- Catatan Akhir Tahun: Revisi UUPA, Antara Harapan Keadilan Dan Realitas Ketimpangan
- Darurat Keselamatan Transportasi Jalan, Presiden Dituntut Segera Bertindak
- Jalasutera : Sebuah Catatan Filsafat Metafisika Pancasila
Baca Juga
Kehadiran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tengah masyarakat pada awalnya lahir dari semangat untuk menghadirkan narasi alternatif. Sebagai representasi suara-suara yang terpinggirkan, LSM memainkan peran penting dalam mengisi kekosongan yang sering kali tidak diakomodasi oleh negara maupun pasar.
Dalam konteks ini, kapasitas LSM seharusnya bersifat fleksibel, inovatif, dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik komunitas atau isu yang mereka advokasikan.
Kemunculan usulan sertifikasi yang bersifat formal dan seragam, dengan alasan untuk meningkatkan akuntabilitas, justru berpotensi mempersempit pemahaman tentang kapasitas itu sendiri.
Pendekatan semacam ini menghadirkan berbagai tantangan yang perlu dipahami dengan cermat dan dikritisi secara mendalam.
Narasi Alternatif vs Standarisasi Formal
Konteks kehadiran LSM sebagai aktor yang tidak hanya fleksibel, tetapi juga berbasis komunitas. Keunggulan ini memungkinkan mereka untuk berinovasi dalam menangani isu-isu lokal yang kompleks.
Namun, sertifikasi yang diperkenalkan oleh beberapa LSM untuk menilai kapasitas sering kali mengarah pada standarisasi formal yang bersifat top-down. Dalam proses ini, nilai-nilai keaslian (authenticity) dan kontekstualitas yang menjadi inti kekuatan LSM justru dapat melemah.
Sebagai contoh, narasi alternatif yang diusung LSM berpotensi tereduksi menjadi sekadar memenuhi indikator-indikator formal yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi, baik nasional maupun internasional.
Indikator-indikator ini, meskipun mungkin dirancang dengan niat baik, sering kali gagal menangkap realitas lapangan yang dihadapi oleh LSM. Akibatnya, ada potensi bahwa fokus utama LSM bisa bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada kebutuhan nyata komunitas menjadi sekadar upaya untuk memenuhi persyaratan administratif.
Hal ini dapat menyebabkan LSM lebih mengutamakan pemenuhan formalitas untuk menjaga akses terhadap sumber daya atau dukungan dari donor, baik itu dari pemerintah maupun lembaga lainnya, daripada berfokus pada pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat yang mereka layani.
Salah satu kritik utama terhadap sertifikasi adalah kecenderungannya untuk menjadi ukuran tunggal dalam menilai kapasitas LSM. Padahal, kapasitas adalah konsep yang kompleks dan multidimensional. Sertifikasi formal mungkin mengabaikan aspek-aspek kontekstual yang tidak dapat diukur dengan standar universal.
Misalnya, LSM kecil yang bekerja di daerah terpencil sering kali memiliki keterbatasan administratif yang membuat mereka sulit memenuhi syarat sertifikasi formal. Namun, hal ini tidak berarti mereka tidak efektif.
Sebaliknya, LSM seperti ini sering kali memiliki kapasitas kontekstual yang jauh lebih kuat dibandingkan LSM besar dengan sertifikasi formal yang mapan tetapi tidak memahami kebutuhan lokal.
Efektivitas mereka terletak pada pemahaman mendalam terhadap budaya, bahasa, dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat, yang tidak selalu dapat dinilai melalui sertifikasi. Sertifikasi juga sering dipandang sebagai alat kontrol oleh donor, pemerintah, atau organisasi internasional.
Dalam praktiknya, LSM yang tidak memenuhi standar formal mungkin kehilangan akses terhadap sumber daya, kemitraan strategis, atau bahkan legitimasi di mata publik.
Hal ini berisiko menciptakan hierarki LSM, di mana LSM besar dengan akses ke sumber daya mendominasi, sementara LSM kecil yang lebih berbasis komunitas justru tersisih.
Model hierarki ini tidak hanya menghambat keberagaman pendekatan dalam advokasi, tetapi juga mengabaikan kekuatan LSM kecil yang sering kali lebih terhubung langsung dengan komunitas. Akibatnya, sertifikasi dapat berubah menjadi alat marginalisasi, bukannya pemberdayaan.
