Mengkritisi Program Makan Bergizi Gratis

Oleh Prof Dr Nugroho SBM MSi
Prof Dr Nugroho SBM MSi. Istimewa
Prof Dr Nugroho SBM MSi. Istimewa

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) akhirnya dimulai pada 6 Januari 2025 lalu. Sebagai pengelola dari Program MBG ini adalah Badan Gizi Nasional sesuai Peraturan Presiden Nomer 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN).

Sebagaimana diketahui Program MBG merupakan program unggulan pada saat kampanye pasangan Prabowo-Gibran. program ini  ditengarai merupakan salah satu program yang menghantarkan Prabowo-Gibran menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2025-2029. 

Oleh karenanya tampak usaha keras dari pemerintahan Prabowo-Gibran untuk segera merealisasikan program ini. Namun tampaknya masih ada pekerjaan rumah atau masalah yang perlu dikritisi dalam pelaksanaan Program MBG ini.

Pertama, belum jelasnya mekanisme pembiayaannya. Dalam APBN 2025 pemerintah pusat telah mengalokasikan dana Rp 71 triliun untuk Program MBG ini. Namun dalam perjalanannya diberitakan bahwa anggaran Rp 71 Triliun itu tidak semuanya dibiayai dari APBN karena Mendagri mewajibkan pemerintah daerah beriur atau menyumbang.

Di beberapa liputan media kontribusi Pemda tersebut diharapkan sekitar  13,73 persen atau Rp 5,64 triliun. Masalah yang timbul adalah dasar hukum untuk kontribusi pemerintah daerah terhadap pembiayaan MBG tersebut.

Setahu saya belum ada. Maka perlu dibuat landasan hukumnya (Peratuan pemerintah di tingkat pusat dan Peraturan Daerah di tingkat daerah). Masalah lainnya adalah jika sudah dilaksanakan di tahun 2025 ini maka apakah seluruh daerah sudah mengalokasikan dana untuk MBG ini di APBD nya? Mungkin untuk tahun 2025 partisipasi pemda ditunda dulu.

Kedua, target dari MBG ini. Dari pemberitaan sasaran atau target dari MBG ini tidak hanya anak sekolah tetapi juga anak-anak pada umumnya dan ibu hamil juga. Apakah target tersebut sudah didata dengan teliti sehingga nantinya penerima MBG memang tepat sasaran.

Hal ini penting karena berbagai program bantuan pemerintah sering tidak tepat sasaran karena pepentuan penerima programnya tidak akurat. Maka diperlukan pendataan yang akurat siapa yang akan disasar Program MBG ini.

Ketiga, masalah mekanisme pengawasan. Bagaimana mengawasi makanan yang disediakan merupakan masalah penting yang lain. Siapa yang akan mengawasi berbagai hal dalam pelaksanaan MBG?.

Berbagai hal itu antara lain: apakah dana Rp 10.000 per orang itu benar-benar dibelanjakan sebesar itu ataukah kurang dari itu (dikorupsi)? Bagaimana kompsisi makanan yang disajikan apakah sudah memenuhi gizi yang baik sebagaimana yang diinginkan?.

Bagimana cara memasaknya, apakah sudah benar-benar higenis? Dibutuhkan partisipasi masyarakat untuk pengawasan di samping perlu dibentuk sebuah badan pengawas yang terdiri dari para ahli yang menguasai teknis tentang berbagai hal- termasuk kesehatan- dalam pelaksanaan Program MBG.

Keempat, banyak daerah yang belum siap infrastruktur transportasi maupun distribusinya. Banyak keluhan di hari pertama Program MBG paket makanan terlambat sampai ke tempat tujuan. Ini akan beresiko bagi anak penerima karena sudah melewati jam makan siang. Dari sisi makanannya juga ada resiko basi sehingga tidak termakan ataupun kalau dimakan bisa menimbulkan penyakit. Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk masalah distribusi supaya bisa sampai ke lokasi tepat waktu.

Kelima, masalah jenis makanan. Banyak daerah khususnya di luar Jawa yang makanan pokoknya bukan nasi. Maka ketika paket makanan dalam Program MBG adalah unsur pokoknya nasi maka menjadi masalah di daerah-daerah yang makanan pokoknya bukan nasi. Oleh karena itu ke depannya perlu dipikirkan keanekaragaman menu dalam Program MBG.

Keenam, masalah limbah bungkus makanan. Seperti yang diberitakan media massa, kemasan yang dipakai untuk makanan dalam Program MBG adalah karton atau kardus. Ini menimbulkan masalah limbah karena kardus itu hanya sekali pakai lalu dibuang. Ke depannya mungkin perlu dipikirkan menggunakan wadah palstik yang bisa dipakai berkali-kali.