Dunia, kehidupan, hari -hari ini sepertinya tidak sedang baik-baik saja. Bahasa orang awam, semrawut. Tidak jelas pakem, langgam dan tak beraturan. Itu terjadi di semua lini kehidupan. Simak saja, di tempat paling suci, profesi paling mulia, apalagi di keseharian angkara murka merajalela. Kultus, menghamba pada kebendaan (material bukan spiritual) menjadi realitas yang tak bisa dipungkiri. (Hampir) semua dapat dibeli. Money talk (uang pemilik kuasa). Artinya, (ibadah) agama, berbuat baik menjadi semakin langka. Bukankah kita semua merasakan itu (kesemrawutan).
- Si Melon Masih Bikin Gaduh, Politisi PDIP Desak Operasi Pasar
- Ultimatum Prabowo, Sinyal Kabinet Merah Putih Tak Becus?
- Gaungkan 'Berjuang Tiada Akhir', Ahmad Sriyadi : Banjarnegara Dukung Penuh Program Presiden
Baca Juga
Lihat saja potret kehidupan keseharian di sekeliling ini. Terasa sekali makin pengap, gelap, berbau (busuk), bukan lagi primus inter pares. Karena yang berlaku adalah hukum rimba, siapa yang kuasa, siapa yang kuat, merekalah yang menang.Asu gedhe menag kerahe, yang kaya tambah kaya, yang miskin bertambah miskin. Persis lirik lagu Raja Dangdut Rhoma Irama.
Meski tidak lantas menjadi justifikasi secara general, namun dunia ini penuh sandiwara. Betapa tidak, Petruk dadi Ratu, kita dipimpin bukan atas dasar merit system, tetapi maju tak gentar membela yang bayar.Jangan harap orang miskin, orang pinter beroleh tempat menjadi pejabat publik, seperti bupati, walikota, gubernur bahkan juga presiden. Politisi-politisi, wakil kita di legislatif tak luput lahir dari rahim yang sama, uang. 'Yak ona uwik, yak obos' tidak ada uang tidak ada suara (tidak dicoblos).
Memijakkan pada narasi di atas, untuk menjadi pelipur lara, ada nukilan menarik sebuah dialog kecil di Poskamling. Sembari jaga malam, dan menikmati penganan serta seduhan kopi dialog ngalor-ngidul (tak jelas topiknya) mencuat. Tiba-tiba muncul celetukan, mengomentari juga menyikapi suasana kebangsaan hari-hari ini. Menurut Paidul, sebut saja begitu, apa pun masih enak era atau zaman Pak Harto. (Poskamlingnya di perumahan berkelas, maka topiknya seru!).
Sambil meledek berbagai keganjilan yang mengemuka, sebut pagar laut di PIK, guru agama wanita ‘memerkosa’ muridnya di Grobogan, Polisi menembak Pelajar di Semarang, dan ironisnya ada oknum wartawan terlibat merekayasa fakta untuk pemberitaan, tragis lagi sang wartawan adalah termasuk senior dari media cukup berpengaruh, yakni CNN Indonesia. Alhamdulillah manajemen CNN 'tidak sare' akhirnya memberhentikan si wartawan atas sikap lancungnya itu.
Fenomena-fenomena ganjil itu jadi legacy yang membuat Paidul berani berseloroh, ‘’Izin enak zamanku, to?!’’, begitu celetuknya satire atas kondisi yang ada. Teman ronda, Paidul merespon pernyataan itu, sebut Marjo menjawab singkat, ‘’Grak-grek kabeh,’’ begitu timpanya. Grak-grek yang dimaksud Marjo menggambar realitas yang sungsang, di mana kepatutan dan kelaziman tidak lagi dipatuhi sebagai sebuah pranata.
Paidul kembali ngoceh soal pajak naik jadi 12 persen, kemudian aplikator Ojol merampok driver Ojek 30 persen, juga kasus-kasus lain, seperti hukum yang tak berkeadilan. ‘’Bayangkan korupsi 300 Trilyun, ya 300 Trilyun hanya diganjar atau diputus hukuman hanya, ya hanya enam tahun penjara”.
‘’Nuwun sewu ya, ini hakimnya edan, edan tenan,’’ucapnya kethus, tak habis pikir.
Sebelumnya masih soal hukum ada kasus Ronald Tanur yang jelas-jelas melakukan ‘pembunuhan’ sadis, dan tragis melindas pacarnya lha kok dibebaskan.
‘’Kuwi hakim, maaf ya, apa tidak punya hati ya?? Lha kok bisa-bisanya fakta hukum direkayasa sedemikian rupa hanya untuk mendapatkan uang. Benar-benar zaman edan,’’keluh Marjo menimpali. Mereka kuliah di mana dulu, siapa dosen, atau gurunya. ''Pantas mereka jadi hakim karena jalan pintas, membeli, bayar, grak grek,''tambah Marjo makin ngelantur.
