Presiden Republik Cocot Kencono

Budayawan Tanto Mendut memiliki ciri yang unik, juga orisinil khas seorang Tanto. Istilah cocot kencono, entah apa istilah yang tepat, yang jelas makna secara substantifnya adalah orang yang sekadar asal omong. Omong doang, Tong kosong berbunyi nyaring, atau kurang lebih deskripsinya semacam itu.


Alamat pernyataan Tanto cenderung mengarah pada pejabat publik. Pejabat publik, entah itu birokrat, politisi, dan mereka yang ditokohkan acap kali asal ngomong. Ungkapan tokoh yang tinggal di Kawasan Mendut Magelang itu, sudah cukup lama disampaikan. Bahkan beberapa kali  dilontarkan Presiden Lima Gunung ini - untuk diketahui budayawan nyentrik yang kini bermukim di Magelang adalah sang penggagas Festival Lima Gunung (FLG).

FLG sendiri merupakan entitas teritorial dengan simbol gunung,  meliputi gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan pegunungan Menoreh. Menilik cakupannya yang begitu luas gagasan Tanto menjadi sebuah elan dengan cakupan hegemoni yang begitu mengagumkan. Inilah bentuk ekspresi kreatif, kultural, spiritual, sosial yang mengalami sublimasi luar biasa.

Tanto melepas atribut-atribut normatif dan secara utuh mengeksplorasi kebebasan yang sungguh memagnet. Tarikan-tarikan partisan, seperti pesona publik, pragmatisme pada tataran elementer akan tersingkir dengan sendirinya. Munculnya idiom cocot kencono sesungguhnya distimulasi bahwa watak atau jatidiri Festival Lima Gunung adalah teguh membiakkan jatidiri ‘wong nggunung’ yang selalu bercermin pada alam.

Topeng-topeng sangat dihindari karena kecenderungan itu adalah representasi dari kemunafikan, tidak jujur, atau bahkan menjadi pengkhianat dari masyarakat yang melahirkan. Politisi,  pejabat, penguasa menjadi representasi simbolik secara ideal. Artinya,  wajah yang dihadirkan merupakan penampilan semua, karena bingkai-bingkai agenda yang disamarkan.

Mengidentifikasi secara lebih membumi bagaimana karakter gila dari paradigma cocot kencono dapat dilihat dari politik pencitraan. Demi sebuah ambisi jabatan, kedudukan, dan positioning politik praktik pencitraan dilakukan dengan artikulasi yang apik, menarik, meski itu palsu. Seorang kepala daerah tanpa prestasi konkret, tanpa malu malu menahbiskan dirinya sendiri menjadi hero, atau pahlawan dengan memermak karya dan karsa pengabdiannya.

Inilah yang saya maksudkan sebagai pengkhianatan terhadap rakyat, terhadap hati nurani,  karena fakta atas karya dan kerja dijungkirbalikkan untuk sebuah kemasan belaka. Ya kemasan, karena sesungguhnya yang hakiki adalah tong kosong berbunyi nyaring.

Demi sebuah citra, demi sebuah rapor,  segala sesuatunya dipermak. Nah, lantas pertanyaan yang muncul, pantaskah tokoh-tokoh topeng semacam itu dipilih publik karena kepandaian tipu dayanya begitu luar biasa. Ahh bangsat. Ya bangsat,  gundulmu amooh. Itulah afirmasi satire yang pernah disampaikan sang Presiden Lima Gunung ini.

Mengaktualisasikan paradigma di atas dalam konteks  kekinian,  yakni era disrupsi, ada anomali di sini. 

Era ini tak pelak menjadi musibah. Betapa tidak berkah keandalan teknologi, seperti hadirnya medsos tokoh- tokoh palsu dengan mudah memermak diri menjadi harapan. Menjadi pahlawan. Menyitir kata-kata Ketua DPR RI, Puan Maharani - wong calon presiden kok tanpa karya, tanpa prestasi, kalau ada prestasi kecil dipoles-poles sedemikian rupa untuk mencuri simpati rakyat. Ah bangsat!

Fakta inilah yang harus diluruskan,  bagaimana kotak pandora dapat diurai agar tidak mengelabui penginderaan atau mata awam melihat, menilai dan lantas larut di dalam pusaran ini. Artinya apa, wahai rakyat kembalilah pada nurani, siapa yang akan menjadi pemimpin adalah daulat kalian. Fox populi fox dei. Suara raykat adalah suara Tuhan.

