lebih menarik secara algoritmik.

Algoritma media sosial, dalam perkembangannya, tidak hanya mempengaruhi preferensi pengguna dalam memilih informasi, tetapi juga menciptakan sebuah filter bubble atau ruang gema (echo chamber) (Bryan, 2020).

Fenomena ini mengarah pada terbatasnya wawasan pengguna terhadap sudut pandang yang berbeda, karena algoritma secara otomatis mengutamakan konten yang sejalan dengan pandangan atau minat mereka. Akibatnya, pengguna hanya terpapar pada informasi yang memperkuat keyakinan atau preferensi pribadi mereka, sementara pandangan yang berbeda sering kali terpinggirkan atau bahkan tidak terakses sama sekali. Seiring berjalannya waktu, hal ini memperburuk polarisasi dalam masyarakat, di mana kelompok-kelompok yang memiliki pandangan berbeda semakin terpecah, berinteraksi dalam lingkaran tertutup, dan lebih sulit untuk terlibat dalam dialog yang konstruktif.

Bagi kerja-kerja NGO, tantangan ini sangat signifikan. NGO yang berusaha memfasilitasi dialog lintas kelompok atau melakukan penyadaran masyarakat dengan pendekatan berbasis data dan fakta menghadapi kesulitan besar dalam menjangkau komunitas yang lebih luas.

Algoritma yang mengendalikan distribusi informasi seringkali dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk memanipulasi narasi, menyebarkan informasi palsu, atau memanipulasi opini publik (Bryan, 2020).  Keberadaan informasi yang salah atau bias ini tidak hanya merusak pemahaman masyarakat, tetapi juga dapat menurunkan kredibilitas NGO yang mengandalkan kajian/riset dalam kampanye mereka. Dengan terbatasnya ruang untuk menyuarakan kebenaran yang berbasis pada riset yang sahih, NGO menghadapi ancaman terhadap efektivitas dan integritas misi mereka.

Namun, hal ini bukanlah jalan buntu. Algoritma juga memiliki potensi besar untuk digunakan sebagai alat pembebasan (liberation) dengan mengarahkan penggunaannya untuk mendukung strategi pemberdayaan masyarakat dan advokasi keadilan sosial.

Peluang Dalam Memanfaatkan Algoritma

Algoritma menawarkan peluang besar bagi NGO untuk memperluas dampak kerja mereka. Dengan pendekatan yang tepat, NGO dapat menggunakan algoritma untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas dan menyampaikan pesan yang lebih relevan. Salah satu keuntungan terbesar dari algoritma adalah kemampuannya untuk menganalisis data dalam skala besar dan menyediakan wawasan yang dapat digunakan untuk menyusun strategi pendampingan. Dalam konteks ini, algoritma dapat membantu NGO memahami pola perilaku masyarakat dampingan mereka, mengidentifikasi kebutuhan yang mendesak, dan mengukur efektivitas kampanye mereka.

Namun, untuk memanfaatkan peluang ini, NGO harus memiliki pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme kerja algoritma. Salah satu contohnya yaitu algoritma di platform media sosial yang dapat menjadi pedang bermata dua sebagai peluang atau hambatan dalam upaya memobilisasi publik di ruang digital. Algoritma tersebut dirancang untuk memperkuat kecenderungan pengguna dalam mencari informasi yang seragam, sehingga sering kali menciptakan polarisasi dan memerangkap konten dalam echo chambers. Oleh karena itu, aktivis NGO perlu memiliki kemampuan strategis untuk menavigasi perbedaan struktur, regulasi, serta logika moderasi konten di berbagai platform media sosial yang mereka gunakan, guna memastikan pesan mereka dapat menjangkau komunitas yang lebih luas secara efektif dan berdampak (Fajar, dkk, 2022).

Selain itu, algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang bersifat visual, interaktif, dan mampu memicu keterlibatan pengguna. Dengan memahami dinamika ini, NGO dapat merancang strategi komunikasi yang tidak hanya informatif tetapi juga menarik secara visual dan emosional, sehingga memiliki potensi lebih besar untuk menjangkau komunitas yang lebih luas. Salah satu pendekatan efektif adalah dengan menggunakan pesan-pesan berbasis storytelling untuk memperkuat sisi emosional dari pesan yang disampaikan. Cerita yang menggugah, seperti kisah individu yang terdampak langsung oleh isu yang diperjuangkan, dapat menciptakan koneksi personal yang lebih kuat dengan komunitas, memicu empati, dan mendorong tindakan nyata. Lebih dari itu, algoritma juga dapat dimanfaatkan untuk mempersonalisasi pesan advokasi, menjadikannya lebih relevan dan sesuai dengan kebutuhan, preferensi, serta minat komunitas tertentu. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas kampanye, tetapi juga memperkuat daya tarik pesan dalam menciptakan dampak yang lebih signifikan.

