Pilpres 2024, Kurusetra Penuh Tanda Tanya?!

Indonesia menatap calon pemimpin baru melalui Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang dengan penuh tanda tanya. Kalkulasi politik dibayangi pesimisme minimnya tokoh yang berlaga. Kandidatnya masih klasik Anies Baswedan misalnya, dia hadir dengan handicap dan stigma yang mengiringi, yakni kontroversi ketika mantan ketua BEM Universitas Gajah Mada itu berkompetisi dengan Ahok, alias Basuki Tjahaya Purnama (BTP) di Pilkada DKI 2017 silam.


Selain Anis Baswedan Vs Ahok ada kandiat lain, yakni Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan Sylviana Murni. Namun kontestasi itu bagi putra sulung mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tak lebih jadi ajang pemanasan atau panggung unjuk diri. Untuk diketahui Mayor Inf (Purn) masih terbilang sebagai new comer di dunia politik karena dia baru saja undur diri dari habitatnya di dunia militer. 

Karenanya wajar publik masih meragukan bukan karena kapasitasnya, namun dunia politik adalah environment yang baru. Pertarungan sesungguhnya adalah Basuki Tjahaya Purnama – Djarot Syaiful Hidyat vs Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Uno. Laga itu berakhir dengan kemenangan di pihak Anies dengan kontroversi karena Ahok terpaksa ‘dihukum’ oleh pressure publik lantaran kesleo kasus Al Maidah di Kepulauan Seribu.

Demo fenomenal  tersebut menjadi panggung buat Anies. Ikhwal itu pulalah yang kemudian menjadi stigma bagi Anies terkait politik identitas. Apalagi kala itu relasi mantan Menteri Pendidikan di era pertama Jokowi cukup dekat dengan kelompok radikal, seperti FPI dan HTI. Dua ormas yang sempat mengharu biru dunia politik Indonesia, tetapi akhirnya dibubarkan oleh Pemerintah. 

Ketika menjadi gubernur DKI Anies cenderung membangun narasi yang tak sejalan dengan kebijakan Joko Widodo, apalagi Basuki Tjahaya Purnama. Normalisasi Kali Ciliwung yang dirintis pendahulunya tak dilanjutkan. Meski secara substansi sama Anies mengintroduksikan istilah baru yakni naturalisasi. Program itu intinya menihilkan jejak yang sudah dirintis Joko Widodo dan Ahok. Buntutnya pencalonan Anies pada Kurusetra Pilpres 2024 mendatang menjadi terhadang.

Jokowi Punya Alasan

Ya, Jokowi punya alasan dan secara empirik cukup menjadi legacy terhadap langkah Anies atau ibarat seperti api jauh dari panggang. Langkah Anies sendiri penuh kontrovesi dan banyak zig zagnya. Pertama ketika periode Jokowi maju RI Satu 2014 dia menempel ketat bahkan menjadi jubirnya. Namun ketika perahu berjalan dia memilih berlabuh ke Gerindra untuk mendapat dukungan Prabowo. 

Jadilah mantan menantu tokoh Orde Baru itu menjadi mentor Anies, akhirnya sukses menempatkan duet Anies-Sandiaga mampu merebut kursi DKI Satu. Lantas apa balasan Anies, seperti banyak banyak terungkap di media sosial, dia  tidak tetarik apalagi maju di Pilpres 2024 karena pasti akan ada nama Prabowo di sana. Jejak digital itu semoga masih bisa ditrack sehingga publik dapat merawat kembali ingatannya.

Tetapi janji politik boleh jadi bukan janji sesungguh, namun tak lebih diplomasi semata. Terbukti  yang terjadi sekarang justru Anies lah yang pertama mendeklarasikan diri dengan gerbong koalisi perubahan yang dikomandani Suryo Paloh melalui dukungan Partai Nasdem, Demokrat dan PKS. Manuver itu yang kemudian menaikan tensi politik, di mata kolasisi pendukung pemerintah Nasdem dianggap tak elok beretika.

Tak heran relasi Jokowi dan Surya Paloh pun menjadi berjarak dan berkabut. Reaksi yang muncul pasca manuver koalisi perubahan Jokowi menginisiasi Koalisi Besar.  Sayang dinamika terkini yang berkembang gagasan Koalisi Besar belum mewujud secara konkret. Dua aspek yang menjadi handicap, pertama Gerindra dan PKB telah merintis Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Patron di koalisi ini tidak lain adalah sang Menhan Jokowi, yakni Prabowo Subiyanto.

