Digital Organizer

Oleh : Martin Dennise Silaban*)
Martin Dennise Silaban
Martin Dennise Silaban

Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi di era digital, cara kita membangun dan mengorganisasir komunitas telah berubah secara fundamental.

Jika sebelumnya pendekatan tradisional bergantung pada pertemuan fisik dan relasi langsung, kini dunia digital menawarkan ruang yang jauh lebih luas, sekaligus lebih kompleks.

Namun, pertanyaan penting pun muncul: bagaimana cara terbaik untuk mengorganisasir komunitas di era ini?.

Apa yang harus dipahami oleh seorang pengorganisir agar tetap relevan dan efektif dalam dunia yang terus bergerak cepat ini?.

Media Sosial: Pilar dalam Pengorganisasian Digital

Media sosial tidak hanya menjadi platform untuk berbagi cerita pribadi atau hiburan, tetapi juga menjadi alat yang kuat dalam membentuk opini publik dan mengarahkan keputusan komunitas.

Anju (2024) menjelaskan bahwa media sosial membentuk opini publik melalui beberapa cara, seperti penggunaan algoritma untuk memilih konten yang ditampilkan, konten yang dibuat oleh pengguna itu sendiri, dan pengaruh dari hubungan antar pengguna di dalam jaringan sosial mereka.

Dalam konteks ini, algoritma memiliki peran besar dalam menentukan informasi apa yang kita lihat, yang pada akhirnya memengaruhi cara kita memahami suatu isu.

Sebagai contoh, algoritma di platform seperti Facebook atau Twitter dirancang untuk menampilkan konten yang relevan dengan minat pengguna.

Namun, efek sampingnya adalah munculnya filter bubble, di mana seseorang hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangannya.

Fenomena ini dapat memperkuat polarisasi di masyarakat, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat solidaritas komunitas tertentu.

Abu Muna (2023) lebih jauh menjelaskan bahwa media sosial tidak hanya membentuk opini publik, tetapi juga memengaruhi pengambilan keputusan dalam berbagai hal.

Melalui interaksi digital, individu dan kelompok dapat berbagi informasi, berdiskusi, dan menciptakan pandangan kolektif terhadap berbagai isu, mulai dari perubahan iklim hingga kebijakan lokal.

Hal ini menjadikan media sosial sebagai ruang di mana ide-ide baru dapat berkembang dan komunitas dapat beraksi bersama untuk mencapai tujuan bersama.

Digital Organizer: Agen Perubahan di Era Digital

Dalam konteks pengorganisasian komunitas di era digital, muncul peran baru yang saya sebut sebagai "Digital Organizer."

Digital Organizer adalah individu atau kelompok yang menggunakan berbagai macam media digital untuk menginisiasi, memobilisasi, dan mengarahkan aksi kolektif.

Mereka memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana menyampaikan pesan yang efektif di media sosial, dan bagaimana membangun jejaring advokasi berbasis digital yang kuat. Digital Organizer juga memiliki kemampuan membaca pola digital.

Salah satu tugas utama Digital Organizer adalah menciptakan narasi yang relevan dan mudah diterima oleh audiens digital.

Dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi yang melimpah, narasi yang kuat dapat menjadi penentu sukses atau gagalnya sebuah gerakan. L. Braun (2012) menekankan pentingnya reputasi dalam jaringan sosial digital.

Dalam hal ini, Digital Organizer harus mampu membangun reputasi yang kredibel melalui konsistensi, transparansi, dan keaslian dalam menyampaikan pesan.

Digital Organizer tidak hanya bertindak sebagai penggerak komunitas, tetapi juga sebagai penjaga integritas dalam ruang digital. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang dibagikan adalah benar dan tidak memicu konflik.

Selain itu, mereka juga berperan sebagai mediator yang menjembatani perbedaan pendapat di antara anggota komunitas.

Digital Organizer juga dapat mengakselerasi pesan-pesan kampanye untuk advokasi.