Di sisi lain, pemanfaatan algoritma media sosial membuka peluang bagi NGO untuk membangun komunitas daring yang inklusif dan kolaboratif. Untuk itu, organisasi perlu merancang strategi pembentukan komunitas digital yang efektif.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah memulai dengan grup Facebook, WhatsApp, atau Telegram, yang sudah dikenal luas dan memiliki kemampuan untuk menghubungkan individu dengan minat dan tujuan serupa. Di samping itu, penggunaan TikTok dapat menjadi pilihan strategis, mengingat platform ini semakin populer di kalangan generasi muda dan Indonesia merupakan pengguna TikTok terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Melalui grup-grup daring tersebut, NGO dapat memberikan informasi terbaru, memperkenalkan pesan kampanye, dan menjaga kesadaran anggota komunitas terhadap aktivitas organisasi di berbagai platform media sosial lainnya. Hal ini membantu menciptakan keterlibatan yang berkelanjutan, memastikan bahwa komunitas tetap aktif dan terinformasi.

Algoritma Media Sosial: Alat Strategis Untuk Penguatan Jaringan NGO Dan Perubahan Sosial

Dengan pemahaman yang mendalam tentang algoritma media sosial, NGO dapat memanfaatkan berbagai fitur platform untuk memperluas jangkauan, mulai dari merekrut anggota baru, menggalang dana, hingga memobilisasi aksi luring yang dapat mendukung tujuan aktivisme (Fajar dkk, 2022). Selain itu, organisasi dapat mengoptimalkan algoritma untuk meningkatkan efektivitas kampanye dan memperluas dampak dari tujuan-tujuan yang diusung, baik dalam ruang digital maupun dalam kegiatan offline yang lebih luas (Fajar dkk, 2022).

Dengan strategi yang tepat, NGO memiliki potensi untuk menciptakan ruang digital yang tidak hanya menghubungkan tetapi juga mendorong diskusi konstruktif, serta memperkuat solidaritas di antara para pendukung mereka. Algoritma media sosial, jika dimanfaatkan dengan bijak, dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam menguatkan jaringan kerja NGO, memperluas jangkauan pesan, dan meningkatkan efektivitas kolaborasi lintas organisasi. Penggunaan algoritma untuk menyesuaikan konten dengan minat komunitas, memprioritaskan informasi yang relevan, dan membentuk interaksi yang lebih personal dapat memperkuat keterlibatan anggota komunitas, menciptakan hubungan yang lebih mendalam, dan mempercepat tercapainya tujuan bersama.

Lebih dari itu, dengan memanfaatkan algoritma secara strategis, NGO dapat memfasilitasi pertukaran ide dan pengalaman antar organisasi yang memiliki tujuan serupa. Kolaborasi yang difasilitasi oleh ruang digital yang terstruktur dengan baik memungkinkan berbagi sumber daya, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengoptimalkan tindakan kolektif. Dalam hal ini, algoritma bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk memperluas jangkauan, tetapi juga sebagai kekuatan yang dapat memperkuat ikatan antar organisasi dan mempercepat proses perubahan sosial yang diinginkan.

Sebagai penutup, era digital membawa tantangan sekaligus peluang yang signifikan bagi kerja-kerja NGO. Meskipun algoritma sering kali dianggap sebagai ancaman yang dapat memperburuk ketidakadilan atau memperkuat kesenjangan, sejatinya algoritma juga memiliki potensi besar untuk menjadi alat yang memperkuat dampak pemberdayaan dan advokasi. Dengan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana algoritma bekerja dan cara memanfaatkannya secara cerdas, NGO dapat mengubah tantangan ini menjadi peluang untuk memperluas jangkauan, meningkatkan keterlibatan, dan mempercepat tercapainya tujuan sosial mereka.

Lebih dari itu, dengan menekankan kolaborasi lintas organisasi dan komunitas, serta memanfaatkan kekuatan digital secara bijaksana, NGO dapat memastikan bahwa teknologi tidak hanya digunakan untuk memperburuk ketidakadilan, tetapi juga dapat menjadi alat untuk pembebasan dan dan mendukung terciptanya perubahan sosial.

Martin Dennise Silaban (Penulis dan Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Kompas.id, Tempo, Mongabay, Solopos, Lampung post, SuaraMerdeka, GreenNetwork Asia, Tropis.id, Mudabicara.id, rmol.id, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co)

Referensi:

Fajar, M., Adam, L., Nastiti, A. D., & Kenawas, Y. C. (2022). Aktivisme digital di Indonesia. Yayasan TIFA.

Bryant, L. V. (2020). The YouTube algorithm and the alt-right filter bubble. Open Information Science, 4(1), 123-135. https://doi.org/10.1515/opis-2020-0007