Ada Koalisi Perubahan, Koalisi Kebangkitan, dan Koalisi Besar lalu di mana PDI Perjuangan berlabuh. Moncong Putih yang dipimpin puteri proklamator, Megawati Sukarnoputri menjadi satu satunya partai yang memenuhi presidential threshold. Artinya PDI Perjuangan kalau hanya sekadar pencalonan dapat mengusung sendiri, tanpa perlu berkoalisi. Tetapi ingat ini soal pencalonan, karena untuk dapat memenangi kalkulasinya berbeda ekstrem. Benar bahwa PDI Perjungan dapat mengusung calon sendiri, tetapi jika benar hanya ditopang pendukung banteng saja untuk dapat menjadi RI Satu jelas sangat berat.

PDI Perjungan Raih 19,33 Persen

Kalkulasi politiknya adalah raihan suara pada Pemilu 2019 lalu sebanyak 27.053.961 setara dengan 19,33 persen. Mengandalkan jumlah itu tanpa sokongan partai lain atau suara relawan mustahil bagi PDI Perjungan dapat menghantarkan capresnya menjadi RI Satu. Sebagai data sandingan Joko Widodo-Makruf Amin untuk menjadi RI Satu dan Dua suara yang diraih mencapai 85.607.362 atau setaara 55,50 persen. Prabowo-Sandi ketika itu mendapat 68.650.230 atau 44,50 persen.

Data di atas jika kemudian diurai lebih lanjut, maka PDI Perjungan masih butuh sekitar 50-60 juta suara. Fakta inilah yang menjadi dasar kalkulasi politik bagaimana pun PDI Perjuangan tidak dapat berjuang sendiri. Karena secara kuantitas dengan 19,33 persen tidak memadai untuk dapat merebut kursi RI Satu. 

Perlu didalami lebih lanjut adalah pada 2019 Jokowi adalah calon petahana alias incumbent. Itu pun hanya mampu meraih kemenangan dengan selisih 11 persen suara. Karena Prabwowo – Sandi berhasil mendulng 68.650.239 atau 44,50 persen suara. Fakta ini jika kemudian diaktualisasi dalam konteks sekarang, maka muncul pertanyaan apakah seorang Ganjar Pranowo mampu menjadi magnet melampui capaian Jokowi pada 2019?

Karena itu sekali lagi PDI Perjungan perlu berjuang ekstra hati hati, dan tidak boleh jumawa karena dapat mengusung calon sendiri. Koalisi adalah mutlak untuk dapat mendulang suara dan keluar sebagai pemenang. Kompetisi di kurusetra Pilpres 2024 berbeda konstelasi, trend dan komplikasi yang terjadi. Ganjar Pranowo berbeda secara entitas idelogis, kharakter dan portofolio yang menjadi rekam jejak jika dibanding Jokowi. 

Apalagi jika secara chemistry Ganjar tak mampu menjaga harapan dan kepercayaan yang dilegacykan Jokowi. Menilik jejak historis lurahnya wong Jawa Tengah muncul atau lahir dengan sejumlah kontroversi yang mengiringi. Spekulasi publik mencium di balik meroketnya popularitas Ganjar Pranowo ada mastermind yang menjadi navigator sekaligus patron yang menjadi inpirator juga motor penggerak. Dengan prestasi yang tak begitu kinclong, berbeda dengan fenomena Jokowi ketika itu popularitas Ganjar dengan raihan polling menyisakan tanda tanya besar.

Meraba Dukungan Puan

Analisa lain yang perlu menjadi garis bawah di sini, yakni manuver elite dengan Puan Maharani di garda terdepan, kemudian Bambang Pacul, juga Trimedya Panjaitan tidak mungkin bergerak atau atas prakarsa sendiri. Pasti di balik itu ada supporting secara legacy dari decision maker di institusi partai. Kecenderungan ini menjadi pernik pernik krusial yang tidak dapat dipandang remeh. Analogi sederhana seperti minyak dan air, apakah mudah menyatukan serpihan retak antara Puan, Bambang Pacul dan Trimedia kembali utuh.

Fenomena di atas melahirkan suguhan renungan bahwa pencapressan Ganjar Pranowo tidak lahir dari mekanisme kultural, dan produk kebijakan institusional secara paripurna. Publik dapat kembali menangkap sebagai pesan filosofis, bagaimana sikap Ketua Umum PDI Perjuangan kepada Ganjar Pranowo saat pelantikan Hevearita Gunaryanti Rahayu, atau Mbak Ita menjadi Walikota Semarang. Ketika itu Ganjar tampak begitu sulit mengambil posisi di hadapan Mega.

Kisah itu bahkan sudah dimulai sejak puteri sang fajar mendarat di Bandara A Yani suasana tampak kaku. Tentu sangat subyektif jika peristiwa Semarang menjadi premis tunggal untuk merangkai simpulan final. Karenanya layak juga menjadi pelengkap adalah kebijakan DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah jauh sebelum Megawati menunjuk Ganjar sebagai petugas partai untuk melanjutkan tugas di Pilpres mendatang.

