Dua minggu terakhir ini setidaknya ada dua peristiwa yang menyangkut dua orang dokter muda di dunia. Yang pertama adalah seorang dokter perempuan yang sedang menuntut ilmu dan profesionalisme di Program Pendidikan Dokter Spesialis di Jawa Tengah. Yang kedua adalah seorang dokter perempuan di Kolkata, India. Keduanya mengalami nahas.
- Mengkritisi Program Makan Bergizi Gratis
- Menakar Pentingnya Pendidikan Vokasi dalam Mempersiapkan Suksesi Bonus Demografi Indonesia
- Peran Pengemudi Diabaikan, Truk Pencabut Nyawa di Jalan
Baca Juga
Keduanya ditemukan terkulai berkalang tanah. Kedua-duanya berusia sekitar 30 tahun. Keduanya adalah tenaga kesehatan yang telah membaktikan dirinya untuk melayani kesehatan dan karenanya berada di garda terdepan dunia kesehatan di negara masing-masing.
Di Semarang, sang dokter meninggal dunia sendirian di kamar indekosnya dengan membawa suatu misteri dugaan perundungan yang telah membuat jagad kesehatan Indonesia terguncang.
Di Kolkata, Bengal Barat, seorang dokter perempuan beristirahat dalam suatu ruangan kosong di rumah sakit tempatnya bekerja dan pada malam yang sama akan mengalami perkosaan yang keji dan membuatnya tewas dalam kondisi yang menyedihkan dan membuat seluruh India membara.
Dokter Aulia adalah seorang dokter yang terkenal baik hati oleh para rekannya di kota asalnya Tegal, dan tempatnya bekerja. Ia menerima beasiswa untuk bidang anestesi dan karenanya merupakan salah satu praktisi kesehatan yang dianggap pantas dan pandai mewakili institusi tempatnya bekerja yakni RSUD Kardinah di Tegal.
Dikabarkan pendidikan di PPDS itu begitu berat dan dipadati dengan perundungan. Beredar pula potongan-potongan dari buku hariannya yang menceritakan keluhannya dalam menghadapi pendidikannya sebagai dokter anestesi. Desas-desus yang beredar adalah ia menyuntikkan suatu zat tertentu untuk tidur agar bisa beristirahat.
Setelah menjalani hari Minggu, akhir pekannya yang terakhir, Dr Aulia masuk ke dalam kamarnya. Pada Senin (12/08) keluarganya seharian menghubungi Dokter Aulia berkali-kali tetapi tidak mendapatkan tanggapan sehingga akhirnya kakaknya mendatangi indekosnya.
Saat dibantu oleh penunggu rumah indekos, kakaknya dan beberapa temannya mendobrak pintu kamarnya dari luar. Saat itu, dipastikan Dokter Aulia ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di kamar kosnya yang berlokasi di Lempongsari, Semarang, Jawa Tengah
Kasus Dokter Aulia ini menjadi viral karena peran media sosial X. Secara mendadak, warga internet di Indonesia terhenyak dan beredar kisah-kisah dugaan perundungan. Tanpa dapat dicegah lagi, kondisi awal kematian dokter muda ini menjadi pembicaraan trending di media sosial.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa dokter ini tertekan akibat tradisi senioritas yang biasa terjadi di dunia pendidikan kedokteran. Pihak yang merasa mengenali kondisi pendidikan profesi kedokteran, atau memiliki kenalan dokter di lingkungannya, langsung turun tangan memberikan pendapat keahlian masing-masing di media sosial tanpa dimintai pendapat.
Kisah-kisah tentang kekejaman senior dan perintah-perintah mereka terhadap para dokter muda menjadi pelengkap sehari-hari. Bahkan beredar juga bukti-bukti bahwa pasangan-pasangan (istri) dokter senior memerintah para dokter junior untuk menyediakan makanan, membelikan barang-barang pesanan bahkan menyediakan uang. Namun, semua percakapan di media sosial ini tentu saja tidak bisa dijadikan bukti.
Di tengah gelombang kemarahan warga internet atas dugaan perundungan, keluarga sang dokter sendiri menolak adanya otopsi dan segera membawa tubuh keluarga kesayangan mereka ke kampung halamannya dan memakamkannya di pemakaman setempat.
Tetapi kasus ini tidak juga mereda. Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat teguran kepada RSUD Tegal untuk menghentikan semua pendidikan PPDSnya. Dua hari kemudian pihak Universitas Diponegoro, mengeluarkan Siaran Pers melalui Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Humas Undip.
