Saatnya Reformasi Penegakan Hukum Maritim!

Peran Strategis PPNS Dengan Penegakan Hukum Berbasis SIG Dan Pengintaian Udara
Ilustrasi Penegakan Hukum Berbasis SIG Dan Integritas
Ilustrasi Penegakan Hukum Berbasis SIG Dan Integritas

Tulisan ini dibuat dalam rangka mendukung Presiden dalam mengejar koruptor sampai ke Antartika.

Praktik pemasangan pagar laut secara ilegal di kawasan pesisir Tangerang, Banten, dan Bekasi telah membuka luka lama dalam tata kelola ruang pesisir Indonesia.

Dengan dalih kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) di atas wilayah laut yang semestinya milik publik, aktor-aktor tertentu mengubah garis pantai menjadi properti privat. Mereka menghalangi akses nelayan, merusak ekosistem, dan melecehkan kedaulatan negara atas ruang laut.

Ironisnya, alih-alih ditindak tegas dengan pendekatan lintas sektor dan pidana khusus, kasus ini justru dikerdilkan menjadi persoalan administratif dan pemalsuan dokumen.

Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) hanya menjerat perangkat desa dengan tuduhan pemalsuan tanda tangan.

Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) menyatakan kekecewaannya terhadap pendekatan sempit ini dan menilai bahwa indikasi korupsi, gratifikasi, dan penyalahgunaan kewenangan dalam rantai birokrasi pertanahan sangat mungkin terjadi.

Tak heran, Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) menolak berkas perkara dan mengembalikannya ke Mabes Polri dengan catatan penting: penyidik diminta menelusuri potensi pelanggaran pidana yang lebih besar, terutama jika ada kolusi antara oknum pejabat, pengusaha properti, dan birokrat lokal.

Di titik inilah, pertanyaan kritis muncul: di mana posisi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam kasus ini? 

PPNS: Garda Terdepan Yang Terlupakan

PPNS adalah ujung tombak penegakan hukum administratif dan teknis di kementerian dan lembaga sektor, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP).

Namun dalam banyak kasus, PPNS kerap tersingkir dari proses penyidikan besar.

Lemahnya koordinasi antar lembaga, tarik-menarik kewenangan, dan budaya wait and see membuat PPNS hanya dilibatkan ketika masalah sudah membesar. Padahal, PPNS memiliki pengetahuan teknis lapangan, akses langsung terhadap sistem administrasi sektor, serta kemampuan menyusun berita acara yang sah secara hukum.

Jika PPNS dari KKP dan KPLP sejak awal terlibat, maka pemasangan pagar laut - yang jelas melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut - dapat dicegah dan ditindak jauh lebih awal.

Terlebih, wilayah laut bukanlah domain properti privat. Tidak ada SHM atau SHGB yang sah di atas air laut tanpa izin lokasi dan zonasi yang sesuai.

SIG dan Pengawasan Udara: Bukti yang Tak Terbantahkan

Dalam era digital, penegakan hukum tidak boleh bergantung semata pada pengakuan dan dokumen. Bukti visual dan data spasial kini menjadi kunci. Teknologi Sistem Informasi Geospasial (SIG) - atau biasa disebut GIS (Geographic Information System) dalam bahasa Inggris - menjadi alat yang sangat efektif untuk mendeteksi, merekam, dan memverifikasi pelanggaran ruang di wilayah laut dan pesisir.

Citra satelit resolusi tinggi dan drone udara dapat menunjukkan waktu pemasangan pagar, posisi koordinat yang melanggar batas ruang laut, hingga aktivitas ekonomi ilegal di atasnya. Data ini kemudian dapat diintegrasikan dalam SIG untuk:

  • Analisis perbandingan historis, yaitu melihat kapan wilayah tertentu berubah status dan fungsi;
  • Overlay tumpang tindih izin dan kepemilikan, untuk membuktikan adanya ketidaksesuaian antara peta legal dan kondisi faktual di lapangan;
  • Model spasial prediktif, untuk mendeteksi wilayah rawan perampasan ruang laut di masa depan.

Dengan SIG, aparat penegak hukum tidak perlu lagi menunggu laporan manual atau pengakuan pelaku. Bukti spasial bersifat objektif, dapat diuji di pengadilan, dan menjadi dasar kuat untuk penyidikan terpadu lintas instansi.

Integrasi Data Dan Keadilan Spasial

Apa yang terjadi di pesisir Tangerang dan Bekasi bukan hanya persoalan hukum, melainkan krisis keadilan spasial. Ruang hidup nelayan tergantikan oleh tembok beton. Ekosistem rusak akibat reklamasi tak berizin.

Negara seolah absen ketika rakyat kehilangan akses pada ruang publiknya.

Karena itu, perlu integrasi antara SIG, basis data pertanahan, dan sistem perizinan online agar PPNS dapat bekerja dengan cepat, akurat, dan transparan. Dalam jangka panjang, Indonesia perlu membangun Pusat Informasi Laut Nasional - semacam dashboard nasional spasial yang memperlihatkan status izin, aktivitas ekonomi, dan pengawasan hukum di seluruh wilayah perairan kita. Semua ini harus terbuka untuk publik.

Saatnya Reformasi Penegakan Hukum Maritim

Kasus pagar laut ilegal adalah panggilan untuk mereformasi sistem penegakan hukum maritim di Indonesia. PPNS harus diberikan ruang yang setara dalam penyidikan. Koordinasi antar aparat, termasuk Polri, Kejagung, dan lembaga teknis, harus berbasis keahlian, bukan ego sektoral.

Opini Tommy Tamtomo sebelumnya dapat dibaca pada tautan berikut:

Drama Pagar Laut Ilegal: Terpantau Di Langit, Terhalang Di Darat

Pengawasan udara dan SIG bukan sekadar teknologi. Ia adalah jendela transparansi dan alat keadilan. Dengan memadukan data spasial, penyidikan lintas sektor, dan integritas aparat, kita bisa melindungi laut kita dari privatisasi yang serakah dan merugikan bangsa.

Karena laut bukan milik pemilik modal. Laut adalah napas kehidupan rakyat Indonesia.

*) Tommy Tamtomo, Vice Chairman, Pusat Studi Air Power Indonesia