Anda, rakyat adalah Tuhan bagi demokrasi. Karenanya,  suara itu jangan gampang diberikan karena iming-iming materi, uang, kedudukan, apalagi sekadar pemuas perut dan nafsu biadab lainnya. Ingat satu suara Anda akan menentukan kualitas demokrasi, dan masa depan negeri ini. Kembalilah pada hati nurani, menepilah di jalan hening untuk memutuskan satu suara ini untuk menyelamatkan Indonesia.

Memang zaman tak luput dari dialektika yang melingkupinya. Seperti jahiliah melahirkan Nabi, angkara murka menghadirkan Ratu Adil, dan dalam terminologi modern, seperti sekarang otoritarianime akan mendorong people power. Siapa sangka Soeharto yang kukuh menjadi centre power dengan absolutis kekuasan juga pengaruhnya yang kukuh digenggamnya, akhirnya tumbang.

Kilas balik sejarah pergerakan di Indonesia tak lepas dari kisah-kisah semacam itu. Apakah sikap terbaik yang harus kita lakukan menyikapi praktik semacam itu. Secara hitam putih sikap yang mengedepankan pencitraan adalah cara lancung yang sayang tidak mudah dipahami awam. Apalagi iming-iming materi memudahkan modus-modus demokrasi transaksional sering terjadi.

Dihadapkan pada kondisi semacam ini,  saatnya menghadapi kurusetra 2024,  maka edukasi, dan ikhtiar mendorong publik lebih melek politik,  tidak bisa tidak harus dilakukan. Keliru dan bodoh politik diserahkan pada sengkuni, atau drakula yang menjadi monster sejarah. Konyol dan naif menyikapi kecenderungan di atas yang dilakukan adalah sekadar menunggu datangnya Ratu Adil.

Sopo Nandur Bakal Ngunduh

Arti dari pepatah ini adalah siapapun yang menuai kebaikan akan dibayar dengan kebaikan pula. Sebaliknya, barang siapa yang menanam hal negatif, suatu saat akan menuai karma juga. Seperti kita menanam padi, pasti akan memanen padi, dan hidup pun seperti itu.

Nah, mari hening dan endapkan nurani di tengah sunyi. Jangan sampai kita terjebak pada pepatah ‘Mburu Uceng Kelangan Dheleg’ . Ungkapan Jawa ini sebenarnya sangat sarat akan nilai kehidupan. Terkadang kita terlalu bernafsu dan mengedepankan ego kita untuk melakukan sesuatu, dan kita meninggalkan hal lain sehingga kita merugi waktu, tenaga, dan hal lainnya hanya untuk menuruti hawa nafsu kita tersebut.

Sesanti adiluhung kita, yang menjadi warisan adibijaksana adalah cermin zaman yang perlu kita resapi. Pemimpin adalah pribadi yang membuka ruang privatnya untuk berkorban demi rakyatnya. Pencitraan adalah pengingkaran atas praktik lancung dan itu merupakan bentuk pengkhianatan atas filosofi trahing kusumo rembesing madu. Jabatan dan kedudukan adalah amanah ilahiah.

Ada wahyu ‘di sana’, bahasa jawa ada pulung.  Ikhtiar memayu hayuning bawana, maka yang dikedepankan adalah ketulusan, kejujuran, kebersahajaan. Bagus dan rupawan adalah refleksi pengabdian atas karya, karsa. Bukan ritual adol bagus, apalagi meninggalkan ‘keprabon’ inti demi sebuah syahwat kekuasaan.  Untuk sebuah analogi, ini berlaku untuk siapa pun.  Andai Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan juga Ridwan Kamil, prestasi Anda kinclong, maka karya itulah yang menjadi password untuk membuka pintu ilahiah, yakni amanat rakyat itu sendiri.

Ingat pertangungjawaban atas daulat amanah dan kedudukan tidak hanya berlaku, di sini-dunia fana ini, tetapi sampai ke lauhul mahfud. Silakan Anda kelabui rakyat dengan silat lidah, dan politik kosmetik, di mata hukum dunia. Artinya tipu daya – cocot kencono bisa saja membuka jalan kekuasan, tetapi itu tak lebih cocot kencono itu sendiri. Selamat datang Presiden Cocot Kencono, semoga akal sehat, dan nurani rakyat akan kembali, tidak lagi tersesat oleh segala tipu daya.

Tabik.

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Umum RMOL Jateng, Ketua Bidang Kerjasama Antarlembaga JMSI, Pokja Hukum Dewan Pers, Tenaga Ahli DPR RI Komisi II, Dewan Pertimbangan, akademisi, dan Mahasiswa Program Doktoral Unnes, Penggiat Satu Pena Indonesia, Konsultan Media dan Komunikasi.

 

Tulisan merupakan pendapat dan opini pribadi, tidak mewakili lembaga atau pun institusi.