Sebagai contoh, gerakan untuk mendorong disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menunjukkan bagaimana Digital Organizer dapat menggunakan media sosial untuk memobilisasi masyarakat dan mendorong disahkannya RUU PKS menjadi UU Tindak Pidana Kekerasan seksual (UU TPKS).

Melalui tagar seperti #SahkanRUUPKS mereka berhasil menciptakan gelombang solidaritas yang tidak hanya menghasilkan perubahan opini publik tetapi juga memengaruhi kebijakan pemerintah.

Dari Pengorganisasian Offline ke Pengorganisasian Digital

Di era digital yang serba cepat dan penuh tantangan, cara mengorganisir komunitas juga telah mengalami transformasi besar.

Jika dulu pengorganisasian dilakukan secara langsung dengan pertemuan fisik, diskusi kelompok, dan aksi kolektif di lapangan, kini pendekatan tersebut harus beradaptasi dengan ruang digital.

Seorang digital organizer tidak lagi hanya berbicara di depan forum atau mengedarkan selebaran, tetapi harus mampu membangun keterlibatan komunitas melalui layar gawai, algoritma media sosial, dan berbagai platform digital.

Langkah pertama dalam pengorganisasian digital adalah membangun kehadiran di ruang maya. Pendekatan kepada masyarakat tidak lagi terbatas pada pertemuan tatap muka, melainkan melalui interaksi di media sosial, grup diskusi online, atau forum daring.

Komunitas digital tidak hanya berkumpul karena kesamaan lokasi, tetapi lebih karena kesamaan minat dan tujuan.

Oleh karena itu, seorang digital organizer harus memahami di mana komunitas yang ingin mereka rangkul berkumpul, apakah di Instagram, Twitter, Facebook, Tiktok, Discord, atau bahkan Telegram.

Kehadiran digital ini bukan sekadar eksistensi, tetapi harus diiringi dengan komunikasi yang relevan, menarik, dan mampu membangun kepercayaan.

Setelah membangun keterhubungan awal, langkah berikutnya adalah memfasilitasi partisipasi komunitas.

Jika di dunia nyata pertemuan komunitas diadakan di ruang diskusi atau balai warga, di dunia digital ruang ini bisa berupa grup WhatsApp, diskusi live di X Spaces atau Instagram atau forum di Facebook.

Interaksi ini harus bersifat inklusif dan interaktif, bukan hanya sekadar informasi satu arah. Sebuah komunitas yang hidup di era digital adalah komunitas yang anggotanya merasa memiliki suara dan kontribusi.

Dengan teknologi yang ada, pengambilan keputusan bisa dilakukan secara lebih transparan melalui polling, diskusi terbuka, atau bahkan crowdsourcing ide dari para anggota.

Dari diskusi tersebut, barulah strategi bisa dirancang. Dalam konteks pengorganisasian komunitas digital, data menjadi fondasi utama dalam merancang strategi yang efektif.

Aktivisme data adalah bentuk baru dari gerakan sosial di era digital yang menggunakan data sebagai alat utama untuk mendorong perubahan sosial, politik, dan ekonomi.

Ini bukan sekadar pengumpulan atau analisis big data, tetapi lebih kepada bagaimana data digunakan secara kritis untuk mengungkap ketidakadilan dan memobilisasi masyarakat, serta melawan dominasi perusahaan dan negara.

Jika dalam dunia nyata strategi mungkin disusun melalui pertemuan tatap muka dengan presentasi dan ragam kertas plano sebagai medium, maka dalam komunitas digital perencanaan bersifat lebih dinamis dan berbasis data.

Analitik media sosial, tren daring, serta pola interaksi komunitas menjadi landasan utama dalam mengambil keputusan.

Seorang digital organizer harus peka terhadap pola komunikasi audiensnya, memahami jam aktif pengguna, jenis konten yang paling banyak direspons, serta isu yang sedang hangat dibicarakan.

Aktivisme data memungkinkan penyusunan strategi yang lebih akurat dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperkuat pesan, menargetkan audiens yang tepat, dan mengoptimalkan penyebaran informasi.