Panti Marhen yang menjadi Markas Banteng atau Sekretariat DPD PDI Perjungan Jawa Tengah, yang notabene berada di wilayah Ganjar Pranowo sebagai lurahnya wong Jawa Tengah sama sekali tak memunculkan sosok tokoah rambut perak itu. Sebaliknya Puan Maharani hadir menyolok tidak hanya di Panti Marhen, namun juga di Markas DPC DPC PDI Perjuangan di seluruh Jawa Tengah. Realitas ini melengkapi kecenderungan yang arahnya dapat disimpulkan tokoh yang dinominasikan untuk menjadi Capres bukanlah Ganjar Pranowo, tetapi Puan Maharani.

Perubahan Sikap Mega

Lalu mengapa tetiba saat injury time jelang Idul Fitri Ketum teguh mengambil keputusan menunjuk Ganjar? Analisa secara sosiologis yang dapat menjadi referensi atas keputusan tersebut adalah pertama keputusan koalisi perubahan dengan motor Surya Paloh mencalonkan Anies Baswedan. Kedua adalah manuver Joko Widodo menggagas Koalisi Besar. Arah koalisi besar dipahami PDI Perjungan sebagai jebakan batman untuk memaksa duet Prabowo – Puan Maharai.

Duet itu dapat dipahami sebagai gagasan Jokowi sebagai langkah win win solution mengantisipasi langkah koalisi perubahan. Tidak mudah mengalahkan Anies tanpa koalisi besar. Ide membangun sinergi semacam itu dimaksudkan menjadi terobosan strategis dalam terminologi ad hoc untuk keberlangsungan agenda besar bangsa, seperti pembangunan infrastruktur dan melanjutkan pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) di Penajam Kalimantan Timur.

Visi Jokowi tampaknya tak seirama dengan sikap Megawati. Apalagi wacana menduetkan Prabowo dengan Puan dipandang sebagai sikap yang tak elok karena PDI Perjuangan adalah pemenang Pemilu. Bisa jadi gagasan itu dipandang kebablasan atau bisa jadi offside dari koridor kepartaian. Komplikasi yang kemudian mendidih adalah penolakan terhadap Piala Dunia U-20 yang nyaris firm Indonesia menjadi tuan rumah.

PDI Perjuangan mengambil langkah kejut dengan Ganjar dan Wayan Koster menjadi wayangnya. Jokowi sudah barang tentu dalam posisi terjepit. Ibarat permainan catur Mega membuat langkah Skak – Ster kepada Jokowi. Yang terjadi kemudian Piala Dunia U-20 dibatalkan FIFA, selanjutnya Ganjar bergeser track mengikuti titah Mega, terbukti restu pun datang dengan baiat menjadi Capres di Istana Batutulis. 

Mega memang tak mudah membuat putusan itu. Karena komplikasi dan kalkulasi ke depan begitu kompleks serta rumit, belum lagi hasil akhir tak dapat serta merta dikalkulasi. Apalagi bagaimana pun sikap itu telah menciderai putri mahkota semata wayang Puan Maharani. Keputusan peraih 15 gelar Doktor Hc dan tiga Profesor Hc ini setali tiga uang yang dihadapi Jokowi ketika PDI Perjuangan menolak kehadiran Israel di Piala Dunia U-20. 

Tensi Politik Mendaki

Mendalami anatomi di atas, maka seiring waktu makin mendaki pada tahapan Pilres berikut taik menarik akan semakin terjal. Pilpres kali ini adalah pertarungan dengan pertaruhan yang cukup kompleks dengan segala konsekuensi politisnya. PDI Perjuangan menjadi pihak yang harus cermat, dan smart, sebab jika tidak mampu membangun koalisi serta komunikasi yang dapat menjadi kawan sejalan, maka kemengan Pilres berpotensi lepas.

Pilpres dan Pileg adalah dua dimensi yang berbeda. PDI Perjungan bisa saja tetap menjadi partai pemenang, tetapi kemenangan itu tidak serta menjadi legacy kemengan Pilpres. Mengacu raihan kemengan 2019 dengan 19,33 persen Ganjar masih harus mendulung 50-60 juta suara tambahan. Jumlah itu tanpa koalisi atau mendapat dukungan relawan menjadi pekerjaan berat.

Faktor lain yang menjadi evaluasi pemenangan Ganjar adalah chesmistry secara internal di tubuh Partai Moncong Putih tidak akan seutuh ketika mengusung Jokowi. Riak riak yang sempat mengemuka dengan indikakator indikator lain, sebut sikap Puan dengan jejaring yang sudah dibangun, sebut Dewan Kolonel misalnya, menjadi handicap yang perlu diurai secara tuntas. 

