Masa Depan Pilot Indonesia: Dari Kokpit Ke Ruang Kendali

Ilustrasi Ruang Kendali Kokpit Pilot Jet Tempur. Stockcake
Ilustrasi Ruang Kendali Kokpit Pilot Jet Tempur. Stockcake

Di masa depan, pilot tempur dan komersial tak lagi duduk di dalam kokpit yang melesat di langit. Mereka akan duduk di ruang kendali yang tenang, menatap layar, mengendalikan drone dari jarak ratusan kilometer, didampingi kecerdasan buatan yang memproses data radar, satelit, dan sistem komunikasi waktu nyata.

Transformasi ini bukan lagi prediksi futuristik. Ini adalah kenyataan yang telah berlangsung.

Amerika Serikat, misalnya, telah lama mengoperasikan MQ-9 Reaper - pesawat tak berawak bersenjata yang dikendalikan jarak jauh - untuk berbagai misi strategis. Global Hawk, drone intai strategis, bahkan terbang selama 30 jam tanpa awak, dikendalikan oleh tim darat di ruang kendali.

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin, jenderal purnawirawan, bahkan pernah terbang bersama pilot dalam F-16 dan menyatakan bahwa misi udara kini bergantung pada simbiosis manusia-mesin dan data real-time, bukan sekadar keberanian di udara.

Namun pertanyaannya adalah "Apakah Indonesia siap?"

Ketertinggalan Teknologis dan Strategis

Indonesia belum memiliki satelit pertahanan sendiri. Tak ada pesawat AWACS (Airborne Warning and Control System) untuk komando dan pengendalian udara modern. Sistem komunikasi militer kita pun belum terenkripsi secara mandiri. Bahkan belum ada kerangka integratif tentang bagaimana sistem tak berawak akan berperan dalam pertahanan udara nasional.

Padahal, dalam skenario peperangan modern, kecepatan deteksi dan respons berbasis data lebih menentukan kemenangan ketimbang keberanian individu di udara. Ketika negara lain sudah membangun jaringan sensor, algoritma, dan kecerdasan buatan untuk mengendalikan ruang udara mereka, Indonesia masih terjebak dalam pemikiran linear tentang superioritas teknologi tempur konvensional.

Urgensi Pembaruan Doktrin

Lebih dari sekadar alat dan infrastruktur, tantangan terbesar justru berada pada level doktrin. Sistem pertahanan kita masih sangat terpusat pada paradigma lama yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya aktor utama di kokpit. Ini bukan sepenuhnya kesalahan institusi, melainkan karena memang belum ada kebijakan nasional yang mendorong reinterpretasi peran manusia dalam sistem berbasis data dan otonomi.

Doktrin yang bersifat pilot-sentris perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang peran baru: operator sistem, analis data taktis, dan integrator sensor-drone.

Dunia telah berpindah dari "kecepatan manuver manusia" ke "kecepatan pemrosesan data."* Dominasi udara di era digital tidak lagi ditentukan oleh dogfight, tetapi oleh kecerdasan sistemik dan keunggulan informasi.

Perubahan doktrin tidak berarti menafikan nilai-nilai lama seperti keberanian, disiplin, dan ketahanan, melainkan mengarahkannya ke arena yang lebih luas: penguasaan teknologi dan adaptasi strategis.

Infrastruktur: Antara Kebutuhan Dan Keterlambatan Antisipasi

Untuk membangun postur pertahanan udara masa depan, dibutuhkan dua hal utama: infrastruktur keras dan lunak. Infrastruktur keras meliputi satelit militer, pesawat tanpa awak bersenjata, radar multifungsi berbasis jaringan, dan pusat kendali berteknologi tinggi. Infrastruktur lunak mencakup penguasaan AI, big data, pemrograman drone swarm, serta keamanan siber pada level sistem pertahanan.

Sayangnya, keterlambatan untuk membuka ruang kolaborasi dengan kalangan sipil dan industri teknologi dalam negeri masih tinggi. Ekosistem inovasi pertahanan belum terbentuk. Talenta muda di bidang AI dan robotika belum dilibatkan secara terstruktur. Padahal, ketahanan udara masa depan lebih bergantung pada server dan algoritma dibandingkan mesin jet.

Tantangan Budaya Organisasi

Transformasi teknologi membutuhkan juga transformasi budaya organisasi. Banyak struktur kelembagaan pertahanan masih berpikir dalam kerangka Perang Dingin. Alur pengadaan yang lambat, kurangnya pemahaman strategis terhadap AI dan sistem otonom, serta keterbatasan literasi teknologi, menjadi penghambat laten.

Namun perubahan tetap mungkin. Tantangan ini harus dilihat sebagai peluang untuk mengembangkan ekosistem pertahanan yang lebih adaptif, kolaboratif, dan responsif terhadap masa depan.

Doktrin baru membutuhkan keberanian institusional dan dukungan politik strategis.

Momentum Untuk Melompat

Indonesia bukan tidak punya potensi. Kita memiliki SDM muda berbakat di bidang teknologi, komunitas drone yang berkembang, serta perusahaan rintisan di bidang AI dan satelit kecil. Yang dibutuhkan adalah kemauan politik dan institusional untuk menjadikan ini sebagai prioritas strategis.

Negara tidak boleh lagi menunda integrasi teknologi dalam doktrin dan ekosistem pertahanan. Langit masa depan bukan hanya ruang fisik, tapi ruang data. Mereka yang mampu menguasai data, mengintegrasikan sensor, dan membuat keputusan dalam hitungan milidetik: merekalah yang akan memimpin.

Indonesia harus mulai dari sekarang dengan pertanyaan, "Pilot masa depan akan duduk di ruang kendali, tapi apakah kita sudah membangun ruang itu?"

*) Tommy Tamtomo - Wakil Ketua/ Kepala Litbang, Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI)