- Pertemuan Tanpa Orgasme (Antiklimaks) Mega-Prabowo (1)
- Assalamu’alaikum Kang Dedi Mulyadi
- Mengapa Anda Jahat Pada Rakyat?
Baca Juga
Hasto Kristyanto akhirnya ditahan KPK. Drama penuh satire ini menjadi selingan di tengah hiruk-pikuk negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi ini. Drama KPK vs Hasto mengalihkan perhatian publik soal pagar laut. Politisi Partai Banteng nyaris bermunajad kolosal di sana (soal Hasto). Tidak ada wakil rakyat dari partainya wong cilik ini sedikit atensi nasib nelayan Desa Kohod.
Tidak ada juga yang tampak, atau setidaknya menjadi memberi pembelaan pada Arsin bin Sanip, sang Kepala Desa. Mantan banker bank titil yang kini tenar lantaran banyak diburu media tidak ada lagi mengasihani. Publik mulai bosan, dan bahkan mungkin muak dengan Arsin bin Sanip. Apa pasal? Ya, karena perilaku Arsin berubah begitu jadi Kades. Apalagi tetiba berlimpah harta, bahkan rumahnya warga menyebut bagai showroom motor saja.
Namun, pertanyaan mengusik dan mnenggelitik saya. Andai (untuk tidak menghakimi terlebih dahulu) berbuat lancung, seperti memalsukan data-data untuk keperluan sertifikat, itu pun toh ada yang meminta, mengorder, alias menjadi dalang. Seorang Kades sekelas Arsin tentu hil yang mustahal punya inisiatif sendiri untuk melakukan semuanya.
Kementerian Harus Tegas
Artinya ada pihak-pihak lain di atas dia (Arsin) yang terlibat, sebut saja oknum di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kabupaten Tangerang, oknum di Kanwil ATR (Agraria Dan Tata Ruang)/BPN Banteng, sampai di Kementerian (ATR/BPN). Jika demikian mengapa aparat penegak hukum (APH) seperti terpaku pada Arsin? Ingat, di awal-awal kasus ini mencuat kehebohan terjadi publik rebut dan nyaring menyebut-nyebut nama Aguan, bos atau si empu Pantai Indah Kapuk.
Bukan hanya Aguan, Kementerian (ATR/BPN) disorot tajam, era siapa-siapa, siapa Menteri yang menjabat ketika itu (saat terbit sertifikat HGB). Tak susah melakukan identifikasi forensik atas fisik sertifikat sedetail-detailnya. Tapi lagi-lagi kita dibuat geleng-geleng kepala, atau garuk-garuk kepala meski tidak gatal. Kasus ini seperti orang bercanda dengan binatang (asu atau anjing), begitu menyalak, belum menggigit sudah menjauh, atau ditinggal pergi.
Mengapa tinggal Kades dan Sekdes Kohod yang harus memikul tanggung jawab sendirian. Mengkapling dan memagari laut sepanjang 30 kilometer lebih. Alakadabra seorang tukang sulap sekali pun rasanya tidak mampu. Hebat amat Arsin Kohod (menyebut tokoh pagar laut) menjadi representasi simbolik atas kasus yang begitu mengguncang republik ini. Kalkulasi Said Didu tentang kerugian yang terjadi atas kebijakan ngawur bin ugal-ugalan ini nilainya mencapai ratusan triliun rupiah.
Hebatnya lagi, entah ini di-setting atau semata kebetulan, ketika kasus pagar laut mencapai kulminasi didih yang begitu rupa, publik seketika disaru (beralih) perhatian kasus kacangan yang tak bermutu. Sejak kemarin negeri ini seperti diterpa tsunami, televisi, media online, juga mahasiswa terlibat dalam orkestrasi yang sama, yakni penahanan Hasto Kristyanto.
Apa sih hebatnya Hasto Kristyanto,Sekretaris Jendral Partai Mocong Putih ini? Sampai-sampai putri Bung Karno, yang notabene Ketua Umum PDI Perjuangan bereaksi keras.
Saya punya penilaian berbeda atas sosok Hasto. Orang nomor dua di PDI Perjuangan ini menjadi salah satu biang riuh dan gaduhnya partai (PDI Perjuangan). Sebelum-sebelumnya ketika Tjahyo Kumolo menjadi Sekjen PDI Perjuangan adem-adem saja. Pun begitu saat Pramono Anung menggantikannya, Moncong Putih baik-baik kondusif dan raihan suaranya signifikan sebagai partai pemenang Pemilu.
Maaaf beribu maaaaf. Berbeda di tangan Hasto, tokoh yang selalu menyebut sebagai Soekarnois, tetapi bukan menjadi nasionalis yang menyatukan stakeholder-stakeholder di negeri ini. Silakan publik, khalayak ramai, melakukan diskursus atau pendalaman masing-masing. Dengan segala hormat pula, mengapa Sekjen yang begitu kontroversial dengan narasi dan ucapan-ucapannya, dijaga dipertahankan. Bukan saya bermaksud membela Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga antirasuah ini (meski di beberapa kasus banyak dipertanyakan publik) punya dasar kuat untuk memersangkakan Hasto.
