Drama Pagar Laut Ilegal: Terpantau Di Langit, Terhalang Di Darat

Ilustrasi Penyatuan Penegakan Hukum Spasial Mulai Dari Satelit, Radar Satelit, Aerial Surveillance Oleh PPNS Dan PolAirud. Dokumentai
Ilustrasi Penyatuan Penegakan Hukum Spasial Mulai Dari Satelit, Radar Satelit, Aerial Surveillance Oleh PPNS Dan PolAirud. Dokumentai

Pesisir utara Jawa, dari Tangerang sampai Banten, juga di pesisir  Bekasi, menyimpan ironi dalam penegakan hukum tata ruang.

Sepanjang lebih dari 31 km, pagar laut bambu ilegal berdiri tanpa izin, tanpa Amdal, dan tanpa konsultasi publik. Pagar ini membatasi nelayan tradisional, mengganggu ekosistem mangrove, dan membuka jalan bagi reklamasi liar, tambak industri ilegal, hingga perampasan ruang pantai.

Temuan ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi penyidikan struktural. Namun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan proses hukumnya. Menteri ATR/BPN perlu klarifikasi soal apakah  kasus cukup berhenti di tangan kepala desa Kohod. Fakta ini bisa melemahkan upaya penegakan hukum, tapi juga mengabaikan kerja keras lintas sektor, khususnya PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) antar Lembaga & Kementerian yang telah mengumpulkan bukti spasial melalui teknologi pengawasan udara.

Sementara Darat Tertahan Oleh Tarik-Menarik Birokrasi Dan Politik, Langit Mencatat Segalanya.

Air Surveillance (pengamatan udara) berbasis drone, satelit optik, radar, dan sensor maritim mendeteksi instalasi bambu ilegal, termasuk upaya pencabutan diam-diam di malam hari atau saat hari libur nasional. Citra udara bukan hanya bukti visual yang sahih, tetapi juga alat untuk memetakan rantai distribusi material, identifikasi aktor dominan, dan analisis perubahan garis pantai.

Kolaborasi antara PPNS, Polairud, dan sistem pemantauan udara ini seharusnya membentuk task force lintas sektor yang menjamin kehadiran negara di darat, laut, dan udara.

Polairud dan Satpol PP, seharusnya mengambil posisi taktis saat pencabutan, penyegelan dan patroli lanjutan, sementara PPNS dari sektor Lembaga dan Kementerian lingkungan, kelautan, dan tata ruang menyusun berkas perkara hingga ke tingkat struktural sampai ke level menteri sekalipun.

Namun Sistem Ini Terbentur Tembok Politik

Bukti visual yang seharusnya bisa menyeret aktor elite justru diabaikan. PPNS tidak diberi ruang untuk menindak lanjut. Padahal, secara hukum, PPNS memiliki wewenang memproses pejabat tinggi bila ditemukan keterlibatan langsung maupun tidak langsung.

Kami merekomendasikan pembentukan mekanisme pengawasan pesisir berbasis spasial yang real-time, dengan dashboard terintegrasi, standar bukti visual hukum, dan tim terpadu lintas kementerian. Selain itu, perlu revisi regulasi tentang struktur semi permanen ilegal seperti pagar bambu, agar tak terus mengambang secara hukum.

Langit telah menjadi saksi. Data sudah tersedia. Pertanyaannya, apakah lembaga negara siap bertindak? Jika tidak, maka ini bukan lagi soal pagar bambu - melainkan pagar kuasa yang membatasi keadilan ekologis dan keberlanjutan ruang hidup masyarakat pesisir.

*) Tommy Tamtomo - Peneliti Pusat Studi Air Power Indonesia