Reorientasi Sertifikasi: Menuju Pendekatan Hybrid
Sertifikasi, dalam banyak hal, sering kali dipandang sebagai alat penilaian yang kaku dan formal, yang berfungsi untuk mengevaluasi kinerja LSM melalui serangkaian standar yang diterima secara umum.
Namun, pendekatan semacam ini tidak selalu mencerminkan keragaman dan kompleksitas yang melekat pada setiap organisasi masyarakat sipil. Daripada menjadi sebuah alat penilaian yang hanya menilai hasil akhir, sertifikasi dapat diarahkan untuk mendukung pengembangan kapasitas yang lebih tepat sasaran dan fleksibel, dengan memperhatikan konteks lokal dan kebutuhan spesifik masing-masing LSM.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan mengadopsi pendekatan yang lebih partisipatif, di mana komunitas dan LSM itu sendiri dilibatkan dalam proses penentuan indikator yang relevan dengan kondisi dan tantangan yang mereka hadapi.
Hal ini akan memastikan bahwa sertifikasi tidak hanya mengukur kemampuan administratif atau output yang bersifat umum, tetapi juga kemampuan organisasi dalam menjalankan proses yang berkelanjutan dan sesuai dengan kebutuhan kontekstual mereka.
Pendekatan berbasis proses ini memungkinkan penilaian lebih holistik yang menggambarkan dinamika kerja LSM dalam jangka panjang, bukan hanya hasil yang tampak pada akhir periode.
Selain itu, penting juga untuk merancang indikator sertifikasi yang bersifat kontekstual. Setiap LSM beroperasi dalam lingkungan yang unik, dengan tantangan yang berbeda-beda, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun politik.
Oleh karena itu, menggunakan standar universal yang tidak mempertimbangkan kondisi lokal dapat menghambat fleksibilitas dan kreativitas organisasi dalam menjalankan misi mereka.
Dengan menyesuaikan indikator dengan kebutuhan spesifik dan konteks lokal, sertifikasi dapat menjadi alat yang mendukung, bukan membatasi, proses pengembangan kapasitas LSM.
Sertifikasi yang lebih inklusif dan berbasis proses ini tidak hanya akan memberikan manfaat dalam hal peningkatan kapasitas internal, tetapi juga dapat memperkuat posisi LSM sebagai aktor yang kritis dan independen dalam dinamika sosial.
Pada akhirnya, narasi alternatif yang menjadi inti dari keberadaan LSM yakni sebagai lembaga yang lahir untuk mengisi celah yang tidak dijangkau oleh pemerintah atau pasar harus tetap terjaga.
Dalam konteks ini, sertifikasi harus mendorong penghargaan terhadap keragaman pendekatan dalam advokasi dan pelayanan masyarakat. LSM perlu dipastikan tetap menjadi suara independen yang mampu mengkritik dan memberikan alternatif terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh negara atau pasar, bukan sekadar agen pelaksana dari donor atau pemerintah.
Dengan mempertahankan semangat kapasitas yang dirancang khusus, sertifikasi dapat menjadi alat pemberdayaan yang mendukung keberagaman dan fleksibilitas dalam kerja LSM.
Sebaliknya, sertifikasi yang terlalu kaku dan mengabaikan konteks lokal dapat berpotensi mengurangi otonomi dan fleksibilitas LSM, yang justru dapat menghambat peran mereka dalam mendorong perubahan sosial yang lebih adil dan inklusif.
Oleh karena itu, penting untuk merancang sistem sertifikasi yang mempertimbangkan keberagaman konteks dan memfasilitasi pengembangan kapasitas LSM sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan.
Sistem yang bersifat tailor-made atau disesuaikan ini akan memastikan bahwa setiap LSM dapat memperoleh pengakuan yang relevan dengan kondisi dan tantangan yang mereka hadapi secara spesifik, bukan hanya sekadar memenuhi standar umum yang seragam.
Dengan pendekatan ini, sertifikasi tidak hanya menjadi simbol prestasi, tetapi juga alat yang efektif dalam mendukung pengembangan kapasitas LSM, meningkatkan relevansi program mereka, dan memaksimalkan dampak positif di komunitas yang mereka layani.
Penulis adalah Peneliti SHEEP Indonesia Institute/Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM
- Begini Perspektif Komunitas LGBT Di Indonesia Dalam Psikologi Komunikasi
- Macet Mudik Bukan Takdir: Kekuatan Tersembunyi Big Data Dan AI Yang Bisa Mengubah Segalanya
- Berdirinya LVRI Tonggak Pengakuan Formal Bagi Para Pejuang