Pengorganisasian digital tidak hanya sekadar memindahkan metode offline ke ranah online, tetapi juga mengintegrasikan kekuatan data sebagai instrumen mobilisasi dan perlawanan.

Aksi yang dilakukan menjadi lebih terukur, terarah, dan memiliki dampak lebih besar dalam menciptakan perubahan sosial.

Namun, strategi saja tidak cukup tanpa aksi nyata. Jika di era offline mobilisasi dilakukan dengan pertemuan-pertemuan, demonstrasi atau aksi, atau penyebaran selebaran, maka di dunia digital mobilisasi terjadi melalui kampanye daring.

Petisi online, tagar yang viral, tantangan media sosial, hingga kampanye donasi kolektif adalah bentuk-bentuk baru aksi digital yang mampu menggerakkan ribuan, bahkan jutaan orang hanya dengan sekali klik.

Kunci dari keberhasilan aksi digital ini adalah keterlibatan komunitas, mereka tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor utama yang menyebarkan pesan dan mengajak orang lain untuk bergabung.

Tidak kalah penting, strategi pengorganisasian digital juga harus mencakup pemanfaatan berbagai platform media sosial. Bergantung pada satu platform saja tidak cukup untuk menjangkau audiens yang beragam.

Oleh karena itu, Digital Organizer perlu mengadopsi pendekatan multiplatform. Misalnya, untuk menjangkau generasi muda, platform seperti TikTok dapat digunakan dengan konten kreatif dan pendek.

Sementara itu, LinkedIn dapat menjadi media untuk berinteraksi dengan kalangan profesional, dan WhatsApp dapat dimanfaatkan untuk komunikasi yang lebih personal dan langsung.

Dengan memanfaatkan berbagai platform ini secara simultan, Digital Organizer dapat memastikan bahwa pesan mereka dapat mencapai target audiens dengan cara yang paling efektif.

Setelah aksi dijalankan, komunitas digital harus terus diperkuat dengan struktur yang jelas. Berbeda dengan organisasi tradisional yang memiliki hierarki formal, komunitas digital lebih cair dan berbasis peran.

Koordinasi dapat dilakukan melalui platform seperti Notion, dan peran anggota bisa fleksibel sesuai dengan kebutuhan kampanye.

Dokumentasi digital juga menjadi penting agar setiap orang bisa mengakses informasi dengan mudah dan tidak ada keputusan yang hilang dalam arus komunikasi cepat.

Akhirnya, untuk memastikan komunitas ini tetap hidup dan berkembang, sistem pendukung harus dibangun.

Sebuah komunitas digital yang berkelanjutan tidak hanya bergantung pada satu orang atau satu momentum, tetapi pada ekosistem yang memungkinkan regenerasi dan pertumbuhan.

Ini bisa berupa platform berbagi sumber daya digital, mekanisme pendanaan kolektif melalui amartha, kitabisa, atau kolase hingga kemitraan dengan jaringan lain yang memiliki visi serupa.

Tanpa sistem pendukung yang kuat, sebuah komunitas digital bisa kehilangan arah atau mati begitu momentum awalnya mereda.

Dengan memahami dan mengadaptasi tahapan pengorganisasian ke dalam konteks digital, seorang digital organizer dapat membangun komunitas yang lebih inklusif dan mampu menciptakan dampak nyata di era digital.

Dunia boleh berubah, tetapi esensi dari pengorganisasian tetap sama: menyadarkan, menggerakkan, menghubungkan dan memberdayakan orang-orang untuk mencapai tujuan bersama.

*) Peneliti di SHEEP Indonesia Institute &Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM. Berbagai tulisannya sudah dimuat di media nasional maupun lokal seperti The Jakarta Post, Kompas, Tempo, Mongabay, Solopos, Lampung post, SuaraMerdeka, GreenNetwork Asia, Rmol.id, Kedaulatan Rakyat, dan Floresa.co