Kedua adalah sudah menjadi rahasia umum bahwa kiprah tokoh dengan Rambut Perak ini tidak lepas dari legacy Joko Widodo melalui relawan atau pun mereka yang pro ke sana. Sekarang ini menilik kecenderungan yang dapat dibaca melalui langkah politik Jokowi, seperti ide Koalisi Besar tidak lagi menyebut Ganjar Pranowo.

Fakta secara empirik kecenderungan hasil survey popularitas Ganjar mulai terancam oleh Prabowo. Apa makna dari hal tersebut, ini dapat menjadi testemoni bahwa raihan popularitas Ganjar bukan mekanisme alamiah, tetapi ada supporting yang menghelanya. Kini support itu mengalami pergeseran, seperti kecenderungan dari keberpihakan Ganjar yang lebih berat ke Megawati daripada Joko Widodo. Artinya apa pun yang terjadi dengan angka yang ada di sana menunjukkan fakta natural yang akan teruji dengan sendirinya.

Sampai di sini patut menjadi kewaspadaan elit PDI Perjuangan bagaimana memformulasikan sikan keputusan politik finalnya. Apakah wacana Koliasi Besar tetap akan dirajut kembali dengan kompromi kompromi yang dimungkinkan, seperti duet Ganjar – Prabowo akan dapat disemai kembali, atau sebaliknya PDI Perjungan berjiwa besar dengan menempatkan Ganjar mendampingi Prabowo untuk kepentingan nasional yang lebih besar.

Terobosan Politik

Kompromi kompromi seperti itu menjadi bagian dari kristalisasi dan membangun perspektif kenegaraan yang lebih utuh. Sebab secara konstruk APBN sendiri tidak memberi ruang adanya Pilres tahap kedua. Karena kalau itu yang terjadi maka deficit anggaran menghadang di depan mata. Artinya demi demokrasi ekonomi nasional yang harus dikorban.

Alternatif lain yang dimungkinkan adalah diantara capres capres yang hampir pasti tidak akan bergeser dari tiga nama, yakni Prabowo, Ganjar dan Anies dapat mengendors tokoh yang mampu melengkapi sehingga menaikkan elektabilitas agar Pilpres tetap dapat berjalan satu putaran.

Catatan akhir menjadi pesan idelogis di sini, khususnya buat PDI Perjuangan bahwa penunjukan Ganjar benar benar dapat dikawal dengan membangun spirit kebersamaan secara maksimal. Koalisi adalah formula yang terbaik yang harus segera diwujudkan. 

Belajar dari pengalaman Joko Widodo sebagai incumbent pada 2019 hanya mampu mengungguli Prabowo 11 persen. Itu pun prestasi Jokowi terbilang kinclong dengan tingkat kepuasan atas pemerintahannya cukup signifikan. Maaf, harus diakui sebagai pelajaran berharga penunjukan Ganjar menyisakan ganjalan pada institusi Partai Moncong Putih sendiri. Dengan konsisi semacam itu berat untuk Ganjar mengarungi kompetisi atau kurusertra Pilpres yang begitu sengit.

Secara head to head jika berhadapan dengan Anie dan Prabowo meski didukung oleh PDI Perjuangan publik masih belum yakin Ganjar akan unggul. Kunci dari itu semua PDI Perjuangan harus mengkonsolidasi secara total mesin politiknya, dan koalisi dengan partai yang memiliki visi yang sama segera dikonkretkan. Tanpa kerja keras dan cerdas serta tuntas maka PDI Perjuangan bisa jadi kehilangan kesempatan.

Meski Ganjar menang sekalipun inilah yang harus disadari dan diantisipasi keberlangsungan Trah Soekartno menghadapi spekulasi penuh ujian juga. Saat ini alih generasi di tubuh partai banteng yang mematronkan Soekarno sebagai simbol politik dan idelogi kepartaian belum berjalan semestinya. Megawati adalah simbol sekaligus patron dengan hegemoni penuh dan tunggal.

Akankah Ganjar ketika menjadi Presiden tetap seia sekata dengan sang Ketum sebagai pemberi tugas partai. Jawabnya Wallahu Alam, hanya Tuhan dan Ganjar Pranowo yang dapat menjawabanya.

Jayanto Arus Adi

Pemimpin Umum RMOL Jateng, Direktur JMSI Institute, Ketua Bidang IT JMSI Pusat, Ahli Pers Dewan Pers, Wartawan Senior serta Konsultan Media dan Komunikasi.

Tulisan di atas adalah opini dan pendapat pribadi, tidak mewakili institusi dan lembaga lembaga yanga ada.