- Pemerintah Perlu Waspadai Kebijakan Tarif Impor Trump
- Apakah Ormas Berhak Menjadi Negara Di Dalam Negara?
- Membawa Agama Yang Ekologis Dan Penuh Kasih
Baca Juga
Pintu perlintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api. Petugas penjaga Perlintasan Jalur Lintas (PJL) kerap mejadi target untuk dijadikan tersangka jika terjadi kejadian kecelakaan di PJL.
Kejadian kecelakaan fatal di PJL kembali terulang antara Commuterline Jenggala dan truk trailer pengangkut kayu gelondongan yang terjadi pada Selasa (08/04) pukul 18.35 WIB. Kecelakaan di jalur pelintasan langsung atau JPL 11 antara Stasiun Indro dan Stasiun Kandangan menewaskan asisten masinis Abdillah Ramdan, sehingga jalur itu langsung ditutup.
Merujuk data dari PT KAI (2025), total 3.896 perlintasan sebidang atau Jalur Perlintasan Langsung (JPL) terdiri dari 2.803 JPL resmi dan 1.093 JPL liar. Sebanyak 1.879 JPL tidak terjaga yang terdiri 971 JPL resmi tidak terjaga dan 908 JPL liar tidak terjaga. Sementara 2.017 JPL terjaga, yang dikelola swasta sebanyak 40 JPL, swadya masyarakat 460 JPL, Pemda (Dinas Perhubungan) 538 JPL dan PT KAI 979 JPL.
Ada beberapa persoalan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam pengelolaan jalur perlintasan langsung.
Pertama, secara keseluruhan, sudah diatur dari sisi kewenangan itu sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 94 Tahun 2018 tentang Peningkatan Keselamatan Perlintasan Sebidang Antara Jalur Kereta Api dengan Jalan, Pemda bisa mengelola perlintasan namun ada kecemburuan ketika PT KAI yang mengelola perlintasan mendapat anggaran perawatan dan pengoperasian di perlintasan lewat skema Infrastructure, Maintenance and Operation (IMO). Namun Dnasi Perhubungan yang ikut mengelola tidak ada bantuan itu yang membuat pemda juga diperhatikan.
Ke dua, Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) pembentukan petugas PJL masih membayar dengan tarif per siswa Rp6.000.000 - Rp7.000.000, lantaran ada target pendapatan Badan Layanan Umum Sekolah Tinggi Kementerian Perhubungan (Politeknik STTD di Bekasi dan PPI di Madiun). Biaya itu menjadi beban Pemda untuk mengalokasikan anggaran, meskipun penerbitan sertifikasi PNBP nol rupiah.
Ke tiga, kesejahteran petugas PT KAI yang dikelola oleh PT KAPM sesuai harga upah minimum provinsi, kabupaten, kota. Sementara petugas PJL yang dikelola Pemda masih mendapat honor di bawah UMR. Ditambah lagi tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR) atau tunjangan lainnya untuk penyemangat. Meskipun sudah masuk kesehatan pekerja melalui BPJS. Perlunya keseragaman gaji atau honor petugas penjaga PJL, baik yang dikelola PT KAI, pemda maupun swasta, supaya tidak ada kesenjangan kesejahteraan. Pemerintah dapat memberikan skema IMO untuk petugas PJL yang tidak dikelola PT KAI.
Ke empat, perawatan jalan dengan rel, yang dikelola PT KAI tersedia anggaran melalui IMO. Sementara yang dikelola Pemda sama sekali tidak ada bantuan dari pemerintah pusat, maka terjadi ketidaknyamanzn saat melintas di perlintasan dan potensi kejadian kecelakaan khusus truk trailer atau patah as.
Risiko Di Petugas PJL
Ketika ada kecelakaan yang disalahkan pemilik risiko, yaitu petugas penjaga PJL yang dianggap lalai. Sementara yang menugaskan tidak melakukan pembinaaan secara rutin. Padahal yang melanggar adalah pengguna jalan.
Di sisi lain, Perlintasan Jalur Lintas (PJL) masih dianggap prasarana penunjang, semestinya itu prasarana pokok dalam perkeretaapian nasional, sehingga kebijakan regulasi keselamatan sering diabaikan. Ketika ada pembangunan atau peningkatan jalur KA atau jalur ganda, Pemda hanya jadi penonton dan perlintasan tidak diperhatikan dalam satu kesatuan prasarana pokok. Beberapa pemda merasa keberatan jika diharuskan untuk memelihara PJL yang sementara KA yang melintas tidak ada yang berhenti atau andai berhenti tidak banyak stasiun yang disinggahi di daerahnya (misalnya Kabupaten Magetan).
Kejadian kecelakaan di perlintasan belum menjadi isu nasional, masih dianggap kecelakaan biasa. Korban berjatuhan tidak ada aksi pascakejadian. Kecuali penutupan sepihak oleh PT KAI pada akses jalan yang terjadi kecelakaan.
Perencanaan tidak sebidang baru sebatas wacana, belum menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Negara belum hadir sesuai alinea 4 Pembukaan UUD 1945 di jalur perlintasan lintas demi memastikan keselamatan pengguna jalan dan perjalanan kereta api.
Renstra Terimbas Efisiensi Anggaran
Pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, menyebutkan (1) pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan yang selanjutnya disebut dengan perpotongan sebidang yang digunakan untuk lalu lintas umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api; (2) pemakai jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu jalan di perpotongan sebidang; (3) dalam hal terjadi pelanggaran yang menyebabkan kecelakaan, maka hal ini bukan merupakan kecelakaan perkeretaapian; dan (4) pintu perlintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api.
Kementerian Pekerjaan Umum sudah mempunyai Rencana Strategis Kementerian PUPR 2025-2039 tentang Penanganan Perlintasan Sebidang Jalur Kereta Api dengan Jaringan Nasional. Ada 138 lokasi dengan total anggaran Rp 21,39 triliun. Rinciannya untuk tahun 2025 – 2029 sebesar Rp8,37 triliun membangun 54 flyover atau underpass, tahun 2030 -2034 sebanyak Rp7, 44 triliun untuk 48 flyover atau underpass, dan tahun 2035 - 2039 dianggarkan Rp5,58 triliun untuk 36 flyover atau underpass.
Namun, Renstra ini tidak berjalan maksimal, terlebih tahun 2025 ada efisiensi anggaran, menyebabkan perlintasan tidak terbangun secara terjadwal dan makin runyamnya persoalan untuk menuntaskan perlintasan sebidang di jalan nasional.
Efisiensi anggaran yang sedang dicanangkan pemerintah, tidak semestinya berlaku untuk program keselamatan. Percuma negara menghasilkan manusia unggul melalui Program Makan Bergizi Gratis (MBG) namun pada akhirnya menjadi korban kecelakaan transportasi, akibat anggaran kegiatan untuk membangun, memelihara, monitoring, mengkaji, mengevaluasi yang berkaitan dengan keselamatan transportasi dikurangi bahkan dihilangkan.
*) Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat
- Dindagkop UKM Rembang Mulai Lakukan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Merah Putih
- Warga Resah Atas Aksi Kera Berekor Panjang Yang Masuk Rumah
- MTI Serukan Pentingnya Masterplan Untuk Integrasi Dan Keberlanjutan