Assalamualaikum Amien Rais

Catatan saya ini lebih merupakan luapan uneg-uneg yang berkecamuk dalam kurun waktu cukup panjang. Jujur saja, saya saya termasuk pengagum dari Prof Dr Amien Rais. Sejak mahasiswa dan aktif di Pers Mahasiswa, mantan Ketua Umum Muhamadiyah ini menjadi figur idola saya. Dalam beberapa kesempatan, seperti ketika menjadi pembicara di Undip atau di Semarang saya sempatkan hadir.


Kiprah beliau menurut saya ketika itu luar biasa. Ya, sebagai akademisi yang punya concern tentang masalah-masalah Timur Tengah, Amien Rais adalah pakar yang mumpuni dan langka. Kiprahnya menjadi semakin hegemonik, ketika menjadi tokoh Muhammadiyah, hingga duduk sebagai Ketua Umum PP Muhamadiyah. Amien Rais adalah akademisi sekaligus cendekiawan muslim yang menjadi  media darling bagi wartawan.

Pandangannnya luas, kritiknya yang tajam, dan obyektif tak pelak menjadi tokoh sentral di republik ini. Saya masih ingat pengalaman menjadi wartawan baru mewawancarai Amien Rais di kantornya, dulu PPsM (Pusat Studi Pemberdayaan Swadaya Masyarakat) di kawasan Bulak Sumur UGM menjadi tempat yang tidak pernah sepi. Untuk wawancara harus antre dan kesempatan itu tidak gampang. Kebiasaan yang masih tergiang segara diingatkan, wawancara dengan Amien Rasis sifatnya monolog. Wartawan dipersilakan bertanya, setelah itu tape recorder diambil, dan Amien Rais menjawab sekaligus menjelaskan dalam berbagai perspektif. Semua itu maklum karena kesibukannya memang luar biasa.

Aktivitas dosen Fisipol UGM ini, seperti segendang sepenarian dengan Rektor UGM yang ketika itu dijabat Prof Dr Kusnadi Hardjo Sumantri. Prof Kus, begitu sang rektor ini akrab disapa adalah motor gerakan prodemokrasi kala itu, dan menjadi rujukan gerakan civiel society. Demo-demo mahasiswa UGM tak jarang Prof Kus turun langsung, bahkan pernah suatu waktu memimpin long march dari Bulak Sumur ke Kantor DPRD.

Langkah duo UGM, Amien Rais dan Prof Kusnadi adalah ikon fenomenal yang memberi energi gerakan prodem di tanah air. Saya masih ingat Demo Flower of Power yang digelar di kawasan Bulak Sumur menjadi momentum yang menyejarah. Ada mahasiswa yang sekarang menjadi pengamat politik, yaknni Rizal Mallaranggeng, dan mahasiwa filsafat UGM Taufik Rahzen. Bulak Sumur menjadi semacam simpul bagi asembly meeting aktivis mahasiswa. Kantor Redaksi Majalah Mahasiswa UGM Balairung ibaratnya kawah Candradimuka yang mempertermukan sejumlah aktivis. Mahasiwa dari Solo dan Semarang bersatu menjadi Poros Joglosemar. Ditambah lagi ada mahasiwa dari UKSW Salatiga yang tergabung di Yayasan Geni.

Aktivits mahasiswa dari Yayasan Geni Salatiga, yang dimotori Yosef Adiprasetyo �" sekarang Ketua Dewan Pers berelasi dekat dengan aktivis Poros Joglosemar. Salatiga dengan UKSW-nya ketika itu menjadi oase yang lain bagi dunia pergerakan. Duo tokoh di UKSW, Arief Budiman dan Ariel Haryanto menjadi semacam mentor aktivitas para mahasiswa.

Ya, situasi bertumbuh seiring rezim Orde Baru malang melintang. Kiprah Amien tentu didukung atau setidaknya terus berelasi dengan sejumlah elemen pergerakan terus menasional. Gerakan reformasi adalah panggung nyata yang mentahbiskan ketokohan Amien Rais. Melalui Partai yang diinisasinya, yakni PAN langsung menjadi lokomotif perubahan.

Meski sebagai tokoh utama di Muhamadiyah Amien Rais meracik PAN begitu plural. PAN yang berawal dari Majelis Amanat Rakyat atau MARA didirikan 14 Mei 1998 adalah exercise politik awal Amien Rais. MARA menjadi manifestasi untuk memperjuangkan keadilan dan demokrasi di Indonesia. Sejumlah tokoh lintas agama, suku dan ras ikut aktif di sini.

Anggota MARA terdiri dari 49 orang termasuk beberapa mantan pejabat pemerintahan era itu, antara lain Goenawan Mohammad, Emil Salim, Jend.Purn.Rudini, Arifin Panigoro, Frans Seda, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid, Ong Hok Ham, Faisal Basri,dan masih banyak yang lainnya. Keikutsertaan sejumlah tokoh dengan reputasi apik itulah di awal kelahirannya PAN begitu memagnet. Tak heran ketika dideklarisikan ribuan orang datang di Istora Senayan 23 Agustus 1998.

Diminta Mundur

Amien Rais sempat menginisiasi, membidani, dan merawat PAN. Dari partai ini juga akhirnya menghantarkannya menjadi Ketua MPR pertama pasca-reformasi. Jabatan itu menjadi karier puncak sebagai politisi. Usai menjadi orang nomor satu di MPR kiprahnya kemudian sempat meredup. Sebagai tokoh reformasi langkah dan kebijakan Amien tak luput dari sorotan bahkan dinilai kontriversial.

Langkahnya menggalang Poros Tengah dengan mengusung Gus Dur menjadi catatan sejarah. Kaum Nahdliyin sempat meradang karena dalam perjalannya Gus Dur juga lengser ketika kepemimpinan MPR berada digenggaman Amien Rais. Kontroversi itu membuat posisi Amien turun pamor.

Dia sempat tidak aktif sebagai eksekutif di partai berlambang Matahari ini. Belakangan tokoh gaek ini turun ke gelanggang lagi, menjadi penopang perjalanan Prabowo-Sandi. Manuver berikut statmennya yang keras tak luput memicu suhu politik nasional memanas. Beragam reaksi keras muncul, apalagi ada pernyataan tentang People Power dan kontrversi yang lain.

Sejumlah tokoh bahkan mendesak Amien RAsis untuk mengundurkan diri.  Dia dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dasar pendirian partai. Lima orang pendiri PAN tersebut yakni Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Goenawan Mohamad, Toeti Heraty, dan Zumrotin keras menyuarakan hal itu.

Desakan itu disampaikan melalui surat terbuka tertanggal 26 Desember 2018. Dalam surat itu, kelima pendiri PAN ini  mengatakan surat dibuat setelah memerhatikan perkembangan kehidupan politik di Indonesia.Mereka prihatin atas comebacknya Amien Rais. Apalagi sikap dan pernyataanya sudah tidak lagi mencerminkan sebagai seorang negarawan.

Sampai di sini apa yang bisa dipetik dari sebuah perhelatan politi ini ?. Ada apa dengan PAN dan bagaimana PAN ke depan. Kehadiran Amien menilik hasil survey tak lagi menjadi darah segar untuk memompa PAN. Sebaliknya suara PAN kalah mengkilap dibanding partai-partai baru, seperti Gerinda, dan Nasdem. Menutup catatan ini kiranya pas bahwa setiap tokoh ada masanya, dan setiap masa ada tokohnya. 

Jayanto Arus Adi

Pemimpin Umum RMOL Jateng, yang juga anggota Pokja Hukum Dewan Pers RI