"Kami pertama-tama menyampaikan duka cita sedalam-dalamnya atas meninggalnya almarhumah. Mengenai pemberitaan meninggalnya almarhumah berkaitan dugaan perundungan, dari investigasi internal kami, hal tersebut, tidak benar," jelas Utami, mengutip keterangan pers diterima, Kamis (15/8) siang.
Pihak kepolisian, sementara itu, juga turun tangan setelah mendapatkan laporan dari pihak keluarga. Namun, sampai kemarin mereka belum bisa menemukan bukti perundungan yang membawa sang dokter muda putus asa dan memutuskan untuk membunuh diri melalui suntikan mematikan.
"Hasil visum dokter tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik dialami korban. Tidak dilakukan autopsi karena permintaan pihak keluarga agar jenazah bisa dibawa pulang segera untuk dimakamkan," kata Kompol Agus, dari Polsek Gajahmungkur Semarang, Minggu (18/8).
Polisi juga masih menyelidiki dugaan korban melakukan bunuh diri. Namun, proses penyelidikan belum dapat memastikan karena minim data serta informasi dari saksi dan barang bukti di tempat kejadian perkara (TKP).
Sudah tentu sulit mendapatkan tanda kekerasan fisik yang dialami oleh korban. Pada Senin (12/8) lalu, diketahui, Aulia Risma Lestari meninggal setelah menyuntik dirinya dengan obat bius jenis Roculax.
Sementara itu, Dokter Moumita Debnath terkenal sering membantu para juniornya. Malam terakhirnya ia selesaikan dengan memberikan bimbingan para juniornya dan makan malam yang sangat terlambat pada Jumat (09/08) pukul 02.00 pagi.
Setelah itu, ia merebahkan dirinya di suatu ruang seminar di Rumah Sakit RG Kar Medical College. Dokter di sana tidak memiliki tempat khusus untuk beristirahat sehingga biasanya para dokter rumah sakit tidur di tempat mana mereka merasa nyaman. Saat ia memejamkan matanya, itulah saat terakhir Dokter Moumita merasakan kepuasan setelah menyelesaikan tugasnya yang berat seharian.
Pagi buta, seorang asisten penyelia (Assistant Superintendent) dari Rumah Sakit RG Kar Medical College menghubungi keluarga Dokter Moumita dan memberitahukan bahwa putri mereka telah meninggal dunia akibat bunuh diri. Orang tua dan saudara-saudara sang dokter segera berbondong ke rumah sakit di sana.
Namun, selama tiga jam mereka diminta menunggu untuk dapat mengindentifikasikan tubuh kesayangan mereka. Saat mereka diizinkan untuk mendapatkan jenazah sang putri, mereka menemukan bahwa putri mereka tergeletak dengan kaki terentang dan alih-alih berada di dalam ruangan seminar, tubuh sang putri dipindahkan ke ruang lain di seberang ruang seminar.
Ruang lain itu adalah ruangan yang sedang dalam proses pembangunan dan putri mereka tergeletak telanjang dalam kondisi tewas.
Keluarga Dokter Moumita adalah keluarga sederhana tetapi mereka menyetujui untuk mengadakan otopsi atas jenazah putri mereka karena mereka tidak percaya bahwa putri mereka bunuh diri.
Dari hasil otopsi ditemukan rincian yang mengerikan: tulang panggul Dokter Moumita patah pada pangkalnya, matanya berdarah-darah karena kacamatanya pecah memasuki soket penglihatannya, bibirnya memar dan pada lehernya terlihat memar merah bekas jeratan tali, dan dari tubuhnya ditemukan 150 gram air mani.
Menurut perhitungan, saat seorang laki-laki ejakulasi ia akan mengeluarkan sekitar 15 gram air mani. Dengan jumlah sebanyak itu, diperkirakan Dokter Moumita diperkosa oleh lebih dari 10 orang. Kesimpulannya sang dokter diperkosa beramai-ramai dan dibunuh oleh para pemerkosanya.
Masalahnya setelah jenazah dipindahkan ke kamar mayat, pembangunan ruangan diteruskan. Dan jawaban dari pihak rumah sakit yang sembrono telah menyulut kemarahan berbagai pihak terutama keluarga Dr Moumita.
Kabar tragedi ini meledak di kalangan kedokteran India dan bahkan merambah keluar dari sektor medis dan bergelombang melampaui apa yang bisa dibayangkan. Perilaku ceroboh dari rumah sakit tempat mendiang bekerja, serta lambatnya proses keadilan terhadap pemerkosa di India menjadikan kasus di Kolkata ini mencetuskan amarah orang banyak.
Massa turun ke jalan di berbagai kota. Tagar #JusticeForMoumita dan #MoumitaDebnath menjadi trending topic selama berhari-hari. Dua fans klub sepak bola, yang selama seratus tahun terakhir bermusuhan sampai berkelahi berdarah-darah, secara mengejutkan bersatu padu demi meminta keadilan bagi Sang Dokter.