Buntut dari kasus putusan atas Ronald Tanur menguarkan kejutan baru. Adalah Zarof Ricar, dia mantan pegawai Mahkamah Agung yang menjadi perantara suap di Mahkamah tersebut. Gile bener, hampir satu triliun uang cash ditemukan di rumahnya saat digeledah penyidik.
Belum lepas dari nestapa berupa-rupa kasus yang mendera kejutan lain datang membuat dahit berkerut. Berita terbaru kasus pagar laut di PIK, pagar itu sudah dibongkar, tetapi siapa biangnya belum terungkap, belum dibongkar. Mestinya, logika sederhana tidak perlu pakai investigasi, dan penelitian ‘njlimet’ mengungkapnya semudah membalik telapak tangan.
Tetapi pengusutan ‘mbulet’ berputar-putar seperti dagelan yang tak bermutu. ‘’Kok ya tega, kok ya bisa ada sandiwara tanpa skenario? Ya, begilah kalau sudah dibungkam uang, seperti kasus Ronald Tanur, Harvey Muis, atau kasus Sekjen PDI Perjuangan, byuuuh byuuuh,’’ gerutu Marjo sembari garuk-garuk kepala meski tak gagal.
Ya, negeri ini kok makin bikin bingung rakyatnya sendiri. ‘’Ayo kita berkirim surat ke Pak Presiden Prabowo saja, daripada lapor-lapor ke sana-kemari malah tambah semrawut. Lha, bagaimana tidak, tidak ada uang, laporan nggak bakalan digubris,’’celoteh Paidul sambil rautnya terlihat kecut karena hopeless, alias pasrah.
Niatan mau bersurat ke Pak Presiden Prabowo jadi maju mundur, tapi dia ingat nasehat Pak Kyai saat mengikut pengajian di Masjid, ‘’Hidup itu perjuangan, harus berani. Sampaikan kebenaran itu, walau satu ayat,’’ kata kata itu menyemangatinya.
Akhirnya niat jadi bulat dan mantap akan bersurat ke Pak Presiden Prabowo. Paidul dan Marjo yakin Presiden akan merespon. Tapi bagaimana caranya berkirim surat ke Pak Presiden, rupanya Paidul dan Marjo masih bingung caranya.
‘’Saya ada cara!,’’tiba-tiba Paidul jenggirat berteriak. ‘’Tanya ke Mbah Google, jadi kita tidak perlu pusing-pusing lagi,’’selorohnya.
Benar saja, singkat cerita, surat ke Pak Presiden Prabowo dikirim via Pos Kilat. Kepadanya jelas, yakni Bapak Presiden Republik Indonesia ke-8 Prabowo Subiyanto.
Berupa-rupa curhatan dicurahkan semua, mulai dari kekecewaan karena calon Kepala Daerah yang didukung tidak terpilih, soal layanan rumah sakit dan kendala BPPJS, keluhan mengurus KTP yang dipersulit petugas, pajak naik, ada polisi nakal di jalan, sampai kasus besar yang membuat heboh negeri ini, yakni pemecatan Shin Tae Yong.
Terakhir Paidun dan Marjo memberanikan diri menyampaikan usul agar bangsa ini diruwat. ‘’Pak Prabowo, menopo Gusti Mboten priso nggih, si A, si B dll yang dinilai tidak pantas menjadi Bupati, Walikota dan Gubernur, tapi kok bisa jadi? Lha mereka yang baik dan berprestasi malah tidak terpilih, padahal juga sudah membayar petinggi Partai Politik, jumlahnya bermiliar-miliar lagi.Dia menyebut tragedi politik seperti itu di Kota Salatiga dan Kota Magelang. Pripun niku, bagaimana Pak Prabowo, kulo (saya) bingung,’’begitu penutup surat yang dikirm kepada Pak Presiden Prabowo. Tabik!.
Jayanto Arus Adi adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Aktif di Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) - Konstituen Dewan Pers dan duduk sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan. Memimpin MOJO (Mobile Jurnalis Indonesia), organisasi yang menaungi penggiat media berbasis Android. Melola RMOL Jateng, Media Online yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum dan Redaksi. Aktif juga di Satu Pena, Organisasi Penulis yang didirikan Deny Januar Ali. Mengajar Jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Di antara aktivitas tersebut aktif menjadi konsultan politik dan media. (***)
- Si Melon Masih Bikin Gaduh, Politisi PDIP Desak Operasi Pasar
- Ultimatum Prabowo, Sinyal Kabinet Merah Putih Tak Becus?
- Gaungkan 'Berjuang Tiada Akhir', Ahmad Sriyadi : Banjarnegara Dukung Penuh Program Presiden