Kelirumologi Demokrasi (Pancasila) Kita

Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJateng.
Jayanto Arus Adi, Pemimpin Redaksi RMOLJateng.

Demokrasi kita hari hari ini seperti maju kena mundur kena. Diakui atau tidak negara kita saat ini berada di simpang jalan, alias gagal fokus. Alih alih menjadi negara majemuk yang paling demokratis di muka bumi, namun output demokrasi kita menjauhkan adab keluhuran yang telah menjadi jatidiri ke-Indonesiaan.


Founding fathers kita mendesain sistem yang kita anut adalah demokrasi Pancasila. Demokrasi yang secara terminologis dideskripsikan mengintegrasikan prinsip prinsip demokrasi dengan memijakkan pada nilai nilai Pancasila. Jiwa Pancasila terangkum dalam lima sila dengan mengedepankan watak bangsa ini yang mewujud dalam metamofosa panjang.

Pengejawantahan demokrasi seperti di atas kemudian ditafsir sebagai buah pemikiran Soekarno. Meski tokoh lain memahat buah pemikiran yang sama, Soekarno jadi menonjol karena realitas sejarah dia menjadi proklamator dan Presiden Republik Indonesia ke-1. Ada sosok dwi tunggal Bung Hatta, tetapi negarawan dari ranah Minang ini figur moderat yang tak ingin terlalu menonjol.

Namun, jejak dan pemikiran Bung Hatta memberi fondasi kuat bagi sistem demokrasi kita, yakni demokrasi kerakyatan. Demokrasi kerakyatan adalah memberikan hak kepada masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemerintahan.

Sosiodemokrasi

Demokrasi harus dibarengi dengan upaya memajukan keadilan sosial dan demokrasi ekonomi. Terminologi serupa adalah esensi demokrasi yang dicetuskan Soekarno. Sosiodemokrasi merupakan tata sosial, politik, dan ekonomi yang anti elitisme, kapitalisme, dan imperialisme. Dalam sosiodemokrasi, rakyat diberi kesempatan untuk berperan dalam politik dan ekonomi. 

Manifestasi demokrasi yang kemudian sempat menjadikan Soekarno menjadi figur sentral adalah era 1959-1966. Era itu kita menganut apa yang disebut sebagai sistem Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem ini, kekuasaan terpusat di tangan Presiden Soekarno. Soekarno menerapkan prinsip gotong royong dan musyawarah mufakat dalam suasana kekeluargaan.

Ia juga membentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional untuk menjamin bahwa tindakan pemerintah selaras dengan kehendak masyarakat. Soeharto yang menggantikan melalui transisi yang tak ramah sesungguhnya mengantu prinsip serupa. Dalam konteks ini visi politik sama dan sebangun dengan Demokrasi Terpimpin.

Distorsi yang kemudian merapuhkan Orde Baru adalah paternalisme yang kebablasan, dengan mengguritanya praktik kartel politik dan Golkar sebagai lokomotifnya. Yang terjadi kemudian Soeharto menjadi pusat kekuasan, legislatif mandul karena prosesnya dikebiri sehingga Republik rasa Kerajaan adalah keniscayaan.

Soekarno dan Soeharto bagaimana pun adalah pemimpin besar. Keduanya sama sama tidak setuju dengan demokrasi liberal atau parlementer karena mereka menilai sistem ini tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Demokrasi liberal atau parlementer dinilainya telah mengebiri hakekat demokrasi itu sendiri menjauhkan rakyat dengna pemimpimpinnya.

Padahal dalam pemikiran Soekarno, demokrasi adalah suatu cara dalam membentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada rakyat untuk ikut serta dalam prosesnya. Secara kultural pemikiran tersebut sesungguhnya menjadi ikhtiar untuk membumikan demokrasi dengan lingkungan yang menjadi peyangga.

