Politik Dinasti, Nepotisme versus Profesionalisme

Reformasi telah mati. Ya, banyak kalangan berpendapat demikian. Karena apa, simak mencermati wajah reformasi kita telah sulit dikenali lagi. Bukan hanya operasi plastik, yang mempermak bagian bagian wajah itu, namun secara ekstrem ada yang menyebut reformasi kita telah bertopeng. Dengan begitu mengenai identitas, atau jatidiri reformasi sudah tidak gampang lagi.


Spirit awal reformasi adalah kritik yang kemudian dimanifestasikan menjadi sebuah gerakan untuk menumbangkan Orde Baru. Reziem Orba harus diganti karena larut dalam berbagai bentuk manipulasi. Ekonomi dikuasi beberapa gelintir aktor saja. Patronase militer terhadap kekuasan terlalu besar. Sehingga merit sistem tak berlaku, begitu pun dengan birokrasi.

Politik Orba bukan merupakan pengejawantahan daulat rakyat, tetapi menggantungkan kebijakan politik pada tokoh sentral ketika itu, yakni Soeharto. Karenanya mereka yang dekat dengan lingkaran elit (baca kekuasaan), terbentanglah kesempatan yang luas untuk mendaki sukses. Luar biasa, pola seperti itu nyaris terjadi di segala bidang.

Kontrol, dalam hal ini tangan negara melalui militer, birokrasi terasa mencengkeram sampai ke bawah. Dan itu tidak hanya terjadi di pusat, namun sampai daerah tangan tangan kekuasan dirasakan betul hegemoninya. Yang terjadi kemudian adalah aspirasi masyarakat seperti paduan suara. Apa pun yang dikehendaki dirigen, otomatis diaransemen sedemikian rupa, agar menjadi sebuah hargmoni.

Stabilitas keamanan terjaga, pertumbuhan ekonomi meningkat signifian, olah raga maju, dinamika sosial budaya sedang sedang saja, pers dan kebebasan berpendapat tersumbat, KKN terakumulasi pada kelompok elit.

Kondisi itulah yang dinilai mengekang, tidak memberikan kesempatan terbuka bagi warga negara. Formasi yang telah berjalan cukup panjang, seumur dengan perjalanan Orde Baru sudah tidak relevan lagi. Globaliasasi dan keterbukaan di belahan dunia yang lain telah terjadi. Spirit itu yang mendorong gerakan reformasi tumbuh.

Kurun waktu1998 hingga sekarang reformasi telah menapaki usia dua dasa warsa lebih. Apa yang sudah dicapai dari Orde ini? Mencermati berbagai capaian yang ada, orde ini seperti telah kehilangan jatidiri. Reformasi telah kehilangan arah. Kesempatan yang terbuka secara politik, ekonomi, sosial dan budaya mengalami distorsi yang sangat mendasar, yakni menyangkut integritas karena kualitas SDM yang cenderung luput aspek aspek ideal.

Politik kita sekarang ini terjebak pada politik kapitalistik. Maju tak gentar membela yang bayar adalah jargon paradoksal, tetapi menjadi realitas politik yang sesungguhnya. Tokoh tokoh berkualitas tersingkir karena sistem politik tidak mampu memagari melalui sistem yang memungkinkan jalur khusus bagi mereka yang memiliki potensi. Sekarang ini pemilu legislatif cenderung menyuburkan mereka yang punya uang, dan mereka yang punya massa.

Uang dan massa itu saja yang menjadi jalan mulus, atau merupakan kunci untuk duduk di legislatif. Partai lembaga paling strategis yang menjadi pintu masuk meniti jabatan politis tak pelak lagi tergiring pada situasi yang menelikung dirinya sendiri.

Ketergantungan partai pada patron yang ada terjadi tidak lepas karena pragmatisme dan primordialisme yang menopang eksistensinya. Kecenderungan inilah yang memicu lahirnya politik dinasti. Gejala ini marak karena modernisasi yang disemai menyangkut performa organisasi, dan juga manajemen kepartaian terganjal otaritas otoritas sang Patron.

Inilah yang menjadi tantangan ke depan. Apa pun dan bagaimana pun partai tidak dapat mengandalkan kekuatan patron semata. Namun profesionalisme dan modernisasi harus dilakukan. Sejarah telah membuktikan partai partai yang eksis sekadar mengandalkan patronage sang tokoh akhirnya tumbang.

Kasus yang dialami dinasti Atut di Banten adalah fakta empiris yang layak menjadi pelajaran. Karenanya politik dinasti yang dibangun dengan tujuan mengamankan kekuasaan dan melanggengkan hegemoni yang dimilikinya, pada giliranya akan menjadi bumerang sendiri.

Sebab cara cara yang ditempuh identik dengan menutup kesempatan pada calon yang lain. Kembali pada spirit dan pesan reformasi politik dinasti adalah pengkhianatan terhadap nilai nilai reforamsi. Sebab menilik kecenderungan yang terjadi sekarang, wajar  jika kemudian ada yang mengatakan, reformasi telah mati. 

Praktik KKN ala Orba kini subur kembali lewat partai partai politik melalui politik dinasti. Parpol yang notabene merupakan pilar demokrasi larut oleh ambisi sang patron. Pencalegan menjadi ajang paling rentan. Petinggi dan elit Parpol menjadi pihak yang paling sering larut dalam permainan ini.

Entah logika apa yang dipakai, ketika sebuah pencalegan menghadirkan anak, isteri, orang tua, kakak, dan temen temen untuk mendapat tiket menjadi legislator. Terlepas dari kompetensi, cara cara seperti itu kepatutannya layak dipertanyakan. Meski tidak ada aturan yang mengatur kita bisa memakai istilah Jawa terhadap fenomena ini. Ngono yo ngono ning aja koyo ngono.

Drs Jayanto Arus Adi, MM

(Anggota Pokja Hukum Dewan Pers, Pimpinan Umum RMOL Jateng)