Tuduhan melakukan, atau setidaknya terlibat, baik langsung mau pun tidak langsung, menyuap Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sudah divonis dan bahkan sekarang sudah keluar dari hotel prodeo adalah fakta. Saya jujur juga tidak habis pikir, mengapa pula yang terhormat Ibu Megawati Soekarno Putri membela Hasto sedemikian rupa. Ibu Mega yang terhormat, maaf dan maaf sekali lagi, menurut saya tanpa Hasto PDI Perjuangan akan baik-baik saja, atau bahkan akan lebih baik.
Karenanya instruksi menyikapi penahanan Sekjen dengan meminta Kepala Daerah yang sudah dilantik, dan ditetapkan menjadi Gubernur/Bupati/Walikota yang diminta untuk tidak mengikuti retreat di Akmil Magelang adalah kurang pas. Karena mereka (Gubernur/Bupati/Walikota) menjadi Kepala Daerah adalah pilihan rakyat. Dan yang perlu diketahui masyarakat luas, terkhusus warga Partai Banteng mereka jadi juga dipilih oleh masyarakat, sekali lagi masyarakat (rakyat) yang bukan hanya mereka yang merupakan konstituen PDI Perjuangan.
Dengan begitu pertanggungjawaban setelah menjadi kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) adalah bukan semata-mata kepada partai, tetapi kepada rakyat.
Presiden Prabowo Subianto yang sekarang menjadi Presiden adalah Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan Partai Gerindra. Karena itu instruksi Megawati adalah bentuk reaksi yang kurang tepat. Dan jika tidak kemudian dipahami sebagai sebuah langkah yang alpha, keliru, dan perlu diluruskan ke depan akan merugikan partai itu sendiri.
Kepada mereka (Gubernur/Bupati/Walikota) yang diusung PDI Perjuangan saya berharap punya kearifan, dan tetap menunaikan atau mengikuti retreat. Sikap dan keputusan anda bukan bentuk pengkhianatan apalagi menciderai amanat demokrasi, sama sekali tidak. Fatsun itu perlu disemai, dirawat, dan dikukuhkan dalam hati sanubari. Anda adalah pemimpin yang dipilih rakyat atau izin Allah SWT. Itu yang harus dijaga!
Hiruk-pikuk seperti itu yang membuat masyarakat terbelah, bingung dan berada di simpang jalan. Alih-alih menegakkan demokrasi dan supremasi hukum, kini kita seperti lupa deraan kontroversi, keganjilan dan kebijakan lancung soal pagar laut.
Membaca narasi-narasi penegakan hukum dan demokrasi di negeri ini saya menganalogikan seperti kekesalan seorang pemacing. PDI Perjuangan, yang mohon maaf, semestinya menjadi benteng demokrasi dan menjadi gantungan wong cilik perlu melakukan koreksi dan permenungan khusus.
Lihatlah bagaimana ujung dari kontroversi pagar laut. Penyelesaian kasus ini jika tidak mendapat perhatian serius dan bersungguh-sungguh penyelesaiannya akan begitu-begitu saja. Bukan kakap-kakap yang menjadi biang persoalan yang diciduk, dan dihukum, lantas di penjara. Mereka yang semestinya memikul tanggung jawab lebih justru melenggang kangkung. Penegakan hukum seperti ini tak ubahnya ikhtiar tipu-tipu. Seperti kisah pemancing yang tak kunjung mendapatkan ikan, akhirnya kesal dan pergi ke pasar membelinya. Dunia ini memang (panggung) sandiwara.
Ya, simak lirik berikut:
Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata
Atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita mainkan
Ada peran wajar
Ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Mengapa kita bersandiwara?
Salam Setengah Merdeka!!!!
Jayanto Arus Adi adalah Wartawan Senior, Ahli Pers Dewan Pers. Aktif di JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) – Konstituen Dewan Pers, duduk sebagai Ketua Bidang Pendidikan. Memimpin MOJO (Mobile Jurnalis Indonesia) yaitu organisasi yang mewadahi jurnalis berbasis android. Ikut juga bergiat di Satu Pena Indonesia, organisasi yang dipimpin Denny JA. Mengelola Media RMOLJateng, Media Online yang sangat berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpin Umum sekaligus Pemimpin Redaksi. Selain menulis aktif mengajar jurnalistik di beberapa perguruan tinggi. Kegiatan lain adalah mendalami sebagai Konsultan Media dan Politik.
- Evakuasi Korban Pendaki Hilang Di Gunung Merbabu Dilakukan Pagi Ini
- Dindagkop UKM Rembang Mulai Lakukan Sosialisasi Pembentukan Koperasi Merah Putih
- MTI Serukan Pentingnya Masterplan Untuk Integrasi Dan Keberlanjutan