Sayang pemikiran tersebut kemudian berbiak pada kutub negatif yang beranomali dari filosofi ke-Indonesiaan yang menjadi akarnya. Era Orba Soekarno jatuh karena cawe-cawe kekuatan global dengan menunggangi rezim Orde Baru yang direpresentasi Soeharto. Nasakom yang digagas Soekarno menjadi triger munculnya sengkarut politik ketika itu. Nasakom yang digagas Soekartno bukanlah komunis dalam pengertian atheis.

Komunis yang dimaksud Soekarno adalah komunal (bersama) dan isme (paham), jadi secara narasi, goalnya mempersatukan Indonesia dalam bangun kebangsaan yang utuh. Soekarno tidak setuju dengan demokrasi liberal dengan sistem parlementer seperti yang pernah diterapkan.

Krisis Ekonomi

Apa yang dialami Soekarno nyaris menimpa Jokowi yang notabene presiden produk reformasi. Jokowi tertolong konstelasi global yang sedang terkoyak. Aliansi Barat yang dikomandani Amerika Serikat remuk di dalam akibat fundamental ekonominya lemah. Amerika Serikat babak belur menghadapi determinasi kekuatan ekonomi Cina yang begitu digdaya.

Jokowi cerdik membaca situasi politik dunia. Dengan percaya diri penuh ditopang kendali politik internal (nasional) yang solid dia leluasa melakukan manuver global. Momentum itu tidak dimiliki akhir periode Soekarno dan Soeharto. Gerakan prodemokrasi yang melahirkan parlemen jalanan tidak lain adalah pesanan atau setidaknya didukung Barat (Amerika dan sekutunya).

Dua pemimpin besar kita tumbang akibat cawe-cawe invisible hand dalam hal ini kepentingan Barat. Era akhir Soekarno keadaan tidak menentu akibat krisis ekonomi berlanjut krisis politik berujung tumbangnya Orde Lama. Era Soeharto sama krisis ekonomi dan politik berkomplikasi ditambah campur tangan Barat, meski modusnya seperti kentut, baunya menyengat sumbernya tak mudah dilacak.

Soekarno sendiri menolak Demokrasi Parlementer karena (1) hanya bersifat demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi (2) melindungi keberlangsungan sistem kapitalisme (3) menimbulkan instabilitas politik. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong-royong antara semua kekuatan Nasional.

Inti dari pimpinan dalam Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan, tetapi suatu permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh perdebatan dan penyiasatan yang diakhiri dengan pemungutan suara (voting).

Soekarno menekankan prinsip gotong royong dan musyawarah mufakat dalam suasana kekeluargaan dalam Demokrasi Terpimpin sehingga demokrasi tidak mengenal oposisi.

Dalam menerjemahkan konsepsi ini ke dalam perangkat politik, Soekarno membentuk Kabinet Gotong Royong yang terdiri dari perwakilan semua partai di parlemen dan membentuk Dewan Nasional yang berisi golongan fungsional sebagai cerminan masyarakat. Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional ini menjadi jembatan sehingga setiap tindakan Pemerintah selaras dengan kehendak masyarakat.

Soekarno beranggapan Demokrasi Parlementer tidak cocok dengan situasi dan kondisi Indonesia saat itu karena tidak sesuai dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila. Afirmasi secara empirik Demokrasi Terpimpin beririsan dengan Monarki Konstitusional. Secara genetik, dan bahkan DNA, nilai-nilai itu yang cocok sekaligus membumi dengan jadidiri ke-Indonesiaan.

Kita cermati demokrasi yang kita anut sejak Indonesia lahir banyak mengadopsi nilai nilai asing, yang mendewakan positivistik, matematik dan rasionalistik. Padahal, demokrasi di Indonesia sesuai yang dimanatkan oleh pendiri negara sebagai tertuang dalam UUD 1945. Secara konseptual dan aplikasi, konsep nilai demokrasi Soekarno-Hatta cukup memiliki alasan yang jelas guna memperbaiki kondisi demokrasi saat ini.