Kondisi kemarahan rakyat semakin tersulut karena Mamata Banerjee, Chief Minister (Menteri Utama) dari negara bagian Bengal Barat tempat kejadian perkara mengatakan, “Dia (Dr Moumita-red) tidak akan pernah kembali. Apabila anda semua ingin melakukan protes atas namanya, silakan lakukan saja. Kami akan memberikan ganti rugi setidaknya 10 lakhs sebagai kompensasi (atas kematiannya).”
10 lakhs berada pada kitaran Rp205.350.000 dan hal itu menjadikan para aktivitis perempuan tersinggung seakan-akan nyawa manusia bisa dinilai dengan suatu harga.
Dokter-dokter senior perempuan turun ke jalan dan dengan berapi-api meminta pertanggungjawaban dari para pengambil keputusan, baik dari pihak rumah sakit mau pun dari kepolisian. Sementara polisi langsung diperintahkan berjaga-jaga mengelilingi rumah sakit tempat terjadinya peristiwa keji tadi.
Untuk meredakan suasana, rumah sakit menyerahkan rekaman CCTV kepada kepolisian. Dari sana diketahui seorang tenaga sukarela di kepolisian setempat memasuki ruang seminar bersama beberapa orang, diperkirakan ada 20 orang. Namun, penangkapan ini tidak menyurutkan kemarahan warga India yang bahkan semakin menjadi-jadi.
Pada 13 Agustus, sekitar 4 hari setelah kematian Dr Moumita, protes semakin meningkat dengan turunnya 8.000 dokter yang bekerja di institusi pemerintahan pada negara bagian Maharashtra, termasuk Mumbai. Para dokter menghentikan layanan mereka di semua departemen rumah sakit kecuali instalasi gawat darurat (IGD).
Di New Delhi para dokter muda menggunakan jas putih mereka di luar rumah sakit negara. Protes merambat sampai Lucknow dan Goa termasuk di rumah sakit RG Kar Medical College and Hospital.
Akan tetapi, pemerintah pusat India tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan massa yang marah. Banyak pihak masyarakat yang menyatakan bahwa kejadian yang menimpa Dr Moumita ini menekankan betapa perempuan di India terus menerus menderita kekerasan seksual walau pun ada peraturan perundang-undangan yang lebih keras menghukum para pemerkosa.
Hukuman di dalam peraturan perundang-undangan terhadap pemerkosa diperberat, utamanya setelah terjadinya pemerkosaan di atas bus yang melibatkan sekitar 6 orang terhadap seorang mahasiswi di New Delhi.
Dari kejadian yang terjadi di kedua negara yang berbeda ini, maka dapat diambil kesimpulan sementara bahwa kekuatan masyarakat adalah pendorong berjalannya proses penegakan hukum.
Kasus di Indonesia dan India menjadi perhatian nasional setelah kabar ini viral di media sosial. Institusi-institusi tempat para korban studi dan bekerja, baik tempat pendidikan Semarang mau pun rumah sakit di Bengal Barat, menyatakan mereka tidak percaya kabar berita yang beredar di masyarakat. Di Bengal Barat bahkan beredar video yang diduga palsu dimana seakan-akan Dr Moumita sempat merekam dirinya sendiri sebelum bunuh diri.
Perbedaan menyolok dari kedua kasus ini adalah di Indonesia tidak terjadi gerakan nasional turun ke jalan untuk meminta keadilan bagi Dr Aulia. Polisi di Semarang bisa disebutkan dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu membela diri.
Sedikit persamaannya adalah kasus di Semarang dan Bengal Barat ini awalnya meledak di antara para penggiat di media sosial sehingga kemarahan dan keriuhan masyarakat pada level nasional menyapu di dunia maya. Tetapi di dunia riil, seperti pada daerah Semarang dan Tegal, tempat dimana Dr Aulia berkarya, para warga setempat manut dan mengikuti alur prosesi kejadian. Keluarganya pun terlihat sabar dan pasrah.
Berbeda dengan di India, dimana ribuan orang di berbagai kota turun ke jalan sampai pihak kepolisian berada pada posisi defensif dan mengambil strategi untuk menertibkan massa yang dianggap menimbulkan kericuhan, terlebih lagi setelah pihak demonstran turun ke jalan tanpa memandang waktu, yakni pada malam hari. Utamanya saat kremasi jenazah Dr Moumita yang menurut kabar dipaksakan oleh pihak kepolisian untuk dilaksanakan pada saat matahari sudah terbenam.