Hakikat demokrasi Soekarno-Hatta bersifat intrinsik adanya persamaan kodrat, harkat, dan martabat manusia, bersifar ekstrinsik demokrasi sebagai sarana untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur Sejahtera. Atas dasar tersebut maka konsep demokrasi Soekarno-Hatta dinilai masih relevan untuk dijadikan dasar, arah, dan tujuan dalam pengembangan demokrasi dewasa ini.

Karenanya, mencermati pancaroba yang berulangkali terjadi setiap kali peralihan kekuasaan, bangsa ini selalu didera fenomena losing achievement karena transisi yang gagal, maka perlu resolusi, rekonsiliasi dan kembali pada jatidiri ke-Indonesiaan yang seutuhnya. NKRI harga mati pasti, Pancasila harga mati setuju. Namun, tentang bagaimana melakukan koreksi bersama sama terkait demokrasi kita adalah keniscayaan.

Maaf beribu maaf, kami harus mengatakan, demokrasi kita hari-hari ini adalah omong kosong. Demokrasi beda di mulut, lain di hati, apalagi implementasinya. Demokrasi kita menjadi panggung sandiwara dari para kapitalis, orang berduit, mereka yang berkuasa, dan mereka yang punya massa. Akhirnya lembaga legislatif menjadi institusi yang mewariskan kebijakan-kebijakan tidak prorakyat, tidak berpihak pada wong cilik namun konstitusional.

Demokrasi yang diperjuangkan partai politik (parpol) adalah simulakrum demokrasi, alias penuh tipu muslihat. Bagaimana parpol perlu melakukan instrospeksi dan melakukan reformasi internal secara sungguh sungguh. Parpol-parpol kita adalah pengejawantahan sesungguhnya sebagai rahim bertumbuhnya pollitik dinasti.

Merit system menjadi barang langka terkait tata kelola partai politik. Mekanisme pengkaderan yang marak di partai politik didominasi kepentingan kepetingan faksional yang jauh dari akuntabilitas dan mendasarkan pada kompetensi. Karena itu ketua umum atau pimpinan parpol menjadi pemegang hak prerogatif, tak ubahnya raja atau ratu. Sabdo pandito ratu, dengan begitu loyalitas dan kebersedian mengabdi tanpa pamrih pada ketua umum adalah segala galanya.

Sampai di sini akan dibawa ke manah muara demokrasi kita. Indonesia hari-hari ini menangis dan leluhur kita, para founding fathers kita, Bung Karno, Bung Hatta, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan juga Jokowi ternyata beliau-beliau lebih menjadi negarawan ketika tidak sedang berkuasa. Pak Prabowo, Pak Prabowo rakyat menunggu, rakyat menanti, anda dapat memenuhi janji akan terus bersama rakyat, memerangi korupsi, menegakkan kedaulatan, memerangi kemiskinan, menjalankan pemerintahan dengan gembira.

Kami catat itu janji-janji ketika anda berjuang menjadi Presiden. Saya percaya Prabowo adalah prajurit dan ksatria sejati. Akan selalu setia dan patuh pada janji juga sumpahnya sendiri. Menjadi penutup catatan ini, saya menyampaikan harapan dan doa anda segera rujuk dengan ibunda Ragowo Hediprasetyo, Ibu Titiek Soeharto. Perkawinan anda dipisahkan oleh krisis politik, kini politik juga yang menyatukan rumah tangga anda kembali.

Jayanto Arus Adi adalah wartawan senior, Ahli Pers Dewan Pers, Ketua Bidang Pendidikan JMSI (Konstituen Dewan Pers). Saat ini mengelola RMOL Jateng, media Online cukup berpengaruh di Jawa Tengah sebagai Pemimpim Umum dan Redaksi. Juga terlibat di Koran Pelita Baru, sebagai Direktur Bisnis dan Pengembangan Usaha. Dosen mata kuliah jurnalistik di beberapa Perguruan Tinggi. Konsultan Media dan Politik, serta aktif menulis. Sekarang lebih banyak bermukim di Kota Wali Demak.

Tulisan ini adalah pandangan dan opini pribadi serta tidak mewakili/merepresentasikan institusi atau lembaga di atas.