Keluarga Dr Moumita juga berada di pusat pusaran kemurkaan masyarakat dalam meminta keadilan bagi putri mereka.
Asosiasi profesi kedokteran India, yakni India Medical Association, menyatakan akan mogok selama 24 jam di semua jajaran rumah sakit pada tanggal 17 Agustus 2024. Ikut dalam demo ini adalah semua fakultas kedokteran di seluruh negara-negara bagian India. Perkecualian hanya terjadi pada jasa rumah sakit pada IGD dan bangsal-bangsal penyakit berat. Namun demikian semua poliklinik rawat jalan serta operasi yang dapat dijadwalkan ulang semuanya dihentikan.
Di luar perbandingan dari kedua kasus ini, sebetulnya yang sangat mengemuka adalah fakta betapa perempuan berada dalam kondisi yang sangat rentan baik di tingkat pendidikan mau pun kondisi bekerja.
Kekerasan yang terjadi tidak hanya terbatas terhadap fisik. Nyatanya kekerasan verbal mampu membuat semangat manusia menjadi surut dan karenanya membuat yang bersangkutan mengambil keputusan tragis. Kekerasan terhadap fisik atau tubuh manusia memiliki dampak yang langsung dapat dilihat.
Baik kekerasan verbal mau pun kekerasan fisik keduanya menghasilkan kondisi yang tragis yaitu kematian. Semua ini semakin diperberat dengan kenyataan bahwa upaya untuk menghasilkan seorang tenaga ahli profesional bidang kedokteran adalah usaha yang sangat mahal dan memakan waktu yang cukup panjang.
Korban berupa dua orang wanita muda tewas itu berprofesi dokter yang meninggalkan rekam jejak bagus dan mampu berkerja dengan sangat baik.
Dokter Aulia selama menjalani masa studinya dikenal sebagai seorang mahasiswa berprestasi dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) hampir sempurna yaitu 3.9 dan meraih status cumlaude dari Universitas Islam Sultan Agung.
Sementara Dokter Moumita terkenal sebagai peneliti, dan penerima berbagai penghargaan serta seorang pengajar. Ia sangat dihormati karena berbagai upaya bimbingan serta praktek kedokterannya bagi dokter-dokter junior.
Yang semakin membuat semua ini sebagai suatu kondisi yang membuat darah mendidih adalah bahwa keduanya mengalami kekerasan dan kejahatan dalam suatu lingkungan yang seharusnya aman dan memberikan pelrindungan bagi mereka.
Keduanya dipersekusi di area institusi pendidikan mereka dan tempat mereka bekerja.
Pertanyaan yang diajukan oleh anggota masyarakat adalah apabila institusi pendidikan dan tempat bekerja tidak bisa memberikan rasa aman dan keadilan serta kesejahteraan bagi wanita, lalu bagaimana dengan pertanggungjawaban para pimpinan di tempat-tempat tersebut? Apa yang harus mereka lakukan untuk menjamin rasa keadilan dan memberikan perlindungan dan rasa aman bagi para pekerjanya?
Apa yang perlu dilakukan oleh pihak legislator dan para penegak hukum serta para pemegang keputusan di institusi kesehatan?
Tentunya para pihak harus melakukan tindakan yang layak dan pantas untuk memastikan kematian korban kejahatan tidak sia-sia.
Yang bisa dilakukan oleh para warga masyarakat adalah meminta keadilan ditegakkan dan dilakukan karena mereka harusnya menyadari bahwa anak, saudari, sahabat serta kolega mereka berada pada posisi yang rentan.
Keadilan seharusnya juga harus diberikan bagi semua orang, tidak hanya bagi para dokter tetapi juga bagi para wanita biasa yang lakukan kegiatan studi dan bekerja pada berbagai sektor.
Berhubung ini adalah kasus-kasus yang masih berjalan, tulisan ini tidak membuat kesimpulan mau pun rekomendasi. Sebagai warga masyarakat kita berharap sebaiknya Republik Indonesia menjamin keamanan dan kesejahteraan semua warganya sesuai dengan amanat Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ulang tahunnya baru kita rayakan.
Juni Soehardjo Adalah Seorang Ahli Pers Dewan Pers, Ahli Hukum Pers, Teknologi Informasi Dan Telekomunikasi, Peneliti, Lulusan Sekolah Kajian Global Dan Strategis Universitas Indonesia, Penjelajah Dunia, Serta Pencinta Kucing.
- Menata Impian Lolos Sekolah Kedinasan Dan TNI-POLRI
- Bakesbangpol Blora Gelar Peningkatan Kapasitas Perkumpulan Bhakti Praja
- Siap Sukseskan Peringatan May Day 2025, Pemkab Tegal Siapkan Sejumlah Acara